"Salah satu kenikmatan dalam hidup yang tak dapat dibeli dengan materi adalah mempersembahkan kemanfaatan diri untuk kemaslahatan umat", Dewar Alhafiz.
Februari 2019 saya memantapkan hati untuk bergabung menjadi bagian dari TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Lebih tepatnya, keputusan itu saya utarakan via WhatsApp kepada Pak Sinung Restendy (Selanjutnya sebut saja: Pak Sinung) selaku inisitor dan pendiri Yayasan Spirit Dakwah Indonesia. Setahu saya, profesi kerja Pak Sinung kala itu masih sebagai Dosen Luar Biasa di Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah IAIN Tulungagung. Sementara sekarang, beliau merupakan salah satu Dosen ASN di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tatkala itu beliau (baca: Pak Sinung) menyambut hangat niat baik saya dengan mengarahkan untuk sesegera mungkin mengkonfirmasi kepada Mas Zakariya (selanjutnya sebut saja Mas Zaka; panggilan akrab) selaku ketua TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Beliau menginstruksikan sembari memberikan kontak person mas Zaka. Mas Zaka sendiri masih berstatus sebagai mahasiswa semester lima jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam di fakultas yang sama dengan Pak Sinung.
Tak butuh waktu lama, saya pun langsung tancap gas menjalin komunikasi interaktif via WhatsApp dengan Mas Zaka. Kebetulan kala itu adalah masa transisi perpindahan tempat dilangsungkannya kegiatan TPQLB Spirit Dakwah Indonesia, yang semula dihelat di kediaman Pak Sinung di Gedangsewu dipindahkan sementara di SDLB Tamanan.Â
Di tempat penampungan sementara itu saya sempat mengindentifikasi bagaimana suasana mengajar para santri yang luar biasa. Pesan dan kesan pertama yang saya terima: pada awalnya merasa sangat kikuk dan blunder tentang bagaimana cara dan metode mengajari mereka. Mengaji tanpa suara. Ada yang bersuara tapi tidak begitu mengena di telinga saya. Waktu itu yang terdengar oleh telinga saya hanya suara plat yang menimbulkan tanda tanya.Â
Akan tetapi yang timbul jelas di hati adalah tanda tanya besar yang justru menghardik diri saya. "Mengapa saya baru menyapa mereka? Selama ini saya ke mana saja? Besar kemungkinan karena selama ini saya menganggap mereka sebagai yang asing. Oh, jadi seperti itu rasanya berbaur dengan mereka", celetuk hati kecil saya.Â
Jelas, kala itu adalah pertama kalinya saya berada di antara mereka yang luar biasa. Dan hati kecil saya merasa mantap berada di dekatnya. Ada rasa nikmat yang berbeda tatkala saya berkesempatan membimbing mereka. Bahkan saya merasakan hati kecil tersandera akut pada zona baru itu.
Pada kenyataannya, pertemuan pertama itu bukan hanya menggubris tentang kesadaran saya atas sejauh mana nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada saya, melainkan juga menyadarkan saya untuk tidak membuat dinding pembeda di antara makhluk ciptaan Allah SWT, pilih-pilih dalam menebarkan cinta-kasih dan banyak merangkul serta mengabdikan diri demi kemaslahatan umat.
Satu-dua bulan mengaji di SDLB Tamanan menyisakan keluh kesah dan tantangan yang cukup menguras tenaga. Mulai dari asatidz yang mengkhawatirkan para santri mengotak-atik barang sekolah, memukul kaca, rusak dan hilangnya atribut sekolah sampai dengan ruangan yang diasumsikan kurang menciptakan rasa nyaman untuk mendukung kelangsungan proses pembelajaran.
Postulatnya, inisiatif pindah ke tempat yang lebih nyaman dan homely pun terwujud setelah pergantian pembina Yayasan. Serah terima jabatan antara Pak Sinung beralih kepada Pak Imron (sapaan akrab). Kebetulan keduanya memiliki background yang sama di dinas sosial. Serupa pula dalam konteks kepemilikan jiwa sosial.Â
Semenjak itulah dewan asatidz memboyong semua kegiatan TPQLB beserta para santrinya untuk menjadi pemakmur tetap Musala Baitussalam. Musala Baitussalam sendiri terletak di Desa Beji, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Di Musala inilah kami setip hari Minggu bersua ria kurang lebih selama empat jam pembelajaran.Â