Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Cara Mendidik Anak Menentukan Karakternya

21 November 2021   21:39 Diperbarui: 21 November 2021   21:53 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi

"Hal yang paling mendasar dari sekian banyak tugas orangtua adalah mendidik anak melalui tutur kata, sikap dan tindakan yang baik dan bijaksana", Dewar Alhafiz.

Adalah Devina namanya, seorang gadis kecil yang berkarakter malu-malu kucing di saat awal jumpa namun lama-kelamaan ia menampakkan diri yang tidak jauh berbeda dengan sifat perangko. 

Lah kok bisa-bisanya manusia disamakan dengan sifat perangko? Apa nggak sekalian disamakan dengan materai saja? Yang benar saja lho Bang! Tidak manusiawi dasar! Tapi penasaran juga si, alasannya memang kenapa? Apa karena ia suka nempel melulu sesuai kebutuhannya? Tidak juga si, yang tampak betul dari dirinya adalah sifat malu-malu tapi mau. Sedikit takut dan kikuk tapi sebenarnya ingin ini dan itu. 

Sikap kikuk dan malu-malu kucingnya itu kerap terdeskripsikan jelas tatkala bertemu dengan orang yang benar-benar baru. Umumnya ia akan memilih untuk bersembunyi di balik badan Ibunya yang subur. Jika tidak demikian, ia lebih suka berlari terbirit-birit menuju ruang tamu sembari menggapai gagang pintu. Ia bersembunyi di balik pintu sembari diam-diam mengintip orang yang menurutnya asing itu. Reaksi itupun sempat tak mampu ia sembunyikan di awal jumpa dengan saya.

Uniknya, proses pengenalan diri yang dilakukan gadis kecil itu selalu menggemaskan. Posturnya yang mungil, lesung pipinya yang tirus, rambutnya yang doyan dikucir satu, belum lagi akhir-akhir ini ia selalu mengajak saya ngoceh dengan ekspresi wajah yang cantik dan lucu. Bicaranya memang belum begitu fasih dan kaku namun ia selalu ingin menceritakan tentang sesuatu. Gigi kelincinya yang sangat putih menambah sekian persen kemungilannya di saat ia tersipu malu. 

Kerap juga, segala hal yang dilakukannya tidak lepas dari tujuan mencari perhatian orang-orang di sekitarnya. Seperti menirukan semua hal yang dilakukan oleh kakak, ibu dan bapaknya. Misalnya saja: memakai peci, menggelar sajadah, menyebut nama kakaknya persis seperti ibunya memanggil, bahkan sampai tidak mau kalah bersaing dalam hal mengaji; berebut jilid hingga merecoki proses belajar membaca kakaknya, Riky. 

Riky yang baru menginjak usia TK besar dan tentunya belum sampai pada usia tamyiz, tak jarang memposisikan diri tidak mau kalah dengan adek semata wayangnya, Devina. Untuk beberapa kesempatan mereka kerap enggan berbagi ruang satu sama lain, meskipun itu sekadar tempat duduk, air minum dan meja belajar. Mengetahui hal itu, sang ibu terkadang geram sembari berusaha meredam perselisihan yang terjadi di antara keduanya. 

Sesekali saya memicingkan kedua mata untuk mengamati bagaimana transformasi ekspresi wajah sang Ibu mengatasi kenakalan anaknya: dari geram, membentak sampai kedua matanya menyala-nyala. Menatap tajam untuk menegur dan memperingatinya. Pemandangan itu saya lihat tidak hanya satu-dua kali, melainkan berkali-kali. Tentu semua itu dilakukan semata-mata sebagai upaya keras untuk mendamaikan kedua buah hatinya. 

Jika runtutan itu tak mempan, maka sang ibu tak segan-segan mengeluarkan senjata pamungkasnya; menakut-nakutinya dengan memberikan ancaman. Ancaman seperti apa? Misalnya saja disuruh tidur di depan rumah, tidak dibolehkan untuk bercerita, tidak dibolehkan untuk main handphone, tidak akan diajak jalan-jalan dan lain sebagainya. 

Tentu mendengar ancaman itu sontak sang anak merengek dan menunjukkan sikap patuhnya. Bagaimanapun sang anak tak ingin menanggung risikonya. Ada anggapan, bahwa semua hal yang telah diucapkan oleh sang ibu yang dijadikan ancaman akan menjadi kenyataan. Kenyataan yang terus-menerus menjadi hal tabu, batasan dan tameng atas diri sang anak dalam bertindak. Dan itu menjelma sebagai ketakutan yang selalu memposisikan diri anak supaya tidak melanggar batasan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun