Saya benar-benar ingin marah di tengah keramaian. Di Bandara International Ahmad Yani Semarang siang itu, ingin rasanya memaki keteledoran yang saya perbuat.Â
Dua tiket pesawat menuju Jakarta hangus begitu saja karena keterlambatan datang ke bendara. Pesawat plat merah yang dibeli sebulan lalu itu memang tidak bisa terkejar, kami sampai bandara 5 menit setelah pesawat mengudara.
"Ya, gimana lagi, Bang," kata temenku yang memasang wajah tanpa kepanikan. Tidak seperti saya yang sudah meringis meratapi tiket yang hangus, artinya harus membeli tiket baru. Pembelian tiket pesawat di hari keberangkatan tentu dibandrol harga sangat mahal. Apalagi saat hari Senin  di akhir bulan.
Saya menarik nafas. Mencoba mengatur emosi. Menyadari ini semua karena kesalahanku.
"Saya mintak maaf, ya, Mif," lirih penyesalanku kepada Miftah. Lelaki 5 tahun lebih muda dari usiaku itu hanya mengangguk.
Semalam saya sangat menikamati pertunjukan kesenian wayang kulit hingga dini hari. Hiburan yang digelar untuk memeriahkan acara pesta pernikahan sahabat baikku. Setelah pertunjukan selesai, saya tidak langsung masuk kamar. Justru saya berbaur dengan pemuda setempat yang membantu membereskan sisa-sisa pesta. Barulah setelah salat subuh bisa tidur.
Pukul 08.30 WIB terbangun. Jika mengukur waktu penerbangan sudah dipastikan terlambat. Miftah yang tidur lebih awal juga masi pulas. Ah, wajar saja kami tidur pulas karena merasakan lelah yang luar biasa. 2 hari kami bekerja sebagai fotografer pesta pernikahan.
"Besok pagi saya harus meeting untuk produksi film baru," kataku. Sejenak melihat Miftah yang duduk di sebelahku. Saya menarik nafas lebih dalam untuk menekan emosi. Makin kesel ketika Miftah asik dengan gawainya.
"Kamu dengar saya ngomong apa?" Miftah menjawab dengan mengangguk. Tanpa berkata, apalagi menatapku. "Terus, bagimana?"
Saya mengajak Miftah karena butuh asisten untuk mengabadikan semua rangkaian pernikahan sahabat saya. Tentu saja ada beban tanggungjawab membelikannya tiket baru dan ribet.