Setelah saya sampai indekos, souvernir itu saya buka. Dan ternyata souvernir itu berisikan baju batik model hem berukuran M. Ukuran yang sangat cocok dan sesuai dengan tubuh saya yang ramping. Satu pemberian yang sangat berharga bagi saya. Â Meskipun pemberian ucapan selamat saja menurut saya sudah lebih dari cukup. Sementara pemberian barang itu sudah termasuk sesuatu hal yang "wah" bagi saya.
Selain baju batik, ada pula secarik kertas putih yang berisikan ucapan selamat yang sangat menyentuh. "Orang tua kami memberikan kami hidup dan engkau mengajari kami cara menjalaninya. Jasamu akan selalu kekal abadi wahai guru. Selamat hari guru. Syifa". "Terima kasih Syifa, semoga menjadi anak yang shalihah dan sukses dunia sampai akhirat. Tambah barokah belajarnya", celetuk saya dalam hati.
Dua hal yang saya amati nyentrik dari perayaan hari guru nasional tersebut, yakni para guru serempak menggunakan seragam batik kopri dan para siswa-siswi carut-marut berusaha menunjukkan cinta kasihnya secara ekspresif.Â
Kendati telat, izinkan saya mengucapkan selamat kepada seluruh guru, utamanya kepada guru-guru yang telah membimbing saya menjadi sosok yang sekarang. Meski sampai detik ini saya tidak menyadari kalau saya sendiri ternyata berperan sebagai seorang guru.
"Selamat hari guru nasional. Pengabdianmu takan pernah mampu diukur dengan materi. Jasa dan namamu akan abadi dalam setiap kebaikan langkah kami. Dedikasimu tangan panjang peradaban negeri".
Tertanda yang papa tanpa seorang guru.
Tulungagung, 26 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H