Gelar Tidak Membohongi Proses
Sungguh bahagia tak terkira tatkala saya mendapat kabar Dr. Ngainun Naim, M. HI dianugerahi gelar tertinggi akademik: Profesor. Setidaknya melalui SK penyematan gelar baru tersebut khalayak ramai-termasuk Naimisme: para murid sekaligus anak ideologisnya-secara leluasa dapat memanggil beliau: Prof. Naim (sapaan akrab) dengan absah dan fasih. Tanpa embel-embel yang lain.Â
Tanpa embel-embel yang lain? Maksudnya seperti apa? Maksudnya itu memanggil tanpa adanya motif udang di balik batu. Memuji atau menyanjung beliau bukan dikarenakan ada maksud dan tujuan tertentu, melainkan karena takdim dan penghormatan terhadap guru. Seperti halnya yang telah kita ketahui bersama, mengambil hati seseorang yang dituju adalah salah satu cara untuk melancarkan kepentingan yang kita mau. Semacam grafitikasi berbangsa mental dan menyentuh gejolak jiwa, yang umumnya digunakan sebagai pemanis buatan yang diracik para pencari muka.Â
Saya kira sudah menjadi rahasia umum, jika jauh-jauh hari sebelum diturunkan SK guru besar itu sebagian besar orang yang mengenal Dr. Ngainun Naim selalu memanggil beliau dengan sebutan Prof. Naim. Entah seberapa besar tingkat antusias khalayak ramai menyebut-nyebut nama Prof. Naim dalam kurun waktu sehari, sehingga ucapan itu pada akhirnya dengan begitu cepat terkabul. Dalam konteks inilah saya percaya bahwa ucapan yang dilafalkan secara intens adalah doa. Terlebih-lebih ucapan tersebut diamini oleh kuantitas orang yang tak terhingga. Tentu hal itu adalah senjata pamungkas yang manjur.Â
Bagaimana bisa? Dan seperti apa pula logika kerja panggilan-sebagai rapalan doa-yang diucapkan dengan intensitas yang tinggi dapat mewujud sebagai kenyataan? Untuk mengetahui proses panjangnya mari kita kuak secara saksama.Â
Perkataan yang sama jika diucapkan seringkali kepada seseorang sangat dimungkinkan dapat mengetuk dua pintu: dimensi ilahi dan dimensi potensi yang terbenam dalam diri manusia. Pintu vertikal dan horizontal. Mengetuk dimensi ilahi maksudnya ucapan yang lanyah itu mewujud sebagai doa. Doa yang dipanjatkan dengan istikamah dan sungguh-sungguh untuk kebaikan tertentu sangat dimungkinkan terwujud dengan Kun fayakun-Nya. Terkabulnya doa turut mengubah status, derajat dan level manusia sebagai hamba di hadapan sang Pencipta dan sesama makhluk-Nya.
Sementara ucapan lanyah yang kerapkali dipersembahkan kepada sesama manusia (dapat mengetuk pintu horizontal) pada dasarnya dapat merangsang (memotivasi, mendikte dan menstimulus) cara berpikir, mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan apa yang dipersepsikan sebagian yang lain terhadap seseorang tersebut. Atau malah doa itu justru menguatkan sesuatu hal yang diekspektasikan oleh orang tersebut.Â
Mula-mula, apa yang diucapkan oleh orang lain tersebut bertumpu pada fakta potensial yang tampak timbul dari dalam diri seseorang tersebut. Sehingga yang diucapkan bukan bualan belaka. Bukan pula satire yang ditujukan untuk menjatuhkan seseorang yang dianggap sebagai lawan bebuyutan kita. Melainkan yang tampak timbul itu adalah fakta potensial yang menampakkan diri dalam wujud hobi, kesenangan dan sesuatu yang digeluti. Lantas orang lain menilai dan berasumsi bahwa penampakan potensi dalam diri seseorang itu dipandang mampu dikembangkan dan diasah lebih lanjut untuk menjadi lebih baik.Â
Penilaian dan asumsi yang berulangkali dilontarkan khalayak ramai tersebut kemudian lambat-laun merasuk ke dalam alam bawah sadar seseorang yang dimaksud. Di alam bawah sadar itu pula penilaian dan asumsi bertransformasi menjadi rentetan target mimpi yang harus tercapai. Adapun bentuk tegas dari target mimpi yang harus tercapai tersebut didefinisikan sebagai cita-cita, kehendak personal, keinginan ataupun obsesi yang tercantum dalam kamus hidup seseorang.
Sedang adanya rentetan target yang terbenam dalam diri adalah salah satu faktor dan alasan seseorang mengapa ia harus bergerak cepat. Pendek kata, sebagian besar manusia bergerak karena adanya motif kebutuhan yang harus dipenuhi, dicapai dan diraih. Manusia hidup di bawah bayangan cita-cita, mimpi, obsesi dan segenap kepentingan yang membuncah di hati dan isian kepala.Â
Robert T. Kiyosaki dalam buku Rich Dad's Cashflow Quadrant menyebutkan bahwa jalan hidup manusia tidak ditemukan di dalam pikiran. Jalan hidup manusia adalah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya (2021: 8). Kendati demikian, orang-orang yang paling penting dalam hidup manusia kebanyakan turut mendikte sebagian yang lain dengan bayangan nasihat-rekomendasi profesi harus menjadi apa (2021: 18-19).
Selanjutnya, kebutuhan itu hanya akan dicapai manakala dilakukan melalui proses penempaan dan pendisiplinan atas potensi yang menjurus. Artinya, dalam konteks ini, harus ada kualifikasi dan kompetensi tertentu yang menjadi prasyarat untuk mencapai gelar Profesor. Kiprah intelektualitas, produktivitas dalam berkarya dan skill yang mumpuni dalam berliterasi menjadi tiga prasyarat yang harus dikuasai.Â
Mengenai kiprah intelektualitas, produktivitas dalam berkarya dan skill mumpuni dalam berliterasi yang dimiliki oleh Prof. Naim telah saya bahas dalam artikel sebelumnya yang berjudul Prof. Ngainun Naim: Sosok Teladan yang Murah Ilmu. Artikel itu saya buat untuk memenuhi undangan menulis antologi dalam rangka apresiasi pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Ngainun Naim yang dikelola grup sebelah. Sedang tulisan ini dibuat untuk memenuhi undangan menulis antologi sebagai apresiasi Guru Besar Prof. Dr. Ngainun Naim yang diinisiasi oleh kawan-kawan Sahabat Pena Kita Tulungagung.Â
Diraihnya gelar akademik tertinggi itu saya pikir tidak lepas dari proses panjang berdarah-darahÂ
yang telah lama dilakukan oleh Prof. Naim. Diterimanya gelar akademik tertinggi itu tidak lain kulminasi dari perpaduan antara usaha keras, kerja cerdas dan doa dari berbagai kalangan yang tak putus-putus. Sehingga tidak salah jika penghargaan-pencapaian itu sangat dielu-elukan oleh sebagian besar orang yang mengenal Prof. Naim.
Peletak Kesadaran Berliterasi
Prof. Naim sendiri di banyak kalangan-termasuk dalam hidup saya-berperan sebagai guru sekaligus sosok teladan yang menginspirasi dalam hal geliat literasi. Skill berliterasi beliau tidak perlu diragukan lagi. Sudah berapa puluh buku yang dilahirkan oleh tangannya. Bahkan saking besarnya geliat literasi yang menggelora dalam dirinya, beliau menjadikan setiap momen sebagai kesempatan untuk menularkan semangat berliterasi kepada siapapun yang mau belajar. Beliau membukakan pintu ilmu tentang kepenulisan seluas-luasnya.Â
Seperti halnya yang ditegaskan dalam buku The Power of Writing Mengasah Keterampilan Menulis untuk Kemajuan Hidup, beliau secara konsisten mengajak dan memprovokasi setiap orang untuk menjadi bagian dari sosok yang melek atas pentingnya menekuni dunia literasi. Bagi beliau menjadi penggiat literasi adalah ruh seseorang yang pernah mengenyam dunia pendidikan. Seorang pembelajar (baik murid ataupun guru) sejati sudah seharusnya memiliki kompetensi dasar membaca, menulis dan berkarya yang konsistensi.
Mengapa demikian? Sebab semua itu adalah upaya melestarikan budaya peradaban ilmu. Karya tanda manusia itu mengada. Tanpa  itu semua, proses pembelajaran dan transaksi ilmu pengetahuan hanya formalitas belaka. Jika harus ditegaskan, skill berliterasi adalah penghulu atas terbukanya pintu ilmu. Sebab tanpa kemampuan berliterasi yang baik dan mumpuni akan mengakibatkan tersendatnya proses pembelajaran dan transaksi ilmu.Â
Oleh karena itu, hal mendasar yang harus dikokohkan sekaligus diperbaiki adalah pentingnya kesadaran berliterasi. Upaya menggugah kesadaran berliterasi itu Prof. Naim lakoni melalui banyak aksi: Mulai dari merawat blog, seminar, pelatihan hingga mengemasnya dalam bentuk buku.
Ciamis, 24 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H