Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebih Dekat Memahami Santri

19 Desember 2021   17:57 Diperbarui: 19 Desember 2021   18:56 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi

Dua tahun lebih sepuluh bulan mengabdikan diri di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia kiranya cukup untuk saya memahami berbagai jenis, karakter dan siklus adaptasi para santri luar biasa yang menjelma sebagai tradisi di lembaga tersebut. 

Hitung saja upaya proses pemahaman itu dimulai semenjak masa transisi perpindahan tempat pembelajaran: dari desa Gedangsewu rumah Pak Sinung ke SDLB Tamanan. 

Tiga bulan pembelajaran di SDLB Tamanan, saya melihat ada tiga jenis santri disabilitas yang tertampung: Tuna netra, tuna rungu dan tuna wicara. Dari tiga jenis santri disabilitas itu penyandang tuna rungu dan tuna wicara menjadi mayoritas penduduknya. Sementara santri penyandang tuna netra yang kerap hadir hanya seorang saja, Riska namanya. 

Setiap sesi kehadiran pembelajaran perminggunya lebih didominasi oleh santri, laki-laki. Sedang santriwatinya dapat dihitung jari. Jumlah itu pun pada umumnya dikuasai oleh santri yang berlatarbelakang pendidikan formal sekolah dasar luar biasa atau sekolah dasar biasa yang di dalamnya memuat inklusi. 

Ada pula dua-tiga santri yang bersekolah di tingkat pertama dan tingkat atas. Rata-rata mereka semua mengenyam bangku sekolah di zonasi pendidikan wilayah masing-masing.

Adapun jika seluruh jumlah santri yang ada saat itu ditinjau dari sisi usianya, secara umum kurang lebih dapat dikelompokkan berdasarkan rentang usia 8-17 tahunan. Santri terkecil berusia 8 tahun dan santri yang besar berusia 17 tahun. Total santri tatkala itu pun tidak menyentuh angka 30 orang. Paling-paling hanya terhitung maksimum kurang lebih 25 orang santri.

Menurut saya pribadi, latar belakang pendidikan itu pula yang banyak membentuk karakter, mengondisikan sikap dan tingkah santri tatkala belajar mengaji di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Meski demikian, proses pembelajaran TPQLB Spirit Dakwah Indonesia saat bermukim sementara di SDLB Tamanan itu ada pula  santri yang memang dengan jelas mempertontonkan tingkahnya yang susah diam dan diatur. Sebutkan saja hal itu dengan istilah hiperaktif. 

Seingat saya, tatkala itu ada dua santri kembar yang memang hiperaktif: Royan dan Royihan. Mereka berdua selama belajar ngaji kerapkali wira-wiri dan mengotak-ngatik barang yang memang milik (inventaris) sekolah. Tidak jarang pula, salah satu di antara mereka memukul kaca dengan penggaris. Jika tidak demikian, lemari, bangku, pintu dan santri lainnya menjadi objek incaran keusilan kedua tangannya. 

Karakter anak yang susah diam dan diatur demikian itu pula yang terkadang membuat asatidz merasa was-was dan diliput khawatir yang berlebihan. 

Takutnya cuma satu: akan ada korban. Entah itu barang sekolah yang rusak atau pun hal lain yang memang membahayakan keselamatan santri yang lain. Sudah barang tentu, hal itu harus diminimalisir semampu dan seketat mungkin. 

Selama kurang lebih tiga bulan bermukim di SDLB Tamanan saya pribadi belum bisa memetakan bagaimana siklus pembelajaran TPQLB Spirit Dakwah Indonesia berlangsung. 

Yang tampak jelas, selama itu antara santri dan asatidz benar-benar sedang berada pada posisi yang sama: berupaya keras untuk beradaptasi dengan lingkungan yang ada. Alhasil, kegiatan pembelajaran pun hanya diisi dengan mengaji (membaca jilid) dan menulis. Selebihnya berdoa dan pulang. 

Pemandangan lain tampak setelah kami beralih tempat ke musala Baitussalam Serut. Semenjak perpindahan tempat pembelajaran ini kuantitas, karakter dan siklus pembelajaran santri kian terdeskripsikan jelas. Perbedaan antara santri lawas dan baru; kecil, sedang dan besar antusias yang dimiliki santri dengan sendirinya kian kentara ke muka. 

Bertambahnya kuantitas santri yang awalnya hanya tuna rungu, tuna wicara dan tuna netra kini menjadi lebih bervariatif: tuna rungu, tuna wicara, tuna netra, tuna daksa, down sindrom, hiperaktif, dan keterlambatan menjadi poin pertama yang menyambut hangat perpindahan tempat pembelajaran. 

Kuantitas santri itu pun tidak berbatas usia. Hampir semua usia ada. Mulai dari usia PAUD, TK, SD, SLTP, SLTA, siap kerja bahkan sampai ada juga santri yang memang sudah bekerja. 

Meskipun kemudian harus ada catatan pula: santri yang usianya masuk SLTA, siap kerja dan sudah bekerja terkadang absensi masuknya kebanyakan alpa. Itu belum dihitung dengan santri yang memiliki jarak tempuh yang jauh antara letak kediaman dan TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Serta perubahan musim yang terkadang banyak mencekal niatan baik orangtua mengantarkan putra-putrinya untuk mengaji.

Sampai sekarang, kuantitas santri yang terdata dan terdokumentasikan arsipnya kurang lebih 70 orang. Dokumentasi arsip di sini maksudnya sesuai Kartu Keluarga (KK) dan Akte Kelahiran santri yang ada. 

Harus menjadi catatan tersendiri, bahwa kami (red: dewan asatidz) memang memiliki peraturan bagi setiap anak yang hendak mengaji di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia harus menyerahkan berkas KK dan akte kelahiran anak. 

Hal yang demikian itu diberlakukan untuk kepentingan pengarsipan lembaga. Termasuk pemberkasan yang menopang kesuksesan dan tingkat akurasi legalitas lembaga pendidikan keagamaan. Absensi santri dan akreditasi lembaga misalnya. 

Di samping itu pengarsipan berkas pula dapat menjadi acuan kami untuk validitas data santri: nama, usia, jenis kelamin dan silsilah keluarga. 

Tak terkecuali bermanfaat untuk mengkategorikan santri masuk kategori penghuni kelas baru atau lama. Meski sejatinya di TPQLB juga belum ada tingkatan kelas yang tertata. Yang jelas pernah ada adalah pembedaan sekat ruang berdasarkan usia. Akan tetapi hal itu kembali ambyar setelah pandemi Covid-19 merajalela. Dan kini masih dalam proses adaptasi dan penataan itu semua.

Penambahan dan penerimaan santri baru yang terjadi di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia sendiri tidak mengenal waktu. Hampir di setiap tahun selalu saja ada santri baru meskipun itu cuma satu ataupun dua. 

Dalam rentang waktu 2019-2021 saja saya kira kemunculan santri baru itu kian membludak. Walaupun pada kenyataannya kemunculan santri baru juga disertai dengan surutnya (jarang masuk yang entah ke mana) santri yang lama. 

Mengenai sistem dan alokasi waktu penerimaan santri baru ini saya kira menjadi satu catatan tersendiri untuk evaluasi lembaga kedepannya. Hal ini penting dilakukan, mengingat jumlah tenaga asatidz yang terbatas dan penerimaan relawan yang kian surut. Padahal regenerasi dan pengelolaan sumber daya manusia sebagai tenaga pendidik sangat menentukan kontinuitas eksistensi lembaga.

Realitas penambahan kuantitas lintas usia dan latarbelakang santri serta perpindahan tempat pembelajaran juga turut memengaruhi perkembangan sekaligus pembentukan karakter para santri. Mayoritas wali santri memandang bahwa semenjak putra-putrinya mengaji di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia kian hari kian berkembang. 

Hal itu ditopang oleh lingkungan tempat yang nyaman, interaksi sosial di antara santri yang terbangun dengan baik dan dewan asatidz yang terbuka: mengajar tanpa membeda-bedakan, mengajar dengan pendekatan emosional dan selalu membangun hubungan timbal balik dengan wali santri. 

Secara pribadi saya memandang bahwa karakter setiap santri banyak dipengaruhi latarbelakang cara orangtua mendidik, teman bergaul dan gender. Kendati demikian, setiap santri juga kerap menampilkan karakternya masing-masing selama proses pembelajaran. 

Di antaranya saja: ada santri yang mudah bergaul, mudah menirukan semua hal yang diajarkan oleh asatidz, pilih-pilih asatidz, usil, suka menyendiri, susah fokus dan konsentrasi, mudah lupa, kuat ingatannya dan lainnya. 

Di samping itu ada juga santri yang berusaha memanfaatkan waktu jeda sorogan mengaji atau selesai menulis dengan menyalurkan hobinya. Misalnya saja, mengisi waktu jeda itu dengan menggambar, membuat sketsa, menulis sesuai selera dan lain sebagainya.

Akhir-akhir ini saya juga menemukan sesuatu hal baru bahwa karakter itu juga dipengaruhi oleh jenis disabilitas yang disandang oleh masing-masing santri. Misalnya saja santri tuna netra karakternya ketika pembelajaran akan banyak diam jika tidak dibantu dengan indera peraba. Sedang santri down sindrom memiliki karakter yang susah ditebak, sebab dapat berubah sewaktu-waktu. 

Terkadang usil terhadap santri yang lain, menampilkan attitude yang kurang baik pada asatidz- misalnya meludahi, mengangkat kaki ke meja, merampas peci- dan enggan dikendalikan dengan tanda tidak merespon interaksi secara verbal. Moodnya sangat memengaruhi. Sekali lagi, tidak dapat ditebak!

Sedang siklus pembelajaran santri yang kerap terjadi di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia ialah dapat dibedakan menjadi tiga: adaptasi, berbaur dan mandiri. Tahapan adaptasi biasa cenderung melanda para santri baru. Sebagai penghuni baru sudah barang tentu mereka ingin tahu ini dan itu. Merasa asing sekaligus takut dengan asatidz dan santri lainnya. 

Selama proses adaptasi ini tidak jarang mereka (red: santri baru) enggan untuk diajari mengaji. Tidak jarang mereka malah merengek pada ibunya sembari berujar, "emoh". Jika tidak demikian mereka memilih jalan dengan melarikan diri. Menjauh pelan-pelan atau berontak pada ibunya. 

Selain itu, satu kebiasaan yang terjadi pada santri baru adalah mereka kerap didampingi oleh ibunya. Seakan-akan ibu adalah benteng terbaik pertahanannya. Meski terkadang justru ibunya juga kerapkali bersabar membujuk hingga urat lehernya timbul.

Hal yang demikian itu wajar adanya. Analoginya seperti kita bertamu ke rumah orang lain atau berkunjung ke tempat asing, maka yang harus ada adalah proses pengenalan, identifikasi dan bentuk penerimaan. 

Begitu juga yang terjadi pada diri santri baru di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia, mereka membutuhkan proses pengenalan, identifikasi dan bentuk penerimaan. Lantas tidak heran jika di awal jumpa mereka merasa takut, enggan dan banyak menolak.

Menyadari hal itu, asatidz tidak habis akal. Biasanya mereka juga turun gelanggang membujuk santri dengan menawarkan opsi dengan asatidz mana santri ingin mengaji. Jika tidak berhasil, maka senjata pamungkas pun dikeluarkan. Dalam kondisi krusial inilah peranan penting media pembelajaran seperti puzzle huruf Hijaiyah, puzzle urutan salat, berwudu dan lainnya menjadi andalan. 

Proses adaptasi ini umumnya melanda santri kurang lebih dalam kurun waktu satu sampai tiga bulan. Selama proses adaptasi ini pula komunikasi yang intens antara orangtua dan asatidz harus dibangun dengan baik. Utamanya, berusaha mengingatkan orangtua untuk terus bersabar dan berikhlas hati untuk mengantarkan putra-putrinya mengaji. Sebab, selama proses adaptasi ini pula banyak orangtua yang kewalahan dan menyerah dalam perjuangannya. 

Kedua, tahapan berbaur. Setelah santri baru bisa mengenal, mengindentifikasi dan menerima lingkungan baru belajarnya mereka akan sampai pada tahap membaur dengan yang lain. Bergaul baik dengan teman-teman barunya serta tidak takut lagi dengan asatidz. Bahkan pada tahapan ini mereka tidak lagi membutuhkan pendampingan dari orangtua saat mengaji.

Jika pada tahapan adaptasi ia akan banyak memilih asatadiz yang mengajarinya, maka pada tahapan ini ia telah berkompromi pada siapa pun; dengan asatidz siapa saja ia siap mengaji.

Tatkala berbaur dengan yang lain mereka juga mulai berbagi cerita tentang dirinya, keluarga dan kesukaannya. Mampu mengikuti instruksi asatidz dan mengerjakan tugasnya. Bahkan tidak segan, mereka akan menunjukkan apa yang ia kerjakan, gambar dan suka pada asatidz. Untuk sesekali bahkan mereka suka berguyon dan usil.

Sementara pada tahapan mandiri, santri sudah porsi waktu: benar-benar tahu kapan waktunya mengaji, menulis dan mengobrol di sela-sela waktu mengaji dengan temannya. Sesekali mereka mengingatkan kekeliruan yang dilakukan santri yang lain. Terkadang mereka juga menjadi jembatan penghubung komunikasi antara asatidz dengan santri yang lain. 

Tidak jarang mereka juga telah mempersiapkan lembaran jilid mana yang akan dibaca dan ditulis. Sembari menunggu bagian sorogan mengaji, terkadang mereka manfaatkan untuk menulis terlebih dahulu. 

Di lain waktu, kemandirian itu juga mereka tunjukkan dengan mengusung dan menata meja-meja yang digunakan untuk dan setelah mengaji. 

Dan hal itu, tidak hanya dilakukan oleh santri melainkan juga diikuti pula oleh santriwati. Terkadang santriwati juga turut berpartisipasi dalam menyapu ruangan untuk mengaji.

Tulungagung, 19 Desember 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun