"Jangan hinakan dirimu dengan mengajari anak menjadi pengemis di hari raya", Dewar Alhafiz.
Tradisi yang lumrah terjadi pada momentum lebaran Idulfitri adalah membagikan sedikit rezeki kepada sanak famili dan tetangga. Utamanya kepada anak-anak yang menyambut hari raya dengan penuh suka cita. Seakan-akan mereka tertimpa bongkahan gunung kebahagiaan yang beberapa hari ke depan meliputi dirinya.
Adapun rezeki yang dibagikan pada momentum lebaran tersebut bentuknya ada dua: hampers lebaran dan uang lembaran yang semua orang pasti suka.Â
Hampers lebaran sendiri isinya bisa saja beberapa toples kue, pakaian baru, paket sembako dan lain sebagainya. Sedang kalau masalah uang, apapun bentuk amplopnya--baik itu menggunakan amplop sederhana hingga yang tren kekinian-- saya kira dengan senang hati akan diterima.Â
Berhubungan dengan persoalan uang ini mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan istilah THR (tunjangan hari raya). Satu istilah yang benar-benar membuat para pekerja (karyawan) beringas, kegirangan-menggila dan meradang menyongsong kedatangan hari raya.Â
Jika merujuk pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) pasal 5 nomor 6 tahun 2016, THR adalah pendapatan nonupah yang berhak diterima oleh pekerja atau karyawan dari pihak perusahaan (pemberi kerja) menjelang hari raya keagamaan.
Hari raya keagamaan dalam konteks ini tentunya disesuaikan dengan agama yang dianut oleh pekerja (karyawan). Idulfitri bagi pekerja yang beragama Islam, Natal bagi yang beragama Kristen (Katolik dan Protestan), Nyepi bagi yang beragama Hindu, Waisak bagi yang beragama Buddha, dan Imlek bagi pekerja yang beragama Konghucu.Â
Dilansir dari laman resmi Kompas.com (09/04/2022), adapun cara menghitung besaran THR yang harus diberikan kepada karyawan disesuaikan dengan masa kerjanya. Berdasarkan Surat Edaran (SE) Kemnaker nomor M/1/HK.04/IV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan tahun 2022 disesuaikan dengan kriteria jenis status pekerja.Â
Di antara kriteria jenis status pekerja ialah perjanjian kerja waktu tidak tetap (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), buruh harian, tenaga honorer, pekerja rumah tangga dan lain sebagainya. Semua kriteria itu tentu akan menerima besaran THR yang berbeda-beda. Sedangkan waktu pemberian THR itu palingan lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.Â
Dari skema tersebut setidaknya kita tahu bahwa istilah THR itu sendiri melekat dengan dunia kerja. Sehingga mana mungkin seseorang akan mendapatkan THR di hari raya sedangkan statusnya bukanlah pekerja. Kendati demikian, pada kenyataannya istilah THR itu lantas diadopsi secara serta-merta oleh anak-anak tatkala hendak meminta uang kepada sanak famili saat bersilaturahmi di hari raya.Â
Tak jarang, di saat sanak famili baru singgah  sebentar di dalam rumah, tanpa basa-basi sepatah katapun biasanya anak-anak langsung bergerombol, salim satu-persatu dan meminta jatah THR. Bahkan tak jarang pula, sang orangtua mengajarinya untuk melakukan hal yang demikian. Entah dengan cara membisikinya ataupun menegaskannya secara terang-terangan di muka.
Supaya gamblang, kita ambil contoh kalimatnya. "Lihat tuh Om Pulan datang. Sana salim, barangkali saja nanti dapat uang". "Mana nih, jatah THR-an buat aku? Om dan Tante kan dapat banyak THR dari tempat kerja". "Ayo kita main ke tetangga sebelah, mereka kan orang kaya. Selain kenyang, pasti kita dikasih sangu".
Melalui ucapan, ajakan dan tindakan yang demikian sesungguhnya orang tua sedang mengajarkan anaknya untuk menjadi seseorang yang memiliki mentalitas yang lemah. Mentalitas yang lemah di sini maksudnya adalah menjadi seorang peminta-minta. Padahal dalam ajaran agama Islam sendiri mental peminta-minta (pengemis) sangat dilarang.Â
Dalam keterangan hadits diriwayatkan:
"Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidak fakir, maka seakan-akan ia memakan bara api (H. R. Ahmad, 4/165).
Melalui hadits tersebut kita bisa memahami bahwa tindakan meminta-minta tidaklah baik untuk dilakukan. Sebab menghinakan diri secara langsung.Â
Dalam Islam kita diajarkan, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Hal itu menunjukkan bahwa sebaik-baiknya manusia di muka bumi adalah mereka yang bermanfaat bagi yang lain. Adapun apabila kita belum mampu menebar manfaat (kebaikan, berbagi) kepada yang lain, maka Islam mengajarkan kita untuk berpegang teguh pada dua sifat utama: 'Iffah dan 'Izzah.
'Iffah dalam konteks ini tentunya berarti menjaga kesucian diri dengan cara menanamkan rasa malu dalam takwa. Malu dalam meminta. Termasuk di dalamnya, malu untuk menjadi seorang peminta-minta karena gila harta. Malu meminta-minta yang bukan haknya. Malu menjadi pengemis untuk memalak jatah bagian di hari raya.Â
Sedangkan melalui rasa 'Izzah, kita sebagai seorang muslim sudah seharusnya menjaga harga diri dari hal-hal yang sekiranya merendahkan derajat demi nafsu dunia. Tak terkecuali hanya karena gila harta. Berani merendahkan diri demi lembaran rupiah di hari raya. Tentu, hal itu sangat dilarang dalam Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Maka, jalan pilihan terbaik bagi seorang muslim yang baik adalah memberi kemanfaatan dengan berbagi dan tetap menjaga diri dari tindakan meminta-minta. Jagalah derajat dan harga dirimu dengan cara tidak mengajarkan anak untuk menjadi pengemis di hari raya.
Lantas bagaimana jika ada kakek, nenek, om, tante, paman dan sebagainya memberikan jatah THR kepada kita? Apakah harus ditolak? Ya jelas tidak! Karena rezeki itu datang bukan atas dasar usaha kita mengemis kepadanya. Rezeki yang diberikan itu justru datang dari arah yang tidak terduga. Rezeki yang menjadi hak kita.
Wallahu a'lam bi shawwab.
Tulungagung, 03 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H