Toh, selalu ada deretan panjang hipotesis, tesis-anti tesis, yang justru menampakan falsibilitas dalam cara pandang manusia yang sempit terhadap 'perkembangan ilmu'.Â
Alih-alih manusia hendak menunjukkan kemampuannya guna kemapan ilmu, sejatinya di sisi yang lain menunjukkan manusia yang papa. Mampunya justru hanya melihat 'sesuatu' dari satu sudut pandang yang disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas keilmuan dirinya pribadi.Â
Sementara faktanya, 'sesuatu' yang dikaji dengan menggunakan sudut pandang (epistema) yang berbeda dari sebelumnya, hasilnya juga akan berbeda pula.Â
Hal ini menunjukkan bahwa manusia dalam setiap proses kehadirannya di dunia selalu ingin menjadi figur utama dalam mengambil peran. Sehingga apapun harus sesuai dengan kehendak pribadinya yang leluasa. Segala yang dibutuhkan manusia harus tunduk dan mengitarinya.Â
Hadirnya eksistensialisme yang dipuja-puja, justru hanya menunjukkan sisi kerapuhan 'emosional spiritual' di dalam diri manusia. Menjadikan eksistensialisme sebagai epistema tidak menghentikan Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya.Â
Buktinya, banyak ilmuwan-ilmuwan sains (sainstis) yang kewalahan tatkala menghadapi (mengkaji) suatu persoalan yang tidak dapat dipecahkan melalui pendekatan rasional dan empiris. 'Sesuatu yang tidak mungkin adanya menjadi mungkin atas kehendak-Nya'.Â
Dalam hal ini, Tuhan tetap sebagai 'alim yang terus mengalirkan pengetahuan yang sama sekali baru bagi manusia. Perkembangan ilmu itu menunjukkan keberlangsungan hidup ilmu itu sendiri dalam pandangan manusia, sembari mendiskreditkan kausalitas di dalamnya. Selanjutnya manusia mengklaim proses itu sebagai temuannya.
Ah, menjadi sangat rumit tatkala mempersoalkan segala sesuatu itu apabila dituntut oleh segenap kepentingan dan sistematisasi yang dikukuhkan dalam keterbatasan manusia. Saya mulai curiga; jangan-jangan peradaban ilmu itupun berlangsung atas dasar mengukuhkan kekuasaan yang berkepentingan dan kepongah an manusia semata.
Dalam konteks ini, saya memahami gambaran ilmu Tuhan itu bekerja layaknya terkisahkan dalam karangan Ibnu Tufail, Hayy Ibnu Yaqdzon. Layaknya Hayy Ibnu Yaqdzon yang tinggal di dalam hutan dan terasingkan dari peradaban. Namun, 'ketekunan dari kesadaran dirinya yang papa' mengantarkan pengetahuan hakikat hidup meresap ke dalam akal dan sanubarinya.
Saya menyanksikan sama sekali, kalau dalam kehidupan Hayy Ibnu Yaqdzon terdapat sistematisasi ilmu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ilmuwan yang berlaku di abad ini. Sebaliknya, namun saya percaya ilmu itu hidup dan sampai pada dirinya melalui pendekatan observasi kausalitas yang menebus pengetahuan 'alim yang hakiki dan jauh dari kepongahan manusia.
Mungkin ada benarnya apa kata Jacques Derrida, "mari mulai dari yang tidak mungkin". Sejatinya hanya menunjukkan manusia yang papa dan penuh keterbatasan, tanpa kehendak-Nya yang meliputi keselamatan hidup. Termasuk pula saya, yang diliputi ketidaktahuan dan keterbatasan dalam menumpahkan butir-butir kata ini menjadi kalimat yang jauh dari kata sempurna.Â