[Tulisan ini adalah terusan dari pembahasan sebelumnya yang berjudul Menguak Kelahiran SPL].
Nama Sahabat Pena Lentera (SPL) sendiri terinspirasi dari nama grup menulis Sahabat Pena Nusantara (selanjutnya disingkat SPN) yang pernah membuat saya merasa ngidam untuk menjadi bagian kecil darinya. Rasa ngidam itu sudah barang tentu tidak muncul tiba-tiba, melainkan ada tiga alasan kenapa rasa ngidam itu berhasil bersemayam dalam diri saya.
Pertama, rasa ketertarikan timbul tatkala saya kerap mendapati broadcast tulisan yang mengatasnamakan Sahabat Pena Nusantara di berbagai kanal media sosial, utamanya WhatsApp. Kesan pertama itu cukup mengena, sebab grup tersebut begitu santer menampilkan riak suara melalui tulisan di saat khalayak ramai gandrung dengan sikap narsisnya.
Karena rasa ketertarikan itu pula, pernah satu ketika saya berusaha melacak seluk-beluk tentang grup itu kepada salah seorang teman yang saya anggap tatkala itu getol mengikuti kegiatan literasi. Bahkan, kabar terakhir yang saya dengar, ia tergabung sebagai salah seorang anggota grup yang dibentuk sekaligus diasuh oleh ketua Sahabat Pena Nusantara  secara langsung.
Alhasil, cerita yang ia sampaikan dan keterlibatannya di salah satu grup menulis yang dimomong langsung oleh ketua SPN itu membuat rasa penasaran saya semakin membuncah. Hingga akhirnya, flayer pemberitahuan tentang akan dihelatnya Kopdar ke-4 SPN sampai ke tangan saya. Momentum itu adalah kesempatan emas saya untuk mengulik secara mendalam tentang bagaimana orientasi grup SPN.
Kedua, benar saja, keinginan untuk menjadi bagian dari grup itu semakin besar setelah saya mengikuti Kopdar ke-4 SPN yang dihelat di kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Terlebih, kesan-pesan hubungan kekeluargaan yang dihadirkan sepanjang acara begitu terasa.
Selain itu, di sana saya juga bertemu dengan banyak tokoh besar yang benar-benar gila akan literasi. Kegilaan akan literasi itu dibuktikan dengan di-launching-nya beberapa karya terbaru anggota SPN, baik itu karya solo maupun karya bersama (antologi). Mengetahui hal itu, untuk beberapa saat, saya dibuat terkesima melihatnya. Dalam hati kecil terbersit, ingin rasanya kelak saya merasakan nikmatnya merayakan kelahiran buah pena saya. Menikmati kelahiran buku solo itu seperti apa.
Rasa kekaguman saya terhadap hal itu lantas disempurnakan dengan momen "wow" tatkala mendengar paparan materi yang disampaikan oleh beberapa tokoh beken. Tak ketinggalan, di jeda acara, saya juga sempat berswafoto dengan Alm. Hernowo Hasim. Yang belakangan saya tahu, beliau juga memiliki nasab yang sama dengan saya, berasal dari tanah Pajajaran.
Dengan demikian, maka alasan ketiga saya kepincut untuk bergabung dengan SPN adalah ditemukannya satu fakta menarik, bahwa grup itu menghimpun orang-orang kawakan dan fanatik dalam menggeluti dunia literasi. Aura itu sangat kental terasa tatkala khalayak partisipan begitu menikmati sodoran materi yang disuguhkan dalam Kopdar ke-4 SPN. Suasana itu membuat saya merasa nyaman, seakan-akan saya menemukan rumah yang pas untuk berlindung: mengasah potensi, terus menghidupkan motivasi dan mengembangkan buah pemikiran hingga menjadi suatu karya.
Perhelatan acara Kopdar itu pada kenyataannya memberikan beberapa dampak positif terhadap diri saya, di antaranya: Berhasil memompa geliat literasi yang ada dalam diri, menaruh keyakinan bahwa menulis itu mudah, memotivasi diri untuk disiplin dalam menulis dan mendorong saya untuk sesegera mungkin mencanangkan kelahiran buku solo dan karya lainnya.
Dampak positif itu kian membulatkan tekad yang terpatri di dalam hati sekaligus menumpahkan rasa bahagia yang meliputi diri saya manakala di penghujung acara saya mendapatkan tiga buku sebagai cendera mata. Ketiga buku antologi itu berjudul: Yang Berkesan Dari Kopdar Sahabat Pena Nusantara di PP Darul Istiqomah Bondowoso (Yogyakarta: Diandra Kreatif, 2017), Merawat Nusantara Menumbuhkan Kembali Spirit Kesatuan dalam Kebhinekaan (Malang: Genius Media, 2017) dan Resolusi Menulis Menyusun Rencana Mewujudkan Karya (Tulungagung: Akademia Pustaka, 2017).
Beberapa hari setelah Kopdar ke-4 SPN, saya sempat mengirimkan catatan singkat yang berisikan kesan-pesan dan sedikit review mengikuti Kopdar serta mengutarakan keinginan saya untuk bergabung menjadi salah satu anggota SPN melalui kolom pesan Facebook ke akun ketua SPN. Malangnya nasib pesan itu tidak menemukan tuannya. Kala itu hati kecil hanya mampu berkhusnudzon, mungkin saya belum memenuhi kualifikasi dan syarat untuk menjadi bagian, sehingga tidak diperkenankan. Atau mungkin saya telah salah alamat, sebab tidak mengikuti prosedur yang telah dibuat oleh tim panitia. Dan masih banyak kemungkinan lainnya yang belum tahu pasti apa alasan sesungguhnya. Tentu saja, hal itu saya terima dengan lapang dada. Ketidakpastian dan penolakan memang sudah seharusnya menjadi makanan pokok penulis amatir seperti saya ini.
Rasa ngidam yang belum terpenuhi itu pada kenyataannya di luar dugaan saya. Rasa ngidam tidak sirna begitu saja seiring kelapangan hati, melainkan menjadi katarsis ala Freud yang menjelma sebagai salah satu penghuni alam bawah sadar saya. Lantas di kemudian hari ternyata rasa ngidam di masa lalu itu membawa sekelebat nama grup SPN dan berhasil mengarahkan kesadaran saya untuk  memilih dua kata yang sama sebagai awalan nama dari grup menulis yang saya inisiasi.
Meski demikian, saya yakin betul setiap grup yang terbentuk memiliki falsafah tersendiri, sehingga tetap memiliki marwah visi, misi dan berjalan di jalurnya sendiri. Maka begitu halnya dengan kasus kesamaan dua kata awalan ini, bukan berarti semata-mata mencaplok ataupun mencuri ide, melainkan timbul dari kesadaran orientasi.
Penggunaan kata "Sahabat Pena" dalam grup SPL, menunjukkan orientasi harapan, cita-cita dan do'a yang mengekspektasikan setiap orang yang tergabung dalam SPL kelak menjadi "manusia langka". Satu istilah yang saya pinjam dari Dr. Ngainun Naim (selanjutnya sebut saja Dr. Naim) sebagaimana termaktub dalam buku The Power of Writing. Dalam buku tersebut dikatakan, istilah manusia langka itu dimaksudkan bukan sebagai bentuk penghinaan ataupun menjelek-jelekkan guna mendiskriditkan penulis melainkan justru mendudukkan penulis dalam posisi yang istimewa, (Ngainun Naim, 2015: 58-60).
Lah kok bisa? Memang apa alasannya seorang penulis itu digadang-gadang menduduki posisi yang istimewa? Logika seperti apa pula yang menjadikan penulis layak disebutkan sebagai makhluk yang langka. Apa mungkin penulis itu dianalogikan sebagai flora dan fauna purba yang harus diperhatikan sejarah jejak hidupnya hingga melestarikan segelintir yang masih tersisa?
Dr. Naim memaparkan lebih lanjut, bahwa menamai penulis sebagai makhluk langka tidak timbul atas dasar serampangan begitu saja melainkan pengistilahan itu sendiri mengacu pada akar realitas sosial dan problematika budaya yang ada. Tidak main-main, bahkan untuk membuktikan kebenaran atas penyematan istilah itu beliau menjadikan tempat pengabdiannya -kampus IAIN Tulungagung-sebagai laboratorium literasi dan objek risetnya.
Profesinya sebagai seorang dosen, beliau manfaatkan sebaik mungkin untuk mengkaji geliat literasi di lingkungan kampus. Meskipun di satu sisi beliau juga membuat semacam apologetik dan penegasan diri bahwa bidang keilmuannya secara langsung tidak bersentuhan dengan dunia menulis seperti halnya dosen bahasa Indonesia, namun bagi beliau yang "gila" literasi itu bukanlah masalah yang berarti. Yang terpenting bagi beliau adalah aksi: memberi contoh dan memotivasi (menebarkan spirit literasi).
Dari hasil pengamatannya, beliau membuat simpulan bahwa hanya segelintir orang saja yang benar-benar menekuni dunia menulis, baik itu di kalangan mahasiswa atau dosen sekalipun. Jikalau jumlah yang segelintir itu dipresentasikan sudah barang tentu hasilnya jomplang. Jauh dari harapan. Hal yang demikian sangat dimungkinkan disokong oleh ketidakcintaan dan nihilnya kesadaran akan pentingnya serta manfaat daripada keterampilan menulis itu sendiri.
Padahal keterampilan menulis di kalangan mahasiswa itu sangat penting. Tentu bukan hanya berguna untuk menopang kesuksesan dalam menuntaskan tugas makalah yang telah mendarah daging di bangku kuliah, melainkan juga akan mempermudah kelancaran prasyarat untuk kelulusan kuliah. Merampungkan tugas akhir berupa skripsi. Di samping itu semua, yang terpenting dari rangkaian penugasan itu adalah proses penempaan dan penajaman keterampilan menulis secara personal. Sebab menulis sendiri sebagai modal penting untuk menjadi bagian dari transformasi pengetahuan dan peradaban manusia, (Ngainun Naim, 2015: 59-60).
Sementara manfaat keterampilan menulis yang baik di  kalangan para dosen dapat dijadikan tools untuk mencetak karya dan menunjang performance kinerja. Misalnya saja, bermanfaat dalam pembuatan artikel jurnal, jurnal laporan hasil penelitian dan pengabdian, membuat buku, dan lain sebagainya. Yang jelas, hasil dari pemanfaatan keterampilan menulis itu akan membantu para dosen untuk kenaikan pangkat, (Ngainun Naim, 2015: 59).
Pertanyaan mendasarnya, jika keterampilan menulis itu banyak menghadirkan manfaat dan menunjang kinerja, tak terkecuali eksistensi manusia, namun mengapa masih banyak orang-utamanya akademisi-yang anti dan ogah-ogahan menulis? Jikapun menulis, itu hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan saja. Bukan menjadikan keterampilan menulis sebagai passion yang mampu meningkatkan kualitas diri dan branding personal.
Hemat saya, karena setiap orang yang mengenyam pendidikan, berpendidikan dan berprofesi sebagai pendidik (akademisi) telah terjebak dalam budaya praksis dari sistem pendidikan itu sendiri. Belajar menulis hanya untuk menunaikan tugas semata, bukan belajar menulis untuk mengekspresikan atau aktualisasi diri. Alhasil, keterampilan menulis itu terhenti seiring kelulusan seseorang itu dari dunia pendidikan. Nampaknya melakukan tracking study terkait berapa banyak jumlah lulusan bangku kuliah yang menjadi seorang penulis akan menjadi satu topik pembicaraan menarik tersendiri.
Saya pikir, kesalahannya, setiap orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan tidak pernah menyadari ataupun disadarkan bahwa seluruh proses pembelajaran-utamanya terkait tugas kepenulisan-diarahkan untuk menjadi modal atau tools dalam meningkatkan kualitas, pengembangan dan branding personal sehingga mampu menjadi bagian dari peradaban manusia.
Artinya, hakikat dari sederet tugas kepenulisan itu bukan semata-mata mengejar nilai, menuai pemahaman atas materi dan merampungkan tugas pendidik, melainkan lebih daripada itu: mengidamkan tertanamnya skill, kapabilitas dan cara pandang terhadap menulis yang mendarah daging. Bahkan, tampaknya tidak berlebihan jika saya mengatakan proses pendidikan itu bertujuan mencetak generasi produktif dan inovatif dalam meneruskan estafet peradaban karya.
Sampai di sini, saya sepakat dengan pernyataan epik Dr. Naim (2015: 60) bahwa: "Keterampilan menulis itu sesungguhnya sangat penting. Sayangnya, sampai sejauh ini hanya sebagian kecil saja yang mau menekuninya. Karena itulah saya kira tidak terlalu berlebihan kalau saya menyebut penulis itu makhluk langka."
Dari penjabaran di atas saya pikir sudah jelas kenapa penulis disebut sebagai makhluk langka. Konteks penulis sebagai makhluk langka yang istimewa itulah yang saya ambil sebagai Marwah dari kata "sahabat pena". Sementara nama "Lentera" yang berlaku dalam nama grup SPL secara sadar saya tujukan untuk menunjukkan manfaat dan tujuannya. Di mana setiap anggota yang tergabung di dalam grup SPL Â diekspektasikan akan menjadi cahaya penerang: baik atas dirinya maupun untuk orang-orang yang ada di sekitarnya.
Cahaya penerang di sini, diartikan sebagai personal yang paham akan hakikat dirinya sebagai manusia, doyan mengekspresikan atau mengaktualisasikan diri, dan menebar kemanfaatan terhadap khalayak umum serta memahami hidup sebagai proses sehingga tidak pernah berhenti untuk terus-menerus belajar. Media penebar cahaya itu tentu bukan petromax, lampu LED atau cermin, melainkan dengan sebanyak mungkin memberikan teladan, motivasi dan inspirasi dalam berkarya bagi semua kalangan.
Pada akhirnya, di sini saya dan teman-teman Lentera berorientasi mendedikasikan kiprah SPL sebagai salah satu wadah untuk menampung setiap orang yang mau menempa, mempertajam dan mengembangkan potensi diri yang fokus menggembleng geliat literasi.
Tulungagung, 22 November 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H