Coba anda banyangkan, sungguh tidak masuk akal khalayak orang berkumpul di satu tempat tanpa ada interaksi. Interaksi verbal menduduki level yang paling sederhana. Interaksi ini bisa saja dilakukan oleh peserta kopdar yang memang baru kenal. Atau bisa pula dilakukan oleh mereka yang sudah kenal namun belum akrab. Artinya komunikasi menjadi jembatan untuk menghempas keterasingan.Â
Intensitas komunikasi akan naik level manakala dua sahabat; saudara ideologis saling merindukan untuk bersua. Tentu saja topik pembicaraan pun bukan lagi sekadar basa-basi di permukaan. Bukan komunikasi untuk menggugurkan kewajiban karena takut disebut sombong yang berujung dituding anti sosial. Bukan, bukan di level itu, melainkan interaksi yang kompleks dan holistik. Komunikasi emosional, pertautan batin dan beradu gagasan.Â
Ujung-ujungnya kita tidak pernah mampu menebak pasti dampak dan hasil dari jalinan saturahmi yang sudah terbentuk. Seiring berjalannya waktu, tidak menutup kemungkinan, di masa yang akan datang, rezeki karambol penulis terjadi lantaran jalinan komunikasi yang intensif. Anda tidak percaya? Mari kita belajar besama dari kisah perjalanan Cak Inin (sapaan akrab dari pemilik nama lengkap Mukminin, M. Pd.) selaku owner penerbit Kamila Press Lamongan.Â
Sebab bergabung komunitas menulis beliau bertemu dengan beragam orang. Setiap kesempatan tidak pernah beliau sia-siakan. Di sela-sela interaksi beliau senantiasa menyelipkan waktu untuk promosi penerbitan miliknya. Faktanya, keaktifan beliau mengikuti berbagai acara yang bertajuk literasi membuat jejaring.Â
Tak sedikit, jejaring yang sudah terbangun itu menghidupkan kelangsungan produktivitas Kamila Press. Banyak jejaring yang akhirnya melabuhkan pilihan menerbitkan buku di penerbitan Cak Inin. Tidak hanya menerbitkan, bahkan di beberapa kesempatan beliau menjadi langganan pemberi kata pengantar buku yang akan terbit.Â
Contoh lain dapat kita lihat bagaimana komunikasi gayeng antarduo Pang (antara Bu Kanjeng dengan Bu Telly D. tatkala bersua). Mereka menyebut dirinya sebagai kalangan pang. Pang yang berarti akronim dari kata pangsiunan (pensiunan abdi negara; pegawai negeri sipil yang kemudian berubah menjadi aparatur sipil negara, istilah yang familiar kita kenal sekarang). Duo Pang tersebut terus berlomba-lomba dalam fastabiqul khairot penuangan gagasan melalui berbagai karya.Â
Beliau berdua membuktikan bahwa usia lanjut bukanlah penghalang untuk terus melek literasi. Bukan hanya melek tapi terus melahirkan karya tanpa henti. Mereka mendeklarasikan diri menjadi bagian tulang punggung peradaban membangun negeri. Generasi muda seharusnya malu dan tertampar keras, mengapa kita malas bahkan tak pernah sadar akan pentingnya mentradisikan literasi sebagai teman sepermainan.Â
Ada pula pemandangan interaksi yang lebih intens dan membuat semua orang iri. Bagaimana interaksi-interelasi antara Bu Daswatia dengan Dr. Much. Khoiri yang awalnya tidak kenal namun karena RVL berlanjut pada pendaulatan hubungan kekeluragaan. Karena menjadi bagian komunitas literasi hubungan kekeluargaan terjalin indah. Karena satu komunitas, pertautan hati menggerakan perubahan karya yang siginifikan.Â
Sebebal-bebalnya kita mungkin bisa menarik satu simpulan, bahwa silaturahmi antaranggota komunitas RVL dalam kopdar itu pada akhirnya mengkonstruk hierarki hubungan sosial. Mulai dari menjalin pertemanan, menjadi sahabat hingga mengukuhkan ikatan kekeluargaan. Maka tak ayal jikalau di masa mendatang ikatan kekeluargaan tersebut mengeketuk pintu-pintu rezeki dan kebaikan.
Keteladan itulah yang mendorong saya untuk andil mengambil bagian. Jujur, saya ingin mengenal jauh, menjalin komunikasi yang baik dan membangun silaturahmi dengan semua penulis yang menjadi anggota RVL. Tentu semua itu tidaklah mudah. Butuh proses berkesinambungan. Sebab, ada distingsi ruang dan jarak. Kendati demikian, saya kira upaya itu akan tampak lebih terbantu manakala saya berpartisipasi aktif dalam momentum kopdar.Â
Melalui silaturahmi yang baik jejaring antarpenulis akan terbangun. Jejaring yang dapat dimanfaatkan untuk saling menjajak gagasan, bertransaksi pengetahuan, dan membangun support system yang sehat. Hanya menapaki jalan sunyi tersebut keterampilan, kapasitas dan kualitas diri sebagai penulis akan terus melejit. Dampak positif seperti ini hanya akan dituai manakala kita bernaung di komunitas literasi yang sehat dan hebat.