Sesekali sang ibu bercerita kepada saya tentang bagaimana caranya mendidik kedua anaknya itu. Utamanya Riky. Menurutnya, Riky adalah anak pandai, bahkan sudah dari usia kecil diajarkan ini dan itu. Namun tatkala ia mulai menginjak usia TK semuanya menjadi sangat susah diatur. Mudah bosan terhadap sesuatu adalah salah satu karakternya. Tak terkecuali dalam belajar.Â
Pernah beberapa kali ia dibelikan poster yang bergambarkan macam-macam buahan, hewan, abjad ataupun angka, akan tetapi sebanyak pembelian produk poster itu pula ia merobek-robeknya sampai tak bersisa.Â
Tidak hanya itu, selain mudah bosan dalam belajar, Riky juga kerap melawan tatkala dikekang atau dilarang oleh sang ibu. Perlawanan itu sendiri oleh sang ibu disadari bersumber dari cara mendidiknya yang selalu mengedepankan emosi. Sering dibentak, dimarahi dan mengancamnya. Namun, mau diapa lagi? Toh semua itu telah telanjur dijalankan. Dan kini, sang ibu melihat karakter keras, emosional dan melakukan perlawanan telah tertanam dalam diri Riky.Â
Parahnya lagi, bahkan jika Riky sudah merasa tidak mau melakukan sesuatu dan tidak bisa dibujuk dengan cara apapun, maka kini kedua orangtuanya tidak bisa lagi melakukan apapun, kecuali membiarkannya sampai ia mau sendiri. Jika Riky sudah menolak dan tidak mau maka tidak bisa dikontrol, sekalipun oleh kedua orangtuanya. Dan sang ibu hanya bisa mengelus dada.Â
Dari kasus ini setidaknya kita bisa mengambil pembelajaran, bahwa anak-anak adalah peniru ulung segala hal yang dilakukan oleh orangtuanya. Tak terkecuali sikap dan tindakan yang dilakukan orangtua terhadap diri sang anak. Mungkin kita lupa, bahwa buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya. Begitupun dengan anak-anak yang dididik oleh orangtuanya.Â
Sebenarnya tidak hanya orangtua dan keluarga, lingkungan di mana ia hidup, seperti halnya tetangga, apa yang ia tonton, apa yang ia dengar, lihat dan rasakan serta wilayah di mana ia bergaul juga turut menjadi spot center yang membentuk karakter dan watak pribadi seorang anak.Â
Terus apa solusinya? Berbenah diri sendiri sebaik mungkin mulai dari sekarang. Baik itu memperbaiki tutur kata, sikap dan tindakan. Terlebih jika kita sudah berstatus sebagai orangtua yang memiliki anak-anak kecil. Bagaimanapun hakikat anak kecil adalah tabula rasa. Ruang kosong yang akan terisi penuh dengan berbagai macam jenis sumber daya yang ada di lingkungannya.Â
Sumber daya yang diserap dari lingkungan sekitar itu pun harus sesuai dengan porsinya. Porsi ideal dalam mendidik anak bukan semata-mata menjadi tanggung jawab seorang ibu, melainkan tugas kedua orangtuanya dan anggota keluarga. Pola pengasuhan anak harus seimbang, guna menyetabilkan antara karakteristik keibuan, kebapakan dan persaudaraan yang terbenam di dalam diri sang anak.Â
Lantas apakah kita masih mau mendidik anak dengan cara yang asal-asalan? Apalagi mendidik dengan mengutamakan asal ngegas yang penting mampu dijinakan.
Hellooo, itu mendidik manusia atau hewan? Lagian saya heran, mendidik anak kok coba-coba.Â
Tulungagung, 21 November 2021