Milenial, pernah kah berifikir? Kesibukan mengejar standar revolusi Industri 4.0 menjadikanmu sebagai manusia yang lelah.
Menurut saya sangatlah capek! Bukan menyerah, tapi bagi saya Revolusi Industri 4.0 tidak memanusiakan hidupmu. Hanya sebagai tuntutan absurt untuk sama-sama merasa butuh itu semua. Padahal tidak harus!
Sejak ditemuakan mesin uap, disusul listrik, muncul elektronik yang membuat simpel kebutuhanmu, serta munculnya kecanggihan digital saat ini. Merubah hidup manusia traditional menjadi manusia modern.
Manusia yang cerdas, selalu mampu menggunakan akalnya untuk membuat hal yang baru. Satu hilang berganti dengan yang baru. Semuanya, tidak terlepas dari perkembangan industri dan kapitalisme. Peradaban akan muncul dan berganti dengan waktunya sendiri.
Loh kok gitu? Sejak mesin-mesin bermunculan, dibutuhkan energi untuk membangkitkannya. Lalu, bumi mulai lah dikuliti, mencabik batu bara, mengisap minyak bumi--alam hancur dengan sendirinya. Manusia lebih bangga dengan teknologi dalam kehidupannya.
Dampak Industri, bukan hanya pada alam yang memanas, tapi gaya hidup manusia modern menjadi hedon. Bumi beserta isinya yang hijau, perlahan mulai mengering. Tumbuh lebih banyak bangunan menjulang tinggi. Manusia yang berkembang lebih banyak. Bumi semakin sesak dibuatnya. Bumi tidak dalam kondisi baik seperti saat pertama mesin uap ditemukan.
Milenial bangga, dunia digital yang memudahkan segala urusan dengan simpel, meninggalkan konvensional yang dianggap ribet.
Tapi pernahkan berfikir, ketika fosil dan minyak bumi telah habis disedot, bagaiaman cara mendapatkan sumber energi baru? Keserakahan industri yang menjadikan eksploitasi sumber daya alam. Melepaskan naluri manusia yang bertanggungjawab mengurus alam ini.
Kita yang sudah belajar Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Dasar sudah mengerti, batu bara dan minyak bumi terbuat dari proses alam jutaan tahun silam. Pohon setinggi 1 meter tidak bisa tegak berdiri dalam waktu satu tahun saja. Jika besok habis, bisakah alam memproduksi batu bara dan minyak bumi secepat kita mengirim pesan whatsapp?
Milenial, hidup ini indah. Bumi, hutan, sawah, ladang, dan luasnya lautan sebagai sumber kehidupan yang Tuhan sediakan semua. Namun manusia punya cara yang lain, revolusi industri yang hanya bayangan semu untuk terus di kejar. Otak manusia dirubah menjadi pasar, konspirasi kapitalisme untuk keuntungan matrial pelaku industri.
Di zaman ini, kita semua bisa saja masi berfikir, jika tidak mengikuti perkembangan revolusi industri maka akan mati! Bisa saja, yang mati kehidupan atau naluri sebagai manusia.
Lihatlah, Suku Baduy yang dekat dengan hiruk pikuk hedonis Jakarta. Atau suku-suku dan desa adat yang masi menjaga kelestarian lingkungannya. Mereka tidak pernah memikirikan sudah berapa kali revolusi industri berganti, yang ada hanyalah sadar dengan peran manusia sebagai penjaga alam ini.
Bahkan, menjaga alam sudah menjadi tanggungjawab semua orang. Meskipun harus berbenturan dengan kepentingan industri. Rebutan lahan, pohon ditebang. Mengeruk isinya, dan mengusir tuan rumah. Peradaban tanpa adab yang terjadi.
Milenial, jika kita berkunjung ke Suku Baduy di Kabupaten Lebak, 3 jam perjalanan dari Jakarta saja. Bisa menyaksikan sejatinya manusia menjalani hidup selaras bersama alam. Hutan, gunung, sungai, dan ladang menjadi rumah mereka. Tidak ada teknologi listrik, apalagi elektronik.
Mereka bukan menjadi manusia terbelakang, gaptek, dan anti kehidupan modern. Mereka adalah manusia yang punya cara hidupnya sendiri. Hutan adalah sumber kehidupan. Menjaganya adalah kewajiban. Bagi mereka adalah melindungi tempat tinggal saja, tapi bagi dunia ini adalah penyelamatan bumi. Kelestaria  hutan menghasilkan oksigen yang dinikmati oleh seluru mahluk bumi.
Ada banyak bangunan yang disebut sebagai lumbung padi. Hingga puluhan tahun kedepan, gabah yang tersimpan tetap bertahan dan dijamin masi enak untuk dimakan. Persoalan pangan mereka terjamin, tidak seperti kehidupan manusia kota yang sudah kehilangan banyak lahan persawahan. Persoalan pangan pun bisa mengancam keberlangsungan hidup modern saat ini.
Milenial, mengejar revolusi industri hanyalah pola pikir yang terbentuk dari kebutuhan industri. Â Setiap kebutuhan tidak akan puas pada satu saja, selalu ingin yang baru. Ini yang kemudian tanpa sadar diperalat pasar global. Tidak kah mau menjadi manusia yang lebih manusiawi? Â
Suku Baduy dan Suku Adat lainnya yang hidup bersama alam membuktikan mereka tetap bertahan dengan keyakinannya. Tanpa mengenal revolusi industri dan tidak memperdulikan perkembangan dunia modern. Pikiran mereka lebih visioner jauh meninggalkan manusia yang menganggap dirinya lebih modern.
Mereka berfikir lebih jauh tentang pentingnya hidup. Mengetahui alam adalah tempat tinggal yang tidak tergantikan dengan mesin-mesin. Mereka memaknai kebutuhan hidup untuk saat ini dan gemerasi setelahnya.
Berbeda dengan manusia revolusi industri, hari ini berhasil mendapatkannya, entah masa depan akan seperti apa lagi! Ilmu pengehahuan yang mereka miliki menjadi Tuhan sebagai juru penyelamat. Akal tanpa hati nurani, teknologi tak ada arti.
Tidak salah hidup di kota, sudah takdir! Setidaknya kita bisa hidup tanpa lelah mengejar bayang-bayang revolusi industri yang mencabut jati diri manusia menjadi pengabdi mesin. Jangan mati konyol hanya karena kapitalisme industri. Kita bisa hidup sewajarnya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H