"Alih-alih manusia hendak menunjukkan kemampuannya guna menyokong kemapanan ilmu, sejatinya di sisi yang lain manusia sedang menunjukkan hakikat diri sebagai yang papa", Dewar Alhafiz.
Sebelum jauh menyentuh pokok persoalan, izinkan saya untuk membuat satu pengakuan, bahwa tulisan ini lahir setelah saya membaca tulisan prof. Yusuf Daud yang berjudul "Science is Religion or Religion is Science" yang diunggah di laman akun Facebook pribadi beliau pada 26 Februari 2020 silam.Â
Genap setahun sudah status itu diunggah, tapi bagi saya pribadi, tulisan itu selalu tampak segar dan menggiurkan untuk dilahap. Bahkan saking segarnya sari-sari daripada tulisan itu hingga menyeruak masuk ke dalam pikiran saya "yang labil". Ia tidak segan mencabik-cabik kesadaran diri dan pikiran saya "yang labil" hingga tak bersisa lagi.
Keadaan itu jelas mengaskan bagaimana, seperti apa dan di mana letak dari tulisan ini lahir. Setidaknya, di sini saya tidak sedang mengkritik atau memberi masuk atas tulisan lampau dari prof. Yusuf Daud, melainkan hanya sedikit menyambung lidah sekaligus berusaha menerka-nerka keterkaitan topik persoalan dengan sejumput pengetahuan saya yang sudah mulai usang dan berkarat.
Dalam konteks kekhawatiran yang akut atas pengetahuan saya yang mulai usang dan berkarat itulah saya berusaha berkelit melalui rangkaian kalimat yang tertuang dalam tulisan ini.Â
***
Tulisan keren prof. Yusuf Daud selalu menginspirasi saya untuk berusaha mengikuti jejak beliau. Berwawasan luas dan bersahaja.
Saya setuju dengan penjelasan panjenengan tentang semua upaya manusia yang tak pernah mampu dipisahkan dari Yang Ahad (Tuhan, 'Alim). Termasuk pula di dalamnya mengenai perjalanan panjang upaya manusia memfurifikasi ilmu dari agama.Â
Dalam konteks dunia kefilsafatan misalnya, upaya pemisahan itu, justru hanya menunjukkan proses panjang dari keterbatasan manusia.Â
Pendekatan epistema yang bermuara pada penggunaan rasio dan empiris ataupun wujud sintesis dari keduanya sekalipun, hanya berpijak pada sudut pandang yang fleksibelitas.Â