Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerapuhan Rasa dan Psikis di Hari Raya

24 Mei 2021   09:06 Diperbarui: 24 Mei 2021   09:36 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

"Larangan mudik lebaran itu pada akhirnya menggiring kita pada jurang yang terus menganga; kerapuhan rasa dan psikis di hari raya. Semoga saja itu tidak turut mereduksi maknanya", Dewar Alhafiz.

Setelah sekian lama menghelat lebaran di tanah kelahiran, akhirnya saya mencicipi juga lebaran di tanah orang. Ini adalah tahun pertama saya lebaran Idulfitri di Tulungagung. Salah satu kabupaten di Jawa Timur yang telah berikhlas hati menampung seluruh aktivitas saya kurang lebih selama tujuh tahun. Bahkan tepat di tahun ini, lamanya akan genap menjadi delapan tahun.

Lebaran Idulfitri di tanah rantauan itu memang memberi kesan yang berbeda sekaligus menyisakan kecamuk rasa yang lumayan menyesakan dada. Kesesakan dada itu tidak lain dipicu oleh kontradiktif rasa yang bergejolak dalam waktu yang sama. Antara haru, sedih dan bahagia hadir meliputi kujur awak yang dalam waktu sebulan telah ditempa. Alhasil, di hari kemenangan tahun ini hanya kerapuhan rasa dan psikis yang tersisa.

Tekanan psikis dan kerapuhan rasa itu sendiri timbul karena bersandar pada penghayatan penuh atas tradisi lebaran Idulfitri di tahun-tahun sebelumnya. Tradisi berkumpul bersama dengan keluarga besar dipersepsikan akut sebagai sakralitas kefitrian hari raya yang wajib adanya. Satu tradisi yang telah lama langgeng mengerak di dalam kepala.

Ketidakmampuan merasakan euforia kemenangan Ramadan berada di tengah-tengah keluarga tercinta itu menjadikan saya merasa berdosa. Membuat dosa baru tepat di hari raya. Dan ini adalah salah satu hal yang belum pernah saya lakukan pada tahun-tahun sebelumnya.

Maklum saja, status saya dari dulu hingga sekarang tetap sama: "anak mamak". Perubahannya hanya sekadar pertautan usia, selebihnya hanya persoalan status anak rumahan yang beranjak menjadi anak kos-kosan yang tak kunjung "mapan". Jadi tidak heran jikalau diri saya melulu diluput kerinduan.

Kekalutan dan kepiluan rasa itu hampir saja genap disempurnakan dengan berondong pertanyaan yang dilontarkan oleh beberapa teman terdekat saya. "Mau mudik kapan mas? Lek mudik naik opo mas? Bukanne stasiun tutupe tanggal 6 Mei ya? Lah nyapo ra mudik mas? Piye bang rasane lebaran di Tulungagung? Lebaran Idulfitri jauh dari keluarga itu rasane amazing, kan?". Kurang lebih demikian pertanyaan itu memaksa masuk ke dalam kedua gendang telinga saya.

Lantas saya berusaha membuat jawaban yang logis. Mulai dari belum berakhirnya masa mengerjakan pekerjaan, dilarangnya mudik oleh pemerintah sampai dengan kekhawatiran akut saya untuk nekat mudik dengan mengendarai sepeda motor sendirian. Terlebih jika mengingat, saya belum pernah mudik mengendarai sepeda motor sendirian. Pernah mudik dengan mengendarai sepeda motor, itu pun secara bersamaan. Kalau mudik naik kereta sendirian? Ya sering. Kalau hidup sendirian? Ya sampai sekarang. Hiks. Sudahlah tidak usah wafer. Eh, baper.

Lagian, jikalau memang saya bersikeras 'ngotot' mudik setelah pelarangan, takutnya nanti setelah seperempat ataupun setengah perjalanan disuruh putar balik. Kalau saya telanjur baper dan mewek di sepanjang jalan kan repot jadinya. 

Maklum saja, waktu itu saya belum paham dengan trik sengaja memutarbalikkan arah tujuan, sehingga mendapatkan rekomendasi surat perjalanan dari pihak kepolisian yang jaga di jalur lalu-lalang arah mudik. Atau malah belajar berbohong dengan dalih hendak berwisata, waktu itu pun tidak sempat kepikiran.

Keputusan saya untuk tidak mudik lebaran pun pada kenyataannya diikuti pula oleh bapak saya yang memang sedang mengadu nasib di kota orang. Di Sukabumi Jawa Barat itu bapak saya berjuang mencari uang guna menafkahi keluarga tercinta. Ketidakpulangan beliau ke kampung halaman, dikarenakan tidak adanya mobil travel yang biasa hilir-mudik menempuh jarak dari kampung ke kota, dan sebaliknya.

Alhasil, di tahun ini keluarga saya merayakan kemenangan dalam keterpisahan. Yang tersisa di rumah hanya Ibu dan sepasang kedua adik saya saja. Dan lagi-lagi dengan lantang saya harus mengatakan; "ini adalah tahun pertama kami merayakan kemenangan dalam ketidakutuhan".

Meski demikian, saya berusaha berlapang dada dan tetap merasa beruntung.
Sebab masih ada sanak famili di Tulungagung. Sehingga masih ada sedikit ruang untuk melukis cerita bahagia di wajah dalam merayakan hari kemenangan. Disambung dengan sungkem dan silaturahmi virtual yang lumayan mereduksi rasa.

Sementara dua besek takiran yang saya bawa pulang setelah menunaikan salat Idulfitri di masjid dekat kos-kosan, tak lebih pelipur lara hati untuk menambah kekuatan untuk menerima kenyataan. Cerita tentang takiran di hari yang fitri telah saya bahas pada artikel sebelumnya.

Akan tetapi tetap saja tidak dapat dipungkiri, untuk beberapa saat diri ini diluputi kecemasan yang tidak karuan, gelayut rasa dan karsa pemikiran jauh melayang ke kampung halaman. Untuk sesaat pikiran saya meraba-raba setiap sudut rumah, membayangkan salat berjamaah Idulfitri di masjid Alfalah, mengunjungi rumah nenek, saling sungkem dan bermaaf-maafan, melahap pepes ikan, ziarah ke makam kakek-karib kerabat, hingga memboceng keluarga dengan sepeda motor untuk bersilaturahmi. Semuanya tampak jelas tergambar dalam alam pikiran.

Sampai di sini sontak saya langsung tertegun. Sebab bisa saja apa yang saya rasakan bukanlah apa-apa atau mungkin hanya seujung kuku daripada kasus pejuang devisa yang tak sempat pulang kampung dan mudik bertahun-tahun. Sungguh saya tidak bisa membayangkan bagaimana kedalaman kecamuk rasa dan peperangan batin yang mereka tanggung.

Pada akhirnya, kita pun dituntut untuk lebih dewasa dan bijak dalam memahami keadaan. Meskipun perayaan hari raya kemenangan setelah Ramadan berbeda dengan tahun sebelumnya, namun dari sinilah sesungguhnya kita belajar banyak, bahwa kefitrian itu menembus ruang dan waktu. Seakan-akan, Sang Pencipta sedang menitahkan kepada kita supaya memanfaatkan kuota internet untuk kegiatan yang lebih bermanfaat, silaturahmi virtual.

Secara implisit Tuhan seakan-akan sedang mengingatkan kita, bahwa Ia tidak akan menguji umat-Nya di luar kemampuannya. Pada kenyataannya hal itu benar adanya, sebab sudah dua Ramadan kita disuruh untuk memanfaatkankan penuh kemutakhiran teknologi informasi yang kita punya.

Itu artinya, kita sedang digubris untuk tetap bersyukur. Jangan sampai kita larut dan telanjur melupa sebab ujian yang tak ada habisnya di depan mata. Jangan lupa bahagia, positif thinking dan tetap waspada meskipun kita merayakan lebaran Idulfitri di tengah-tengah dekapan Corona.

Tak usah terus bersedih hati karena kita tidak mampu mudik, sebab kelak ada waktunya. Sungguh pun demikian, makna mudik yang sejati adalah pulang Keharibaan-Nya. Untuk itu, mari kita persiapkan bekal sebaik mungkin. Mudik guna berkumpul dengan orang-orang tercinta, kembali pada pelukan sang pencipta.

Tulungagung, 24 Mei 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun