Tak lama, Prof. Naim muncul dengan membawa 4 botol air Aqua mini. Sembari berseloroh guyonan beliau mulai membukakan toples satu persatu. Sembari menunggu kedatangan Mas Thoriq, kami sempat tenggelam dengan suasana perbincangan hangat di temani gerimis hujan di pekarangan. Ngalor-ngidul topik pembicaraan kami pintal. Mulai dari perjalanan lancar atau tidak, apa kesibukan saya, kendaraan mudik, nostalgia  masa-masa kecil dan kuliah prof. Naim, sampai dengan mengganti toples jajan yang sudah tampak kosong. Di saat itu pula putra bungsu Prof. Naim, Mas Leiz Azfar Tsaqif Naim malu-malu kucing mengintip dari ruangan dalam. Rambutnya tampak masih basah terlihat habis mandi. "Hey, Mas...", saya berusaha menyapanya. Setelah itu hilang tak lagi menampakkan diri.
Tak berselang lama Prof. Naim datang dengan menenteng toples berisikan Nastar. Obrolan pun dilanjutkan, hingga akhirnya sempat terhenti sejenak karena Mas Azfar hendak pamit berangkat ke TPQ. Prof. Naim sempat bersalaman dan mencium pipi putra bungsunya itu. Tidak hanya itu, bahkan beliau membujuk Mas Azfar untuk mau bersalaman dengan kami. Mas Azfar yang mengenakan pakaian muslim, menggendong tas dan menggunakan peci putih pun bersalaman dengan kami. Tak lama dari itu akhirnya Mas Thoriq datang.
Mas Thoriq memasuki ruangan, kami pun bersalaman. Sementara Prof. Naim kembeli ke ruangan dalam. Di sana, kami bertiga--saya, Woko dan Mas Thoriq--sempat sejenak basa-basi. Setelah pasukan sowan lengkap inilah perbicangan mulai sedikit dalam dan menajam. Bahkan Prof. Naim sempat menceritakan bagaimana pengalaman: pahit-manisnya, kemanfaatan dan keberkahan yang dipetik dari ketekunannya menggeluti dunia literasi. Bukan hanya dalam skala nasional tapi mencakup mancanegara. Petuah-petuah bijak mulai memberikan jawaban atas maksud yang belum mampu kami atasi. Namun sayang, pada tulisan ini saya tidak akan membahas apa saja hasil sowan kami,  mengenai hal itu akan dibahas pada tulisan selanjutnya.
Kurang lebih satu jam kami asyik-masyuk mengobrol acara inti, hingga tibalah saatnya Mas Thoriq mewakili kami mengakhiri sowan pada  sore itu dengan berpamit diri. Ohya, sebelumnya Prof. Naim menghadiahi kami buku yang berjudul Membangun Relasi, Peluang Riset dan Dakwah Ilmiah Catatan Perjalanan dari Brunei Darussalam. Masing-masing kami mendapatkan satu eksemplar buku.
Selain itu, Mas Thoriq juga meminta beliau untuk berkenan berswafoto dengan kami terlebih dahulu. Sempat terjadi perdebatan kecil saat hendak berswafoto, karena kebingungan mau menggunakan smartphone siapa. Diambillah keputusan, smartphone saya yang digunakan untuk berswafoto. Depan pintu menjadi tempat pilihannya. Kurang lebih enam cekrek foto selfi saya ambil. Itu pun diambil dari dua sudut yang berbeda. Kanan dan kiri.
Setelah kami benar-benar berpamit diri, Â cuaca masih saja gerimis, dan kami memutuskan untuk menunaikan salat asar terlebih dahulu di masjid terdekat. Drama bimbang menggunakan jas hujan atau tidak sempat terjadi. Akhirnya saya dan Woko memilih untuk tidak menggunakan jas hujan karena dirasa lokasi masjid tidak jauh dari rumah Prof. Naim. Sedangkan Mas Thoriq berpendirian teguh menggunakan jas hujan.
Di masjid yang entah apa namanya akhirnya kami berhenti sejenak untuk menunaikan salat. Di sana kami sempat berbincang sejenak, lantas dilanjutkan berwudhu dan menunaikan salat asar yang diimami oleh Mas Thoriq. Lagi-lagi sebelumnya kami harus saling menuding untuk menentukan siapa yang mau jadi imam. Tentu dengan segala argumentasi alibi masing-masing kami menolak, hingga akhirnya Mas Thoriq mau menjadi Imam.
Selepas itu, barulah kami melanjutkan perjalanan. Ternyata benar apa yang dikatakan Prof. Naim bahwa semakin sore menjelang malam jalur Tulungagung-Trenggalek padat merayap dengan mobil. Sat set saya berusaha menyalip satu persatu mobil. Meski pada kenyataannya deretan mobil itu seakan-akan tak ada habisnya. Barulah, kondisi jalan terasa sedikit lengang  semenjak memasuki perbatasan Tulungagung. Kondisi jalan yang lengang membuat perjalanan sedikit cepat hingga akhirnya saya berinisiatif berhenti untuk membuka jas hujan di sekitaran Gor Lembu Peteng. Di saat pemberhentian itu juga Woko negosiasi dengan saya untuk mampir terlebih dahulu ke warung bakso Serut. Woko menegaskan, bahwa dari pagi ia belum makan. Katanya ia puasa.
Kurang lebih pukul 17.00 WIB kami sampai di warung bakso Kharisma. Warung bakso langganan saya dan teman-teman melepas dahaga seusai mengajar di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Di sana saya memesan mie ayam dan jeruk hangat. Sedangkan Woko memesan Mieso dan teh hangat. Untuk makan sore itu, beruntung sekali saya ditraktir Woko.
Di sela-sela menikmati hidangan, kami masih meneruskan pembicaraan ngalor-ngidul. Hingga akhirnya Adan Magrib terdengar jelas berkumandang. Setelah makanan dan minuman habis, barulah saya mengantarkan Woko ke pondoknya. Sebelumnya saya sempat bertanya terlebih dahulu mengenai kapan jadwal ngaji di pondok Woko. Lantas Woko menegaskan, habis Magrib kegiatan ngaji diselenggarakan. Untungnya ketika sampai di depan gerbang pondok, muadin masih sedang mengumandangkan iqomah.
Dari perjalanan sowan ini ada beberapa hikmah yang dapat diambil, di antara ialah: pertama, saya bisa mengetahui persis letak rumah Prof. Naim. Sehingga jika dilain waktu hendak sowan tidak perlu lagi khawatir dan  tersesat. Terlebih, sampai salah masuk gang dan harus bertanya terlebih dahulu  seperti pada kejadian sebelumnya.