Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Adab Seorang Hufadz

14 November 2022   08:46 Diperbarui: 14 November 2022   08:50 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Para siswi kelas 5 & 6 setelah mengikuti kajian fiqih remaja)

Jum'at (11/11/2022) kedua di bulan November siswa-siswi kelas 5 dan 6 SDIT Baitul Qur'an Tulungagung kembali mengikuti kajian fiqih remaja. Khusus pertemuan kali ini semua siswa-siswi dikumpulkan menjadi satu tempat, yakni di pelataran TK Baitul Qur'an Tulungagung.

Ustadz M. Ali Said tampil sebagai penyaji tunggal materi kajian pada sesi ini. Dari dalam kantor tampak, ustadz Ali dengan stelan baju necisnya--mengenakan kemeja biru muda dan celana keabu-abuan--duduk di tengah-tengah menjadi satir pemisah di antara para siswa-siswi. Para siswa duduk persis di samping kanan beliau sedangkan para siswi duduk pada bagian sisi kiri.


(Foto: Para siswi kelas 5 & 6 setelah mengikuti kajian fiqih remaja)
(Foto: Para siswi kelas 5 & 6 setelah mengikuti kajian fiqih remaja)
Abad Seorang Hufadz adalah tajuk kajian yang disajikan pada sesi ini. Menurut beliau, dari sekian banyak adab yang harus dimiliki oleh setiap muslim, utamanya seorang hufadz, terdapat tiga abad yang benar-benar harus digenggam, diimplementasikan dan diinternalisasikan dalam diri seorang hufadz.Ketiga adab tersebut yakni menjadikan rida Allah SWT sebagai puncak, tidak menjual hafalan untuk kenikmatan dunia dan istikamah menghiasi diri dengan akhlak mulia.

Pertama, menjadikan rida Allah SWT sebagai puncak.

Terpancangnya niat yang ikhlas untuk semata-mata menggapai rida Allah SWT adalah kunci utama yang menentukan derajat dan kualitas seluruh ibadah kita di hadapan-Nya. Termasuk juga tatkala seorang hufadz menghafalkan, mengajarkan dan mengamalkan Al-Qur'an.

Hal yang demikian sebagaimana firman Allah SWT yang termaktub dalam QS. Al-Bayyinah: 5.

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus".

Dalam sebuah hadits yang telah disepakati bersama kesahihannya oleh para muhaditsin (Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah dan imam Ahmad), diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niat dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya".

Sedangkan dalam riwayat hadits lain dinyatakan bahwa sesungguhnya kadar hafalan seorang hufadz bergantung pada niat yang dimilikinya. Ibnu Abbas Radhiyallahu berkata: "Seseorang itu akan menghafal sesuai dengan kadar niatnya".

Hal itu menegaskan bahwa niat yang terpatri dalam sanubari seorang hufadz dominan memengaruhi proses, capaian dan kualitas yang dihasilkan. Jikalau menghafalnya didasarkan pada kemurnian niat yang semata-mata karena hendak menggapai rida Allah SWT sebagai puncak, maka insyaallah atas izin-Nya prosesnya akan mudah dan hasilnya akan berkah.

Kedua, tidak menjual hafalan untuk kenikmatan dunia.

Adab yang kedua ini masih berpijak pada kemurnian niat. Niat seorang hufadz tatkala berjibaku menghafal, memahami dan mengamalkan Al-Qur'an serta yang lainnya alangkah baiknya tidak menyandarkan diri pada harapan materialistik (hubb ad-dunya). Sebab suatu kebaikan ibadah yang dilandasi dan berorientasi pada target materialisme hanya akan bersifat sementara.

Hanya orang-orang yang memiliki kemurnian niat dan berorientasi semata-mata karena Allah SWT sebagai  puncak itulah yang akan mendapatkan jaminan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Asy-Syura: 20.

"Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagiapun di akhirat".

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud radhiyallahu 'anhu, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang mempelajari ilmu seharusnya diniatkan mengharap melihat wajah Allah SWT akan tetapi ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan salah satu kenikmatan dunia maka ia tidak akan mencium semerbak wangi surga pada hari kiamat".

Kedua dalil naqli di atas menegaskan bahwa dalam beribadah dan berbuat kebajikan sudah selaiknya dilandasi atas dasar keikhlasan, semata-mata mencari rida dan kesadaran seorang hamba terhadap Tuhannya. Sebab hanya atas dasar motif itulah seorang hamba termasuk golongan yang beruntung. Bagaimanapun tujuan utama dari suatu ibadah dan kebajikan bukanlah untuk pamrih dan tuntutan transaksi jual beli amal.

Ketiga, istikamah menghiasi diri dengan akhlak mulia.

Selain harus menjadikan rida Allah SWT sebagai puncak dan tidak menjual hafalan untuk kenikmatan dunia, seorang hufadz juga sangat ditekankan untuk Istikamah menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Akhlak mulia lahir dan batin tentunya.

Standarisasi akhlak mulia tersebut merujuk pada hukum yang berlaku dalam kaidah dan syariat Islam serta hukum lain yang berlaku di dalamnya. Dalam konteks ini seorang hufadz berusaha mengamalkan dan mempraktekkan ajaran yang termuat dalam setiap ayat-ayat Al-Qur'an yang dihafalkan sekaligus menjadikannya sebagai petunjuk hidup.

Adapun salah satu indikasi dari bentuk  internalisasi nilai-nilai tersebut ditandai dengan tampilnya akhlak terpuji yang terpancang dalam tindak-tanduk orang yang bersangkutan.

Dari sekian banyak akhlak mulia yang harus dimiliki oleh seorang hufadz di antaranya ialah bersikap wara' dalam hal pangan, sandang dan papan; takdzim: berbakti kepada orang tua dan guru, penuh kasih, menjaga lisan, hati dan pikiran; tawadhu', menghindari perbuatan tercela; melanggengkan silaturahmi; bersahabat dengan lingkungan yang baik dan senantiasa menjaga sopan santun.

Mengapa harus demikian?

Sebab, sebagaimana disebutkan dalam kitab Ta'alim Muta'alim karya Imam Burhanuddin Ibrahim al-Zarnuji, seorang yang berilmu--termasuk seorang hufadz yang berusaha memahami, mengkaji dan mengamalkan Al-Qur'an--wajib memuliakan ilmu yang ada di dalam dirinya dengan cara menjaga dan memuliakan aspek dhohir dirinya. Tak terkecuali dengan Istikamah menghiasi diri dengan akhlak mulia.

Tulungagung, 14 November 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun