Seperti hembus angin yang menerka dadaku
Menyusup dalam melewati kekang kancing bajuku
Menyisip pori-pori kecil kaos dalam putih ketatku
Menembus celah tulang dada merasuk jauh ke dalam sukmaku
Ya, ia datang tanpa memperkenalkan wajahnya pada dua bola mataku
Bahkan kerling mataku tak sempat menangkap bayangan sisi gelapnya
Begitu jua dengan jejak-jejak kakinyaÂ
Parau suara
Desah nafasnya
Hingga decak di antara kedua bibir dan lidahnya tak ada bekas yang ditanggalkan di daun telinga
Untuk sesaat aku termenung
Kewarasanku dirampok sibuk mencari muasal datangnya Ia
Panca indera pun sempurna sudah mati suri
Yang tertanggal di muka kini hanya pucat pasi
Bodo amat dengan apa yang terjadi
Dan usiaku belum sempat menuntut tujuan seiring arti
Mungkin kedua orangtuakulah yang benar-benar mafhum ke mana aku harus mencari
Menuju dermaga yang disebutnya kebahagiaan sejati
Mendaki gunungan tanya nan belum urung teryakini
Hari ke hari berganti minggu menjadi tahun
Pun kedewasaan menjorokanku pada rentetan keharusan
Katanya; "hidup tanpa beban dan tuntutan hanya mimpi di siang bolong!"
Hidup tanpa cita-cita dan ambisi sama dengan bohong
Ah, sungguh zaman edan!
Semua orang sibuk dengan topeng kemunafikan
Menghubung-hubungkan antara tingkat pendidikan dan pekerjaan
Mengutuk keras ketidaksesuaian
Ah, sungguh inilah zaman edan!
Semua orang sibuk mengurai sandiwara hidup sembari menapikan
Mengagung-agungkan citra demi pemujaan
Menuhankan harta, profesi dan kekuasaan
Semua latah membudak pada standaritas bangsa kefanaan
Dan sekarang aku telah benar-benar gila yang diupayakan
Dibentuk karena ancam-mengancam persepsi yang menyekaratkan
Di ambang carut-marut penghakiman
Hidup tak sanggup mati pun segan
Namun, di akhir tarikan nafas ini masih saja aku menyangsikan tentang siapa yang sebenarnya telah menjelma edan
Kelancangan khalayak ramai yang mendikte muara hidup setiap orang
Ataukah mungkin penilaian yang tak berdasar itu yang mematikan?
Melenyapkan kretivitas dan kehendak berdiri di atas panggung atas nama kebebasan
Memutus kekang yang menyempitkan
Sementara aku hanyalah korban mimpi dan berbagai macam tudingan yang mengiris hati bukan kepalang.
Selamat hari puisi.
Tulungagung, 28 April 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI