Lanjutan dari pembahasan yang diunggah di dewaralhafiz.blogspot.com
***
Tradisi silaturrahim pasca lebaran Idulfitri
Pertama, untuk sampai pada muara keterkaitan di antara keduanya itu kita harus pandai-pandai menganalisis dan memahami betul bagaimana tradisi silaturrahim yang kerap digalakkan umat Islam pasca menunaikan salat Idulfitri. Mengapa demikian? Sebab, kebiasaan tajassus dan gibah itu mengakar kuat-melekat dalam proses silaturrahim itu dilestarikan.Â
Silaturrahim dalam rangka memperingati hari raya Idulfitri dalam tradisi Islam Jawa pada umumnya berlangsung sampai dengan hari ketujuh pasca lebaran. Silaturrahim itu pun dilakukan mulai dari keluarga terdekat, karib-kerabat, tetangga sampai dengan teman sejawat.Â
Meskipun demikian, keberlangsungan silaturrahim itu sendiri pada umumnya disesuaikan dengan jumlah dan banyaknya ikatan kekeluargaan di antara masing-masing keluarga. Alhasil, adanya perbedaan durasi dalam proses silaturrahim yang dilakukan masing-masing keluarga sangat dimungkinkan terjadi.
Selain itu, ruang lingkup silaturrahim itu dilakukan pula dengan memperhatikan dimensi medan, kesempatan waktu dan jarak tempuh. Atas dasar perhitungan itu, maka sangat dimungkinkan, sanak famili yang tempat tinggalnya tidak jauh dan mudah ditempuh, kediaman mereka akan mendapatkan giliran kunjungan yang pertama. Sementara mereka yang tempat tinggalnya lumayan jauh akan mendapat giliran di hari berikutnya.Â
Setiap hari bersilaturahim dari rumah ke rumah, terus bergilir berpindah-pindah. Begitu halnya dengan isian toples yang sedikit demi sedikit tanpa sungkan mulai dijamah, terus saja dipersilakan untuk dikunyah hingga akhirnya menyisakan remah.
Hampir-hampir dapat dipastikan, selama momentum itu berlangsung tidak ada kata lapar yang menghinggapi perut setiap benak orang-orang yang ada di sekitar kita. Sebab, dalam kebahagiaan itu pula semua menu makanan tersodor dengan penuh keikhlasan hati. Siapapun orangnya yang berkunjung boleh mampir dan dipersilakan untuk menikmati hidangan-makanan berat dan ringan serta jajan khas lebaran-yang tersaji.
Selama proses itu pula, seakan-akan kita dihadapkan dengan satu Kemustahilan yang langka, bahwa susah bagi kita untuk menemukan orang-orang yang tidak bermurah hati. Bagaimanapun semua itu nampak konkret adanya tatkala setiap rumah yang kita lewati menawarkan diri dengan senang hati untuk dapat disinggahi.Â
Rasa-rasanya untuk tujuh hari dalam momen silaturrahim pasca lebaran itu hobi masak sebagian orang agak sedikit kendor, mungkin masing-masing kita lebih asyik mencicipi dan menikmati hidangan menu di rumah orang dibanding harus berjimbaku di dapur sendiri untuk tetap mengepul.Â
Entah itu alasan yang memang masuk akal ataupun tidak, yang jelas proses silaturrahim itu benar-benar telah menyulap kesadaran atas masing-masing dahaga kita. Bahkan sebagian besar di antara kita ada upaya untuk menngesampingkan perkara perut demi menghalalkan perihal kesalahan dan dosa di antara sesama manusia.Â
Itu artinya, di antara kita memang ada beberapa orang yang benar-benar fokus menjadikan silaturrahim sebagai momentum yang tepat untuk menggenapkan kefitriannya. Mereka menyadari, bahwa tidak ada rentang waktu lain yang mampu menjadikan dirinya kembali berada pada titik nol. Satu kondisi laiknya kertas kosong yang belum ternodai oleh goresan tinta sedikit pun. Itu semua dapat terjadi manakala kita saling mengikhlaskan semua kejadian-menyakiti raga dan batin- yang telah berlalu.
Upaya menggapai titik nol dalam pengertian keseimbangan antara kefitrian jiwa dan raga itu dipahami oleh sebagian orang sebagai salah satu waktu yang tepat untuk akhirussanah atas madrasah ruhaniah. Hal itu laiknya waktu-waktu mustajab do'a pada momentum tertentu. Misalnya; wukuf di Padang Arafah, jeda waktu antara azan dan iqomah, waktu terkena musibah, dan lain sebagainya.
Ada pemahaman yang gencar digenggam oleh khalayak ramai, bahwa sebesar apapun kekhilafan, kesalahan dan dosa di antara sesama manusia insyaallah semuanya akan diampuni manakala kita menumpahkannya pada momentum silaturrahim pasca lebaran Idulfitri itu. Dengan catatan, semuanya itu terealisasikan dari lubuk hati dan penyesalan mendalam untuk tidak diulangi.
Kemasyukan atas hakikat silaturrahim itulah yang membuat sebagian kita benar-benar sibuk bahkan dibuat mabuk dalam mencari pengampunan dan penghalalan atas urusan perihal sesama manusia. Tentunya, ini dipandang lebih esensial dibandingkan mengutamakan silaturrahim hanya untuk kepentingan urusan perut. Bagaimanapun bagi mereka, momentum mustajab itu jangan sampai disia-siakan begitu saja.
Sebaliknya, ada pula kelompok orang-orang yang lebih mengutamakan isian perut daripada mencari hakikat atas proses dilakukannya silaturrahim. Silaturrahim mereka anggap sebagai ajang untuk berperan layaknya aktor ataupun aktris yang mendramatisir setiap musyafahah, sungkem dan pengakuan serta memohon ampunan yang diimbuhi kelebayan yang akut.Â
Ada persepsi semua tradisi itu dilakukan hanya untuk pemanis belaka, daripada tidak sama sekali. Sehingga sikap dan cara pandang yang tampil ke permukaan bersifat alakadarnya dan hanya mengikuti keumuman yang berlaku di sana. Ibarat Bunglon yang sedang sibuk berkamuflase dengan lingkungan sekitar yang mengamankan dirinya.Â
Tak lebih ritual silaturrahim pasca lebaran itu diposisikan sebagai momentum yang tepat untuk balas dendam atas dahaga yang telah dikekangnya selama satu bulan Ramadan lamanya. Alhasil, yang tersisa dalam dirinya bukan lagi upaya menggenapkan kefitriannya, melainkan menjadikan ego dan superego sebagai imam dalam setiap langkahnya, dan tanpa sadar hal itu telah mengaburkan tujuan utama daripada kemenangan atas dirinya.Â
Sementara di balik dua kubu yang tampak kontras itu, ada pula kelompok orang-orang yang berusaha mengambil jalan tengah, yang memandang arti silaturrahim pasca lebaran sebagai dua tujuan; menggugurkan dan menghalalkan segala urusan utang-piutang kesalahan dan perdosaan di antara sesama manusia sekaligus menggenapkan dahaga sebagai bonusnya.Â
Meski demikian, mereka percaya, jika silaturrahim pasca lebaran itu dilakukan dengan niat dan motif yang lurus (red; tulus yang semata-mata mengharapkan rida Allah SWT dan sesama manusia) pada akhirnya akan membawa kebaikan yang lainnya juga. Tidak terkecuali, mendatangkan hidangan yang disajikan dengan penuh kebahagiaan karena ketulusan hati yang tersalurkan.
Dalam konteks inilah bahasa hati telah menemukan momentumnya. Satu kebaikan telah menggerakan kebaikan yang lain datang ke hadapan kita. Ia datang sendiri menemukan tuan sesuai takdirnya.Â
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H