Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sisi Mata Koin Buku Spice of Life

4 September 2021   02:03 Diperbarui: 4 September 2021   02:33 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi

"Cara kita mendefinisikan dan memahami sesuatu hal itu tergantung dari sudut mana kita memandangnya," Dewar Alhafiz

Mingu ketiga bulan Agustus 2021 saya khatam membaca buku Spice of Life. Buku antologi terbitan KMO Indonesia. Anak sulung yang lahir normal ke dunia dengan pertolongan dua bidan utama, yakni kelompok 27--Aksara Rasa-- dan 30, KMO batch 33.

Kelahiran normal tersebut bukan berarti menunjukkan keadaannya yang sempurna, bebas dari cacat, melainkan lebih kepada--mendeskripsikan kehadirannya sebagai--bentuk pengharapan yang dielu-elukan oleh sang empunya. Maklum saja, sebagian besar di antara kami telah mengandung lama dan sudah kebelet ingin melahirkan tanpa mau mengeluarkan biaya besar, semacam operasi Caesar misalnya.

Sebelum si sulung lahir ke dunia, sebenarnya saya sudah dikirimi hasil USG (gambaran janin) yang sudah mendekati bentuk sempurna (red: file naskah mentahan yang belum diedit), namun kala itu saya hanya mampu mengintipnya. Satu-dua tulisan sudah tercicipi meski belum seutuhnya. Alasannya cukup klasik, mata saya tidak betah menatap layar gawai dalam waktu yang lama. Perih rasanya.

Selain itu, faktor kebiasaan menikmati membaca buku versi cetak, saya pikir turut memengaruhi alam bawah sadar saya, sehingga proses manual itu selalu menyisakan kesan yang berbeda. Aroma khas buku baru selalu saja menjadi sensasi yang memesona. Dan saya suka itu. Semoga aroma khas buku baru bukan termasuk zat adiktif yang membuat candu dan menyebabkan saya tergila-gila. Kalau pun benar, semoga saja dampaknya adalah gila untuk terus membaca.

Begitu halnya dengan buku Spice of Life, sensasi aroma barunya sungguh kuat tercium oleh kedua lubang hidung saya. Terlebih, warna kertasnya kuning, sehingga kedua bola mata saya merasa nyaman untuk menatapnya berlama-lama. Fakta ini saya sebut sebagai kelebihan buku yang pertama.

Pemilihan warna dasar kertas buku  sebenarnya sangat memengaruhi tingkat kenyamanan proses membaca. Warna dasar kertas buku yang memantulkan cahaya, buram atau pun pekat akan sangat mudah membuyarkan pandang kita. Mata akan mudah sayu dan lelah dalam proses membaca.

Umumnya, yang lebih mafhum tentang estetika dalam pemilihan warna dasar kertas buku yang akan diterbitkan adalah pihak penerbit. Meski pun tidak dipungkiri pula, cara kerjanya selalu bertumpu pada masalah harga. Meski demikian, penerbit mayor umumnya akan memiliki standaritas yang mumpuni dan mengikuti selera pembaca di pasaran. Sehingga dari segi kualitas, branding dan marketing produk diutamakan.

Sementara penerbit indie biasanya lebih menitikberatkan kepada kesepakatan dan berapa banyak alokasi dana yang dimiliki oleh penulis. Alhasil, pemilihan: kualitas kertas, cover, branding dan marketing produk bisa saja diserahkan penuh kepada penulis buku. Mau laku keras di pasaran dan memiliki kualitas produk yang baik atau pun tidak, itu urusan belakangan, yang terpenting si penulis harus memenuhi persyaratan yang telah dibakukan oleh pihak penerbit.

Kelebihan yang kedua, buku ini menyajikan 26 topik pembahasan. Hemat saya, jumlah itu setidaknya akan membuat pembaca merasa tidak bosan, sebab ia bisa memilih topik mana saja yang sesuai dengan keinginan. Ibarat belanja di pasar, maka kita bebas memilih produk apa yang akan diambil dan di gerai mana saja kita akan mampir.

Keberlimpahan topik pembahasan itu pada kenyataannya memudahkan kita untuk membacanya dengan metode ngemil. Sedikit demi sedikit. Terlebih lagi jika mengingat, jumlah pada setiap topik pembahasan tidak terlalu panjang, rata-rata sekitar 4-5 lembar. Dalam sekali duduk saja, dua-tiga topik pembahasan kemungkinan besar bisa terselesaikan.

Di sisi lain, kekayaan topik pembahasan itu juga turut menampilkan hikmah dan nilai-nilai pembelajaran yang melimpah ruah. Artinya, di mana pun kita memilih satu topik pembahasan untuk dibaca, di sana pula hikmah dan nilai-nilai luhur akan dicerna. Yang terpenting, proses membaca itu harus benar-benar disertai dengan karsa, i'tikad baik dan penuh cipta.

Sangat dimungkinkan, dari sekian banyak hikmah dan nilai-nilai pembelajaran yang tertuang di dalam buku tersebut akan mampu mengubah cara pandang dan sikap kita dalam bertindak. Adanya hikmah dan nilai-nilai pembelajaran yang tertuang dalam setiap topik pembahasan itu saya sebut sebagai kelebihan yang ketiga.

Kelebihan yang keempat, buku ini memuat tiga genre tulisan sekaligus: diary, refleksi dan cerpen. Perpaduan ketiga genre tulisan itu baru akan terasa kental jikalau kita membaca bukunya sampai dengan tuntas. Tidak setengah-setengah dan meloncat-loncat yang berujung terengah-engah.

Saya pribadi, baru menyadari dan "ngeh" tentang hal itu tatkala berhasil menghayati dan menikmati setiap topik pembahasan yang tersuguh di dalam buku. Sehingga, membaca buku secara keseluruhan, seakan-akan kita diarak mengelilingi labirin besar yang di dalamnya memuat cabang jalan yang berbeda, namun hakikatnya memiliki tujuan yang sama.

Secara garis besar perbedaan di antara tiga genre itu dapat dilihat dari gaya bahasa, alur cerita, pronomina yang digunakan, sudut pandang, penyelipan teori, hikmah dan nilai-nilai pembelajaran yang ditawarkan.

Sebagai gambar singkat, misal dalam tulisan yang bergenre diary, maka orientasi pembasahannya akan lebih menampilkan cerita kehidupan secara personal. Baik itu mewartakan tentang duka atau pun suka cita. Cakupan keterlibatan tokoh lain, setting waktu dan tempat pun dirancang secara intim. Ada kecenderungan, isi tulisan hanya fokus menumpahkan segala bentuk unek-unek dan beban personal.

Berbeda hanya dengan orientasi genre tulisan refleksi. Tulisan refleksi secara inklusif membuka diri meski pun sangat mungkin pengalaman pribadi akan dijadikan sebagai bahan pijakan. Di dalamnya terdapat proses pengimbuhan teori, sudut pandang dan fakta-fakta yang ada. Artinya, dalam pemaparan satu topik tertentu akan terjadi proses kawin-mawin dan penyelarasan di antara pengalaman atau mungkin pandang pribadi dengan teori, pandangan orang lain dan fakta yang ditemukan di lapangan.

Sedangkan tulisan yang bergenre cerpen, identitasnya akan kentara dari permainan kata dalam satu kalimat, setting waktu dan tempat yang nyentrik. Ada wajah sastra yang berceceran di mana-mana.

Meski perpaduan dari tiga genre yang berbeda, gaya tulisan dalam buku ini secara konsisten menggunakan bahasa yang sangat sederhana. Penggunaan bahasa sederhana itu kemungkinan besar bentuk kesengajaan dan menjadi salah satu harapan bersama, di mana buku versi cetak itu semoga saja dapat dinikmati oleh khayalak ramai masyarakat Indonesia. Tanpa terkecuali siapa pun itu orangnya.

Selain itu, dapat dipastikan bahwa dalam setiap topik pembahasan, hampir-hampir saya tidak menemukan kata asing dan susah untuk dimengerti. Bahasa sehari-hari itu benar-benar mengalir apa adanya. Temuan bahasa yang urup (hidup) ini saya sebut sebagai kelebihan yang terakhir, yakni kelima.

Tidak hanya memiliki kelebihan, buku Spice of Life juga tidak terhindar dari kekurangan dan kekeliruan, baik secara implisit atau pun tampak nyata tertengger di depan mata. Secara garis besar, saya melihat ada tiga kekurangan.

Kekeliruan yang pertama, meski pun buku ini dibidani oleh dua kelompok utama yang berbeda nama dan latarbelakang, sudah seharusnya dalam penyusunan daftar isi dileburkan jadi satu. Memposisikan strategis dan mendahulukan satu kelompok tertentu justru malah menampilkan adanya distingsi di antara dua kubu.

Sikap saling mendahulukan itu, juga memberi kesan ketidakharmonisan hubungan dalam konteks persaudaraan yang berdiri tegak di bawah satu payung, padahal tujuan utamanya sama, memberikan yang terbaik kepada khalayak melalui karya.

Kedua, masih banyak ditemukan kekeliruan (typo) dalam penulisan kata. Baik itu kekurangan satu huruf, posisi yang tertukar atau pun tumpang tindih kata. Kita ambil saja dua sampel kekeliruan yang tampak paling duluan, contohnya pada kata pengantar.

Dituliskan, "Cerita kisah ini kami kemas dengan bahasa yang sederhana agar mudah dicerna." Peletakan kata "cerita" tepat di samping kata "kisah", menurut saya kurang tepat. Sebab kata cerita dan kisah memiliki padanan arti yang sama. Itu artinya, jika tetap dipaksakan, memiliki arti yang tumpang tindih. Alangkah baiknya ditulis salah satunya saja.

Contoh tumpang tindih kata lainnya terdapat pada blurb bagian belakang sampul buku. Dituliskan, "Sepenggal cerita tentang sebuah perjuangan anak manusia dan bagaimana orang di sekitar mendukung setiap langkahnya." Hemat saya, penggunaan kata "sepenggal cerita" sudah cukup representatif menerangkan kadaritas sebagian kecil daripada perjuangan, sehingga tidak perlu lagi ditambah dengan menyisipkan kata "sebuah".

Sementara yang terakhir, masih adanya beberapa kasus inkonsistensi dalam penggunaan pronomina. Misalnya, pada awal cerita tokoh utama menggunakan kata ganti persona tugal aku, sementara di lain paragraf penyebutannya berubah menjadi saya. Dan masih banyak bentuk-bentuk inkonsisten lainnya.

Kekeliruan dalam konteks penulisan kata dan penggunaan pronomina itu sebenarnya bisa diatasi dengan baik manakala pihak editor bekerja dengan teliti. Sedangkal pengetahuan saya, editor adalah gerbang terakhir dalam urusan finalisasi naskah. Ibarat densus 88, penjinak bom, seorang editor itu menelusuri jejak paling vital yang kesalahannya entah terletak di mana.

Meski demikian, secara pribadi saya mengapresiasi betul atas jerih payah teman-teman dan semua pihak yang terlibat dalam proses penerbitan buku Spice of Life. Besar harapan saya, kelak buku ini menjadi batu loncatan untuk terus meningkatkan kualitas diri dalam berkarya.

Judul Buku: Spice of Life
Penulis       : KMO Batch 33 Kelompok 27 & 30
Penerbit      : KMO Indonesia
Terbit           : Juli 2021
Tebal           : 188 Halaman

Tulungagung, 3-4 September 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun