Hemat saya, karena setiap orang yang mengenyam pendidikan, berpendidikan dan berprofesi sebagai pendidik (akademisi) telah terjebak dalam budaya praksis dari sistem pendidikan itu sendiri. Belajar menulis hanya untuk menunaikan tugas semata, bukan belajar menulis untuk mengekspresikan atau aktualisasi diri. Alhasil, keterampilan menulis itu terhenti seiring kelulusan seseorang itu dari dunia pendidikan. Nampaknya melakukan tracking study terkait berapa banyak jumlah lulusan bangku kuliah yang menjadi seorang penulis akan menjadi satu topik pembicaraan menarik tersendiri.
Saya pikir, kesalahannya, setiap orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan tidak pernah menyadari ataupun disadarkan bahwa seluruh proses pembelajaran-utamanya terkait tugas kepenulisan-diarahkan untuk menjadi modal atau tools dalam meningkatkan kualitas, pengembangan dan branding personal sehingga mampu menjadi bagian dari peradaban manusia.
Artinya, hakikat dari sederet tugas kepenulisan itu bukan semata-mata mengejar nilai, menuai pemahaman atas materi dan merampungkan tugas pendidik, melainkan lebih daripada itu: mengidamkan tertanamnya skill, kapabilitas dan cara pandang terhadap menulis yang mendarah daging. Bahkan, tampaknya tidak berlebihan jika saya mengatakan proses pendidikan itu bertujuan mencetak generasi produktif dan inovatif dalam meneruskan estafet peradaban karya.
Sampai di sini, saya sepakat dengan pernyataan epik Dr. Naim (2015: 60) bahwa: "Keterampilan menulis itu sesungguhnya sangat penting. Sayangnya, sampai sejauh ini hanya sebagian kecil saja yang mau menekuninya. Karena itulah saya kira tidak terlalu berlebihan kalau saya menyebut penulis itu makhluk langka."
Dari penjabaran di atas saya pikir sudah jelas kenapa penulis disebut sebagai makhluk langka. Konteks penulis sebagai makhluk langka yang istimewa itulah yang saya ambil sebagai Marwah dari kata "sahabat pena". Sementara nama "Lentera" yang berlaku dalam nama grup SPL secara sadar saya tujukan untuk menunjukkan manfaat dan tujuannya. Di mana setiap anggota yang tergabung di dalam grup SPL Â diekspektasikan akan menjadi cahaya penerang: baik atas dirinya maupun untuk orang-orang yang ada di sekitarnya.
Cahaya penerang di sini, diartikan sebagai personal yang paham akan hakikat dirinya sebagai manusia, doyan mengekspresikan atau mengaktualisasikan diri, dan menebar kemanfaatan terhadap khalayak umum serta memahami hidup sebagai proses sehingga tidak pernah berhenti untuk terus-menerus belajar. Media penebar cahaya itu tentu bukan petromax, lampu LED atau cermin, melainkan dengan sebanyak mungkin memberikan teladan, motivasi dan inspirasi dalam berkarya bagi semua kalangan.
Pada akhirnya, di sini saya dan teman-teman Lentera berorientasi mendedikasikan kiprah SPL sebagai salah satu wadah untuk menampung setiap orang yang mau menempa, mempertajam dan mengembangkan potensi diri yang fokus menggembleng geliat literasi.
Tulungagung, 22 November 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H