Tulisan ini melanjutkan pembahasan pada unggahan sebelumnya tentang Syukur di Balik Kerapuhan Rasa dan Psikis di Hari Raya.
Bagian 7:
***
Selain pertanyaan yang bernada body shaming dan yang memiliki kecenderungan memicu hadirnya hasut, dengki dan namimah, ada pula jenis pertanyaan yang secara vulgar menunjukkan sisi tamak manusia. Kita ambil saja butir pertanyaan yang ada dalam benak sebagian di antara kita itu dari contoh yang telah dipaparkan di atas; "Masa iya si... sudah nikah tapi kok masih nebeng mertua? Kapan mau punya rumah sendiri? Masih naik motor saja, mobilnya kemana tuh? Wah, bajunya bagus nih, habis ngutang di mana si?".Â
Upaya tajassus itu terus saja kita gencarkan terhadap seseorang yang dianggap layak untuk dijadikan korban kebrutalan rasa penasaran kita. Pertanyaan demi pertanyaan yang kita sodorkan terhadap orang lain itu ibarat nafsu yang tidak ada ujungnya. Jikapun pertanyaan itu terus berhamburan keluar dari mulut bar-bar kita maka di sana pula tidak ada jawaban yang benar-benar mengena dan berhasil memuaskan diri penanya. Setumpuk alasan yang orang lain sampaikan itu kita anggap bualan belaka, sebab kebenaran sejati adalah segala apa yang kita terka. Entahlah, entah telah sebebal apa kita di sana?
Yang harus kita catat sekarang, contoh butir pertanyaan tersebut dengan jelas memberikan satu gambaran umum kepada kita, bahwa salah satu hal yang menjadi sorotan dan kesan pertama tatkala bersilaturahim pasca lebaran Idulfitri adalah tentang bagaimana penampilan dan aksesoris yang melekat dalam kujur awak dan yang ditunggangi kita. Seakan-akan bungkus lebih berarti dari ketulusan niat dan tujuan mulia yang ingin dicapai.Â
Bahkan lebih dari itu, alih-alih kita hendak anjang sana dengan maksud menjadikan silaturrahim sebagai media menyambung obor kehidupan kekeluargaan terkadang yang terjadi justru sebaliknya, menjadi ajang perbandingan dalam skala kepemilikan harta. Sadar ataupun tidak, di sanalah kita berusaha memposisikan derajat diri seseorang sesuai standaritas materi yang tampak di depan mata. Seakan-akan hal itu cukup untuk menyebutkan dan mendefinisikan seseorang berhak mendapatkan penghormatan tertinggi dan perlakuan istimewa dari kita.Â
Padahal penghormatan yang diberikan oleh khalayak ramai terhadap seseorang yang bertumpu pada kadaritas kepemilikan harta hanya semata-mata istimewa dalam pandangan manusia. Â Satu tipu daya yang dapat melenakan tuannya. Biang kerok daripada berkeliarannya sikap jumawa, insrof dan tak mau menghamba. Dalam pandangan Islam bahkan dikatakan, siapapun yang menghormati seseorang karena kekayaan hartanya maka sesungguhnya telah hilang dua pertiga agamanya. Hal ini berdasarkan hadis marfu' yang diriwayatkan Al-Baihaqi sebagai berikut:
  Artinya: "Dan barangsiapa merasa rendah di hadapan orang kaya karena kekayaannya sungguh orang itu telah lenyap atau hilang dua pertiga agamanya".
Secara eksplisit kandungan hadis tersebut hendak menegaskan bahwa merasa rendah diri terhadap orang kaya semata-mata karena kekayaannya tidak lain bukanlah akhlak terpuji. Sebab seharusnya kita menghormati orang lain bukan atas dasar kadaritas kepemilikan harta, melainkan karena amal kebaikannya. Amal kebaikan seperti ketakwaannya kepada Allah SWT, akhlak terpuji yang melekat dan dilanggengkan oleh dirinya, serta lain sebagainya.
Muhammad Ishom dalam artikel "Larangan Menghormati Orang Kaya karena Kekayaannya" yang dimuat di laman NU online (28/12/2017) menegaskan tiga dari sekian banyak alasan mengapa Islam melarang melakukan penghormatan kepada seseorang karena kekayaannya. Alasan pertama, karena kedudukan manusia lebih mulia daripada segala bentuk harta benda. Hal ini merujuk pada firman Allah SWT dalam surat Al-Isra' ayat 70;Â
Artinya: "Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rejeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan, dengan kelebihan yang sempurna".
Kandungan ayat tersebut menegaskan kepada kita semua bahwa manusia adalah makhluk yang terbaik dan paling mulia yang telah diciptakan Allah SWT. Sehingga tatkala kita menghormati seseorang karena kekayaannya semata-mata maka kesalahan kita adalah menempatkan nilai kemanusiaan dan seluruh potensi spiritualitas yang ada di dalam diri manusia persis di bawah harta benda dunia. Lantas tidak heran jika Rasulullah SAW menyebutkan orang yang merasa rendah karena menghormati seseorang disebabkan kekayaannya telah hilang dua pertiga agamanya.Â
Kedua, kepemilikan harta benda bukanlah kekayaan yang sesungguhnya. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah disebutkan Rasulullah SAW pernah bersabda;Â
 Artinya: "Bukanlah yang dinamakan kaya itu karena banyak harta, tetapi yang dinamakan kaya sebenarnya adalah kayanya jiwa".Â
Segala harta benda yang berada dalam genggaman kita hanya titipan dari Yang Maha Kuasa. Itu artinya, segala harta benda yang dititipkan Allah SWT kepada manusia bisa sirna kapan saja. Lebih tepatnya, di hadapan Allah SWT seluruh harta benda itu tidak ada artinya, kehadiran atas seluruh harta benda itu akan bermakna dan diperhitungkan tatkala manusia menjadikannya media dan sarana sebagai penopang kebutuhan spiritualitas yang berupa amal kebaikan.Â
Ketiga, menghormati seseorang berdasarkan kepemilikan harta benda menciderai status dan memicu konflik sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Logikanya, jika khalayak ramai terus-menerus menghormati orang lain berdasarkan kadaritas harta sementara kepemilikan harta benda itu tidak merata maka sangat dimungkinkan orang-orang fakir dan miskin tidak akan dihargai dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Jikalau itu terjadi, maka secara tidak sadar kita menghalalkan memandang, bersikap dan memperlakukan orang lain secara zalim dan hina.Â
Ironisnya, cara kita menilai dan menghormati seseorang dari penampilan yang tampak itu telah lama menjadi penghuni tetap dalam ruang khusus yang terletak di dalam kepala kita. Bahkan ruang khusus itu melulu kita huni tatkala berjumpa dengan orang-orang baru dalam kehidupan sehari-hari secara nyata. Padahal, pepatah mengatakan; don't judge something by cover!Â
Tidak hanya itu, dalam konteks ini saya juga melihat ada kekeliruan dan kesalahpahaman khalayak dalam memahami hadis Nabi Muhammad Saw tentang disunahkannya mengenakan pakaian terbaik di hari raya. Di mana disunahkannya mengenakan pakaian terbaik di hari raya itu tidak lain sebagai bentuk penghargaan kepada diri kita atas perjuangan menunaikan ibadah puasa sebulan penuh hingga hari kemenangan itu tiba. Artinya, pakaian yang kita kenakan itu merepresentasikan sa'adah dan 'iffah yang meliputi jiwa dan raga, bukan semata-mata untuk kepentingan riya' dan meraup pujian dari khalayak ramai yang ada di hadapan kita.
Dalam konteks kemungkinan keberlakuan pandangan negatif dalam memahami dan menilai tradisi silaturrahim sebagai salah satu media yang akan menyisakan konflik sosial itulah justru saya melihat munculnya larangan mudik tak lain adalah wujud kepedulian dan kehati-hatian. Satu upaya untuk menahan timbulnya masalah baru yang berkelanjutan sekaligus memurnikan  kebaikan yang terkandung dalam tradisi silaturrahim yang dilestarikan.Â
Sampai di sini, akhirnya saya pun harus berterusterang dan menegaskan bahwa hadirnya tulisan sederhana ini tidak lain adalah satu upaya pengoreksian terhadap batu kerikil yang mungkin saja masih berserakan dalam tradisi kebaikan yang telah lama kita agungkan. Bagaimana pun jangan sampai kita mengotori cermin yang telah dilap secara getol dan bertahap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H