Pernah satu waktu, saya bersama dengan beberapa teman perwakilan pangkalan satuan Pramuka sekolah menghadiri undangan perintisan Saka Bhakti Husada tingkat kabupaten. Masih ingat betul, tatkala itu kami sampai di aula acara setelah salat duhur. Itupun datangnya telat, setelah beberapa saat kami lama menunggu mobil angkut umum lewat. Sedikit kesal bercampur gerutu yang akhirnya tamat setelah kami berhasil duduk di tempat acara dihelat.
Mirisnya acara itu berakhir menjelang Magrib. Ditambah dengan cuaca yang semakin menggelap dan awan mendung yang kian mengandung. Sesekali sembari menunggu mobil angkutan umum lewat, kami dikagetkan dengan sambaran petir yang mengkilat. Untungnya, tidak lama kemudian kami berhasil memasuki mobil angkutan umum sebelum hujan turun lebat.Â
Sembari menikmati perjalanan, sesekali kami mengumbar cerita dan berguyon. Padahal tatkala itu waktu sudah menunjukkan hampir jam enam malam lewat.Â
Dalam keadaan hari yang sudah gelap dan hujan yang masih lebat, akhirnya sampailah saya di pertigaan jalan raya, tempat pemberhentian di mana saya harus turun dari mobil angkut. Saat-saat yang tepat berpisahnya saya dari teman-teman. Namun pemberhentian itu bukan tempat terakhir dari tujuan saya, rumah.
Masih butuh waktu lima belas menitan untuk saya sampai ke rumah. Belum lagi harus melawan rasa takut yang telah lama terbenam dalam benak saya: menerjang lebatnya hujan dan berjalan dalam kegelapan sendirian. Masalahnya, ada rumor yang tersebar di kampung saya, bahwa di beberapa titik yang menjadi jalur menuju rumah saya terdapat tempat yang dikatakan angker.Â
Alhasil, sembari berjalan saya menimbang-nimbang jalur mana yang harus ditempuh, mengingat ada dua jalur yang sama-sama memiliki cerita horor. Akhirnya, saya putuskan untuk menempuh jalur pematangan sawah terdekat dengan segala risikonya. Satu jalan penghubung antara kampung Wuni dan Cigereba.Â
Romansa tatkala itu: saya menenteng sepatu, gelap gulita, berjalan di tanah yang licin dan beriring derai hujan yang saling bersahutan dengan suara kodok yang satu sama lain tak mau kalah. Untuk mengobati ketakutan yang bercekamuk hebat di dalam diri, tak henti-hentinya saya merapal ayat kursi, istighfar, salawat dan segala macam do'a yang saya bisa.Â
Beberapa saat kemudian, saya berhasil sampai di rumah dengan selamat meski keadaannya basah sekujur awak. Tentu, waktu itu lelahnya bukan main. Ada sedikit kesal, lapar dan kantuk. Untungnya, Ibu sudah menyiapkan makanan untuk siap dilahap setelah membersihkan diri berselang rehat.Â
Dari perjalanan yang melelahkan itu setidaknya saya bisa mengambil hikmahnya, bahwa semua proses penguatan mental melalui bentakan keras, caci maki dan uji nyali di kuburan serta penguatan materi yang telah terlampaui di Pramuka--utamanya proses Pemenpaan Bantara-- itu benar-benar telah membantu saya. Mampu mengatasi ketakutan dan mengendalikan carut-marut emosi dalam situasi yang benar-benar belum terduga sebelumnya.
Tidak hanya urusan suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan, melainkan peristiwa itu juga menjadikan saya sebagai pengamal patriot yang sopan dan kesatria, serta pribadi yang pemberani dan setia. Singkatnya, lambat-laun proses penempaan dalam Pramuka itu benar-benar menginternalisasikan diri hingga akhirnya menjadi satu kesadaran baru sebagai karakter yang harus ada tatkala hidup bermasyarakat.Â
Akhir kata, dengan penuh kekhidmatan saya mengucapkan, "Selamat hari Pramuka ke-60." Semoga kita semua menjadi pribadi yang lebih baik lagi, dan mampu mengamalkan nilai-nilai luhur yang diusung oleh Pramuka.Â