Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kikuk Sebelum Acara Dimulai

30 Agustus 2021   19:37 Diperbarui: 30 Agustus 2021   19:56 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih terngiang betul dalam ingatan saya, setelah itu pak Arfan asyik bertegur sapa dengan prof. Mulyadhi Kartanegara (sebutan selanjutnya prof. Mulyadhi). Hingga akhirnya, prof. Mulyadhi mulai menceritakan pengalaman panjangnya dalam menggeluti dunia literasi. 

Meski demikian, alih-alih beliau menceritakan pengalaman pribadi tentang sepak terjangnya dalam dunia literasi, namun kesan yang saya tangkap justru beliau sedang warming up, menata jembatan untuk sampai pada materi yang hendak beliau suguhkan. Dan itu cukup membuat saya kikuk. Terlebih, di saat beliau mulai menunjukkan rekam jejak tulisan tangan beliau yang orisinil dan terawat, meskipun tulisan itu pada kenyataannya sudah diterbitkan dalam bentuk buku.

Tidak hanya satu-dua buku draf tulisan tangan yang beliau tunjukkan, melainkan lebih dari itu. Bahkan, beliau hafal betul mana buku versi cetak dan draf tulisan tangannya. Di tangannya, kedua versi buku itu telah kawin-mawin tanpa harus keliru tatkala menunjukkan. Dan itu sungguh luar biasa menurut saya. Meminjam kata Bang Haji Rhoma, "sungguh terlalu!"

Ya, sungguh terlalu. Kata yang tepat untuk mewartakan level di atas luar biasa. Tidak melampaui luar biasa bagaimana coba? Di saat orang lain asyik menikmati menulis dengan mengandalkan kecanggihan teknologi: laptop, notebook, atau pun bentuk gadget lainnya, beliau justru merawat tradisi menulis tangan. Bahkan beliau telah melakoni menulis tangan beratus-ratus hingga ribuan halaman.

Tidak seperti saya, yang lebih doyan belajar menulis mengandalkan kecanggihan. Itu pun semangat menulisnya masih tertatih-tatih, bahkan lebih banyak tersandung berbagai jenis batu alasan yang membuat saya tidak berkembang. Mudah menyerah dan terus goyah. Sempurna sudah kikuk itu meliputi kujur awak. 

Etdah bang, bang. Mbok yo lebih giat ngunu lho. Ndang nerbitne buku solo! Ojo panggah selonjoran wae!

Meskipun demikian, saya masih diberikan kesempatan untuk bersyukur, karena untuk kali ini, kebiasaan molor itu tidak membuat saya ketinggalan mengikuti agenda kopdar ke-7 SPK. 

Tulungagung, 30 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun