Kabar terbaru yang santer beredar di kalangan civitas akademis dan penggiat literasi adalah turunnya surat keputusan (SK) guru besar Dr. Ngainun Naim. Tentu ini adalah kabar gembira yang sungguh dinantikan. Kabar gembira yang jauh-jauh hari telah diprediksikan. Baik oleh kalangan civitas akademis, mahasiswa dan penggiat literasi tingkat nasional. Utamanya, euforia itu disambut hangat keluarga besar Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Kabar penetapan gelar Profesor untuk Dr. Ngainun Naim dalam pengertian sebagai kabar gembira yang dinantikan berhubungan banyak dengan profesi kerja beliau selaku dosen. Sehingga ketepatan itu spontanitas berdampak pada penambahan kuantitas guru besar yang dimiliki oleh Kampus UIN SATU Tulungagung. Penambahan kuantitas guru besar itu tentu menjadi salah satu faktor yang turut mendorong kemajuan, meningkatkan kualitas dan peradaban keilmuan sekaligus menguatkan identitas UIN SATU Tulungagung di mata publik yang dikenal sebagai kampus dakwah dan peradaban.
Mengapa demikian? Sebab, idealnya sebuah perguruan tinggi negeri ataupun swasta selalu mengidam-idamkan hadirnya sosok representatif secara gelar akademik. Ada persepsi yang mengerak di mayoritas kepala akademisi, bahwa tercapainya gelar tertinggi akademik (Profesor) akan berdampak pada citra kampus: kualitas dan peradaban keilmuan yang terakomodir dengan baik- di dalam dan ruang publik. Lantas tercapainya gelar itu menjadi barometer kebanggaan secara personal, ketajaman signifikansi keilmuan maupun kelembagaan. Dan itu alasan mengapa setiap perguruan tinggi selalu memacu seluruh sumber daya manusia yang tersedia; akademisi yang tertampung untuk terus meningkatkan produktivitas kerja, disiplin dalam berkarya dan pengabdian di masyarakat.
Sedang dalam konteks kabar gembira yang jauh-jauh hari telah diprediksikan mengerucut pada penyematan gelar akademik tertinggi untuk Dr. Ngainun Naim, sebagai Profesor, secara verbal sebenarnya sudah lama dikumandangkan. Titel itu telah lama disematkan kepada beliau, mendahului SK legalitas Mentri yang diturunkan. Yang demikian dibuktikan dengan derasnya hilirisasi penyebutan nama Dr. Ngainun Naim yang selalu diawali dengan imbuhan titel Profesor. Prof. Naim lebih tepatnya.Â
Bahkan titel profesor itu telah populer di semua kalangan yang mengenalnya: civitas akademis, mahasiswa, alumni-mahasiswa, partisipan: seminar, pelatihan dan lokakarya kepenulisan-maupun khalayak orang yang mengakusisi diri sebagai anak ideologis beliau yang terlahir dari lokomotif grup menulis yang diinisiasi dan dinaunginya. Tak terkecuali para penghuni grup Sahabat Pena Kita cabang Tulungagung yang telah teramat latah memanggil beliau dengan sebutan, Prof. Naim.Â
Tentu di luar sana masih banyak lagi grup literasi yang melibatkan Prof. Naim di dalamnya. Itu artinya, kita tidak mampu menerka-nerka secara lancang tentang seberapa banyak Naimisme (baca: anak ideologis; orang yang telah terpantik secara intelektualitas oleh pemikiran Prof. Naim, jika boleh saya menyebutnya) yang tersebar di pelosok negeri Indonesia. Terkait seberapa banyak kuantitas anak ideologis itu sudah barang tentu hanya Prof. Naim semata yang mafhum persisnya.
Dari gambaran tersebut setidaknya kita mampu menegaskan, bahwa penyebutan nama yang disertai dengan titel profesor-sebelum turunya SK- itu tidak ujug-ujug lahir di ruang hampa melainkan mengakar kuat pada beberapa fakta yang ada di lapangan. Fakta yang tersemat di dalam diri dan ditorehkan Prof. Niam secara personal. Kecakapan intelektual, konsistensi dalam berkarya dan geliat literasi yang membara.Â
Perihal Kecakapan Intelektual
Keluasan dan ketajaman wawasan intelektual Prof. Naim tidak perlu diragukan lagi. Sependek pengetahuan saya, keluasan wawasan ilmu pengetahuan ini bisa diukur dengan jumlah jam terbang beliau mengajar dan mengisi kegiatan di luar perkuliahan. Misalnya saja kita ambil satu kasus gambaran kecil. Pada saat saya duduk di strata satu (S-1) di IAIN Tulungagung yang sekarang bertransformasi menjadi UIN SATU Tulungagung beliau mengajar hampir di setiap jurusan fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah. Kala itu beliau mengampu berbagai macam mata kuliah: Mulai dari Sejarah Peradaban Islam, Sejarah Pemikiran Islam, Tasawuf, Ilmu Kalam, Kepenulisan dan lain sebagainya.Â
Tidak hanya di S-1, tatkala saya berkesempatan duduk di bangku Pascasarjana di tempat yang sama, saya pun kembali bersua ria dengan beliau. Tentu transaksi ilmu pengetahuan itu terlaksana melalui beberapa mata kuliah yang sesuai dengan keilmuan beliau. Dan faktanya, setelah saya mengamati dan bertanya kiri-kanan, hampir di semua jurusan Pascasarjana (S-2) dan program studi doktoral (S-3) beliau mengampu perkuliahan.Â
Belum lagi ditambah dengan aktivitas di luar jam perkuliahan, seperti menjadi narasumber seminar, pelatihan, lokakarya kepenulisan, bedah buku dan lainnya. Tentu kepadatan agenda beliau dalam berbagai kegiatan akademik ataupun sosial-keagamaan itu turut mendefinisikan sekaligus menjadi bukti dari kiprah, kedalaman kapabelitas dan kecapakan intelektual beliau.Â
Terlebih kedalaman kapabelitas dan kecakapan intelektual itu selalu beliau sodorkan dengan kemasan yang cruncy dan menarik dalam menyampaikan materi. Sehingga penyampaian materi perkuliahan itu tampak mudah untuk dicerna dan dipahami. Sesekali beliau mengkorelasikan pengalaman pribadi yang unik dan humoris, sembari menyisipkan pandangan tokoh lain yang berhubungan banyak dengan materi.Â
Sudah barang tentu penyederhanaan materi yang rumit ke dalam bentuk yang sederhana: cruncy, menarik dan menganalogikannya pada pengalaman pribadi adalah salah satu upaya yang tidak mudah dan sedikit memutar logika. Akan tetapi upaya penyederhanaan dan mengemas materi menjadi lebih mudah dipahami dan menarik itu merupakan tugas seorang pengajar. Dan saya rasa, Prof. Naim berhasil melakukan itu.
Konsistensi dalam Berkarya
Hebatnya lagi, di samping kesibukannya dalam mengajar dan menjadi pengisi di berbagai perhelatan acara, beliau juga aktif dalam berkarya. Sebagai bukti konkretnya kita bisa searching seberapa banyak jumlah karya beliau di google scholar dengan kata kunci Ngainun Naim. Dua tahun terakhir saja, karya beliau tidak kurang dari 40 buah. Tentu itu adalah jumlah yang fantastis. Sebab tidak semua dosen mampu menghasilkan karya menyentuh angka itu. Jikapun ada, jumlah itu tidak lain adalah akumulasi dari karyanya selama berkiprah di kampus.
Lantas apa saja bentuk karya Prof. Naim di tahun terakhir? Bentuk karyanya terdiri dari jurnal: nasional dan internasional, buku antologi dan buku solo. Akan tetapi dari tiga kategori tersebut, karya yang tertengger di akun google scholar itu lebih didominasi oleh jurnal penelitian dan buku solo. Tentu, jumlah itu tidak termasuk dengan karya yang terindeks Scopus.Â
Belum lagi ditambah dengan keaktifan beliau dalam mengisi kolom opini di koran lokal-nasional dan konten blog. Baik itu blog pribadi ataupun keroyokan. Sejauh yang saya ketahui dan saya amati, beliau memiliki dua blog pribadi, yakni www.ngainun-naim.blogspot.com dan www.spirit-literasi.id. Kedua alamat blog itu senantiasa beliau isi secara rutin. Bahkan konten blog itu kerapkali menjadi jamuan sarapan pagi saya dan para penghuni grup Sahabat Pena Kita cabang Tulungagung dan grup lainnya.Â
Melalui tulisan yang diunggah di blog, secara konsisten beliau memberikan informasi, menyampaikan catatan perjalanan, menyodorkan pokok-pokok gagasan hasil pembacaan, cerita menarik dan lain sebagainya. Terkadang di dalam catatan refleksi yang dimuat di blog itu, beliau mempromosikan, mereview dan mengomentari karya-karya anak ideologis beliau yang berhasil melahirkan karya solo.Â
Keberhasilan dalam berkarya yang dituai anak ideologis tersebut tentu tidak lepas dari pemikiran Prof. Naim yang tertuang dalam buku solo yang bergenre literasi. Di antaranya, yakni The Power of Reading Menggali Kekuatan Membaca untuk Melejitkan Potensi Diri, The Power of Writing Mengasah Keterampilan Menulis untuk  Kemajuan Hidup, Proses Kreatif Penulisan Akademik Penduan untuk Mahasiswa (Akademia Pustaka, 2019), Teraju: Strategi Membaca Buku dan Mengikat Makna (IAIN Tulungagung Press, 2017) dan lainnya.Â
Sekilas gambaran di atas setidaknya menegaskan jam terbang dan sepak terjang konsistensi beliau dalam berkarya. Beliau secara masif sedang mengajarkan sekaligus mengajak setiap khalayak yang sempat membaca karyanya untuk menjadi seorang penggiat literasi handal. Seorang penggiat literasi handal tentu harus memiliki karakter sebagai pembelajar sejati yang pantang arah. Gemar belajar dan terus berlatih. Seakan-akan beliau sedang menandaskan pesan, bahwa kecakapan berliterasi itu harus ditopang banyak oleh keseimbangan antara praktek dan kedisiplinan wawasan. Kedalaman tulisan banyak dipengaruhi oleh kedalaman wawasan pengetahuan.Â
Geliat Literasi yang Membara
Kedua pembahasan sebelumnya: Kecakapan Intelektual dan konsistensi dalam berkarya-yang ada di dalam diri Prof. Naim, secara haqqul yakin saya meyakini bahwa hal itu banyak dipengaruhi spirit literasi yang begitu besar terbenam di dalam diri beliau. Berkaitan dengan hal itu, di beberapa pertemuan beliau sesekali menceritakan latarbelakang dan proses terjalnya menyelami dunia literasi.Â
Spirit literasi yang terbenam di dalam diri beliau secara tegas dinyatakan bahwa hal itu ditenggarai kekagumannya terhadap sosok sang Bapak yang berprofesi sebagai guru. Almarhum Bapak Kalip Surjadi setiap pagi kerapkali menenteng banyak buku tatkala hendak berangkat kerja (Allah Yarham). Semoga saja ingatan saya tidak salah. Dan itu menurut Prof. Naim kecil sangatlah keren dan elegan. Di samping itu, beliau juga banyak termotivasi untuk getol menggeluti dunia literasi setelah melihat keaktifan menulis beberapa dosennya tatkala beliau duduk di masa kuliah. Bahkan, di masa-masa duduk di bangku kuliah strata satu (S-1) itu pula beliau banyak bergelut dengan buku-buku yang meningkatkan gairah literasi beliau.Â
Pernah pula satu waktu beliau menceritakan bagaimana perjuangannya mengirimkan naskah ke koran lokal dan Kompas. Penolakan demi penolakan terhadap naskah yang beliau buat lantas tidak menyebabkannya putus asa, karena beliau sendiri menyadari, bahwa dimuatnya tulisan di koran bergengsi tidak lepas dari proses kompetisi yang ketat. Sehingga hanya naskah terbaik, bersanad dan berbobotlah yang akan dimuat di kolom opini. Sedang dimuatnya tulisan di koran Kompas adalah salah satu kebanggaan tersendiri di zaman itu. Ada persepsi yang berlaku pada zaman itu, bahwa kapasitas dan kualitas keilmuan seseorang dapat diukur dengan dimuat-tidaknya tulisan miliknya di koran bergengsi.Â
Persepsi kompetisi dalam berliterasi yang ketat di ruang publik itu pula yang banyak menstimulus lahirnya geliat literasi yang kian membara dan tak ada habisnya dalam diri Prof. Naim. Bahkan, spirit literasi yang membara itu beliau tularkan secara cuma-cuma kepada setiap orang yang mau mengikuti jejaknya. Sebagai bukti konkretnya, beliau tidak pernah menolak jika seusai seminar atau pelatihan kepenulisan beliau didaulat sebagai pembina grup WhatsApp berbasis literasi. Dalam grup itu, beliau tidak semata-mata bernaung tanpa kontribusi melainkan justru beliau langsung mencontohkan, memberikan kritik dan saran.Â
Di lain waktu beliau juga begitu murah ilmu tentang kepenulisan. Tentu murah di sini bukan berarti murahan, melainkan gemar berbagi dan mengayomi penulis pemula. Tak jarang beliau mengajak khalayak ramai untuk membuat buku antologi, mengompori secara personal untuk sesegera mungkin membuat buku solo dan beliau juga tidak segan mengajak mahasiswanya untuk berkolaborasi dalam membuat artikel jurnal. Utamanya beliau akan sangat merasa senang, manakala ada anak ideologis-nya yang tiba-tiba meminta kata pengantar untuk buku solo-nya. Bahkan, beliau sempat menegaskan sendiri bahwa setiap anggota grup WhatsApp berbasis literasi secara pasti akan dengan senang hati dibuatkan kata pengantar tanpa terkecuali. Dan itu pasti.
Bagi saya pribadi, ketiga poin yang telah dipaparkan di atas: Perihal kecakapan intelektual, konsistensi dalam berkarya dan geliat literasi yang membara sudah sangat eksplisit menegaskan kiprah intelektualitas Prof. Naim. Meskipun secara sadar, apa yang saya sampai di atas mungkin hanya alakadarnya dan jauh dari kata sempurna. Tentu hal itu bersifat subjektif dan argumentatif.Â
Selain itu beliau memang sosok teladan dan tangguh dalam hal menyelami dunia literasi. Beliau secara istikamah berusaha menanamkan kesadaran kepada khalayak, bahwa memiliki dan menggeluti dunia literasi itu bukanlah hal yang sia-sia. Sebab, membaca adalah jalan kita untuk banyak mengaca, menganalisa dan memperkaya diri. Sedang menulis adalah cara kita mengada melampaui bentangan zaman.Â
Tulungagung, 22 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H