Sembilan Mutiara Publishing Trenggalek pernah menerbitkan buku berjudul Tembang Cinta Kamboja. Buku antologi puisi yang ditulis keroyokan oleh tujuh belas orang. Tujuh belas penulis yang bukan orang sembarangan. Tahun 2012 penerbit Indie
Dalam kata pengantar disebutkan, bahwa ketujuh belas penulis itu merupakan para pejuang devisa negara yang bekerja di beberapa negara orang: Hongkong, Malaysia, Taiwan dan Arab Saudi. Ditambah dengan beberapa pekerja yang ada di tanah air dan seorang penulis asli dari Singapura. Mereka semua tergerak--memiliki semangat tinggi menulis--setelah terhimpun dalam sebuah grup yang bernama Kamboja.Â
Satu nama bunga yang bukan semata-mata menghendaki bulu roma berdiri dan "membuat berigidik" bagi setiap orang yang mendengarnya. Setidaknya dari nama itu ada dua makna yang dimaksudkan: pertama, nama yang menunjukkan simbol sakralitas.Â
Sakralitas atas apa? Simbol kefanaan atas kehidupan manusia, memberi makna kematian dan keabadian cinta Tuhan atas segenap makhluk-Nya. Supaya mudah diingat, sebutkan saja itu dengan simbol Rubbubiyah.
Simbol Rubbubiyah ini mengingatkan seluruh makhluk (terkhusus bagi manusia) bahwa yang kekal adalah Tuhan. Sementara setiap makhluk akan kembali kepada asal, yang kemudian kental disimbolkan dengan nisan-makam.Â
Tentu saja, hal ini sudah seharusnya menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan, bahwa sejauh mana pun kita melangkah, jika waktunya telah tiba, antara raga dan jiwa tetap akan terpisahkan. Jiwa kita akan kembali pada sumber permulaan. Dan segala apa yang dibanggakan atas diri selama hidup dengan segera akan dilupakan.
Sedangkan yang kedua hendak menampilkan fakta, bahwa tren di zaman sekarang, bunga Kamboja bukan saja sebagai simbol kematian, melainkan sudah menjadi tanaman hias yang bernilai tinggi. Dibuat bonsai mahal, khalayak ramai menyebutkan. Tentu, kebernilaian itu bukan hendak menyebutkan tendensi kehidupan manusia yang materialistik.Â
Bukan pula "kebernilaian" itu semata-mata fokus mengarahkan setiap langkah kehidupan mengejar-ngejar materi, menumpuk dan bersikap bakhil terhadap sesama manusia. Melainkan, merujuk pada arti daripada tujuan utama kehidupan yang singkat namun harus bernilai (bermakna). Kata hadits: "Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain". Dalam konteks itulah arti dari kebernilaian bunga Kamboja.
Kedua makna itu; eling (selalu ingat) atas kematian dan kebernilaian tinggi, setidaknya mampu menjadi pegangan hidup masing-masing kita supaya kian mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam artian, menjalani kehidupan semakin lebih baik lagi, semakin berkualitas, menjadikan hidup kita penuh berkah sebab meniti jalan hidup atas rida-Nya.
Dua makna yang mendalam itu pula yang menjadi ilham sekaligus alasan kenapa penerbit buku antologi puisi itu memberi judul Tembang Cinta Kamboja.Â
Selain itu, mereka (para penulis) meyakini juga bahwa ada kepadanan makna antara warna putih bunga Kamboja dan intisari maksud daripada puisi. Warna putih yang melambangkan kesucian, juga menyatukan muara yang sama dari bunga Kamboja dan puisi. Ketulusan dan cinta menjadi alasan yang mampu diterima. Begitu halnya dengan kedudukan puisi dalam benak khalayak ramai.
Atas dasar ketulusan dan cinta pula kumpulan puisi itu berhasil tertengger di dalam buku yang dicanangkan kelahirannya. Meski telah dicanangkan kelahirannya, di satu sisi, taburan rasa dan campur aduk perasaan yang ambigu dengan mudah akan kita cicipi di beberapa bait puisi yang ditulis. Satu "kondisi luaran" yang nomal adanya dalam proses adaptasi.Â
Dari hasil pembacaan antologi puisi tersebut, secara pribadi saya berusaha memahami "kondisi luaran" itu, bahwa para penulisnya tidak semata-mata hendak menampilkan gambaran umum kehidupannya selama bekerja di negera asing, melainkan bermaksud pula menawarkan berbagai hal baru yang mengguncang dirinya secara personal.
Berbagai hal baru yang mengguncang diri secara personal tersebut mulai dari setting waktu, tempat dan orang-orang baru yang ada di lingkungan sekitar kerja mereka. Tidak menutup kemungkinan, setumpuk tuntutan keras majikan yang berhasil memunculkan sikap kikuk sering tampil dalam proses adaptasi di sepanjang keberlangsungan kerja mereka.Â
Meski demikian, mereka "tidak ingin" dan "mendefinisikan" tuntutan keras majikan itu sebagai proses adaptasi kerja baru yang harus dijalani dan menjadi pilihan profesi mereka. Lebih tepatnya, mereka hendak menyebutkan posisinya itu sebagai ketelanjuran pilihan. Ada kondisi luaran jauh dari ekspektasi yang diidam-idamkan.
Hal itu terekspresikan jelas dalam beberapa judul puisi yang mereka buat, misalnya: Terbuai Lara, Pahlawan Devisa, Janji Berdebu, Siksaku di Negeri Jiran, Gemuruh Waktu, Sepenggal Peraduan, Terkungkung Derita, Untuk Mangkatnya Tiga TKI di Malaysia, Ribuan Kilo bagi TKW, Teriak Bulan yang Terpasang Gerhana dan lain sebagainya.
Selebihnya, saya kira 113 puisi karya para pejuang devisa itu sangat layak untuk diapresiasi, mengingat mereka berani mengekspresikan diri, perasaan dan pengalaman hidup masing-masing dirinya menjadi suatu karya. Karya tulis yang mungkin saja akan memberikan inspirasi dan manfaat bagi khalayak ramai.Â
Terlebih jika kita mau melihat fakta, bahwa tidak banyak orang yang mau berbicara lugas tentang pengalaman kerja di negeri asing. Empat jempol saya pikir layak diberikan kepada mereka semua.Â
Satu waktu saya sempat membayangkan dan berharap: Mungkin dinamika literasi di negeri ini akan kian berkembang manakala setiap orang--tanpa memandang profesi yang digelutinya apa-- mau menuliskan cara pandang, pengalaman dan pengetahuan mereka masing-masing. Tentu nama dan serjarah hidup negeri ini akan lebih berwarna.
Sebagai penutup, izinkan saya menampilkan puisi karya Vanera el Arj  yang berjudul Sarjana "Kerja". Salah satu puisi bagian dari buku Tembang Cinta Kamboja, (Hal. 122).
Sarjana "Kerja"
Empat tahun itu minimal dan maksimal bisa bertahun-tahun.
Tapi aku kasihan padamu
Perjuangan memakan tahun, hanya untuk kembali menjadi budak.
Apakah itu mimpimu? Apa arti ijazah bagimu?
Gerbang kerja dan strata?
Atau gerbang hidup dan damai sekitarmu?
Ah... Aku kasihan padamu
Jika akhirnya kau harus berpanas ria, mencari-cari tempat kerja
Aku begitu kasihan padamu, jika akhirnya ejekan
Jika nyatanya tak kau dapatkan kerjaan
Harusnya tak seperti itu
Harusnya kau tetap bangga menjadi sarjana meski tanpa kerja
Harusnya kaulah yang mencipta kerja, jika kau sarjana.
Harusnya tak ada ejekan tawa jika kau tak bekerja
Dan seharusnya...
Ah... Aku sangat kecewa dengan paradigma dunia masa kita
Sarjana, sebagai ujung tonggak pemikir dipaksa kerja tergerus kuasa.
Bukankah sarjana, harta karun bangsa tak terhingga nilainya?
Ngebrak, 30 Mei 2011
**
Dari buku antologi puisi tersebut setidaknya kita bisa belajar tentang bagaimana pentingnya mengekspresikan diri. Sebab, bisa jadi buah dari mengekspresikan diri itu akan menelurkan motivasi, inspirasi dan manfaat bagi yang lain.Â
Dalam hidup ini, sebenarnya tidak ada yang sia-sia. Jika pun kita merasa ada yang sia-sia, itu tak lain hasil dari sekian langkah ceroboh kita. Tetap mawas diri, menjadi manusia yang sadar dan penebar kebaikan.Â
Tulungagung, 13 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H