Tepat di penghujung bulan Juli, paketan saya sampai di rumah Bulek (sebutan untuk Bibi di Jawa). Paketan itu berisi dua eksemplar buku, kiriman dari komunitas menulis oline Indonesia (KMOI). Kebetulan, paketan buku ini adalah buah dari jerih payah mengikuti pelatihan menulis di KMOI kurang lebih selama empat puluh tiga hari.Â
Terhitung keterlibatan saya sebagai partisipan di KMO Club batch 33 mulai tanggal 16-28 April 2021, ditambah lagi dengan mengikuti tantangan sarapan kata (Sarkat) selama 30 hari secara berturut-turut. Â
Tiga belas hari pertama berselang-seling, kami disuguhkan dengan berbagai materi yang diampu oleh narasumber super kece. Selebihnya, kami berusaha menulis mandiri sesuai dengan pilihan genre dan rancangan buku yang dicita-citakan.Â
Sudah barang tentu proses menulis mandiri itu harus sesuai dengan materi yang telah diajarkan: mulai dari blurb, sinopsis, daftar isi, kata pengantar, sub pembahasan, daftar rujukan sampai dengan profil penulis. Belum lagi ditambah dengan segenap persyaratan yang telah dibakukan atasan (penjabat struktural KMOI).
Secara garis besar, terdapat dua jenis projek buku yang dicita-citakan. Pertama, setiap kelompok dituntut untuk membuat buku antologi. Sementara yang kedua, masing-masing kami diarahkan untuk membuat rancangan buku solo. Upaya untuk mewujudkan cita-cita melahirkan buku inilah yang kemudian saya sebut sebagai proses persalinan.
Penyebutan itu tentu bukan tanpa alasan, melainkan mempertimbangkan kebiasaan para penulis yang kerap menyebutkan dan memposisikan karyanya sebagai darah dagingnya sendiri, anak ideologi. Atas dasar itulah, maka di sini saya berusaha membakukan proses perjuangan mewujudkan terbitnya buku itu dengan proses persalinan. Sementara kalimat "di masa pandemi", tidak lain menunjukkan latar belakang waktu yang sedang terjadi tatkala penulisan buku.
Proses persalinan dalam konteks ini secara spesifik ditujukan pada penyusunan buku antologi yang berjudul Spice of Life. Bayi ranum yang berhasil lahir normal ke dunia dengan pertolongan dua bidan utama, yakni kelompok 27 dan 30. Kolaborasi dua kelompok dengan latar belakang nama dan penanggung jawab yang berbeda.Â
Mulanya, kami--anggota kelompok 27 yang bernama Aksara Rasa--sepakat dan super optimist mampu menghasilkan buku antologi secara mandiri. Logika kerjanya sederhana, yakni menyeimbangkan antara batas minimal jumlah halaman, alokasi dana dan sumber daya anggota yang ada, sehingga hasil kerja kami tidak harus digabungkan dengan hasil keringat kelompok lain. Setidaknya logika itu menempatkan sami'na wa atho'na kami terhadap peraturan yang berlaku bukan tanpa alasan.
Pada kenyataannya ekspektasi itu kandas begitu saja tatkala dua-tiga orang anggota kelompok kami memutuskan untuk rise hand. Walk out sebelum tantangan Sarkat terselesaikan. Kesibukan kerja, ketidakmampuan manajemen waktu dan sakit lama yang kembali kambuh menjadi alasan utamanya. Alhasil, mau tidak mau, kami harus menghentikan sikap kemrungsung untuk mengerjakan sendiri.Â
Keadaan tersebut dengan jelas mengkategorikan kami ke dalam posisi tabdir madzmum. Tabdir madzmum di sini berarti memaknai jalannya kehidupan semata-mata atas dasar kerja keras yang disertai dengan sikap ngoyo, ngotot dan terkadang malah nggege mangsa, mendahului waktu yang seharusnya.Â
Jenis tabdir yang disertai sikap kemrungsung cenderung mengutamakan ingin sesegera mungkin melihat hasil tanpa dibarengi dengan kapasitas kemampuan dan batas maksimal tenaga yang kita miliki. Sebagai akibatnya, sikap ini hanya akan membuat kita selalu berada pada posisi tekanan mental. Keadaan itu sama sekali tidak baik untuk kesehatan diri kita, terlebih lagi tidak sopan atau beradab terhadap Tuhan, (Ulil Abshar Abdalla, 2021: 26).