Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mimpi Itu

28 April 2021   09:31 Diperbarui: 28 April 2021   09:54 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seperti hembus angin yang menerka dadaku

Menyusup dalam melewati kekang kancing bajuku

Menyisip pori-pori kecil kaos dalam putih ketatku

Menembus celah tulang dada merasuk jauh ke dalam sukmaku

Ya, ia datang tanpa memperkenalkan wajahnya pada dua bola mataku

Bahkan kerling mataku tak sempat menangkap bayangan sisi gelapnya

Begitu jua dengan jejak-jejak kakinya 

Parau suara

Desah nafasnya

Hingga decak di antara kedua bibir dan lidahnya tak ada bekas yang ditanggalkan di daun telinga

Untuk sesaat aku termenung

Kewarasanku dirampok sibuk mencari muasal datangnya Ia

Panca indera pun sempurna sudah mati suri

Yang tertanggal di muka kini hanya pucat pasi

Bodo amat dengan apa yang terjadi

Dan usiaku belum sempat menuntut tujuan seiring arti

Mungkin kedua orangtuakulah yang benar-benar mafhum ke mana aku harus mencari

Menuju dermaga yang disebutnya kebahagiaan sejati

Mendaki gunungan tanya nan belum urung teryakini

Hari ke hari berganti minggu menjadi tahun

Pun kedewasaan menjorokanku pada rentetan keharusan

Katanya; "hidup tanpa beban dan tuntutan hanya mimpi di siang bolong!"

Hidup tanpa cita-cita dan ambisi sama dengan bohong

Ah, sungguh zaman edan!

Semua orang sibuk dengan topeng kemunafikan

Menghubung-hubungkan antara tingkat pendidikan dan pekerjaan

Mengutuk keras ketidaksesuaian

Ah, sungguh inilah zaman edan!

Semua orang sibuk mengurai sandiwara hidup sembari menapikan

Mengagung-agungkan citra demi pemujaan

Menuhankan harta, profesi dan kekuasaan

Semua latah membudak pada standaritas bangsa kefanaan

Dan sekarang aku telah benar-benar gila yang diupayakan

Dibentuk karena ancam-mengancam persepsi yang menyekaratkan

Di ambang carut-marut penghakiman

Hidup tak sanggup mati pun segan

Namun, di akhir tarikan nafas ini masih saja aku menyangsikan tentang siapa yang sebenarnya telah menjelma edan

Kelancangan khalayak ramai yang mendikte muara hidup setiap orang

Ataukah mungkin penilaian yang tak berdasar itu yang mematikan?

Melenyapkan kretivitas dan kehendak berdiri di atas panggung atas nama kebebasan

Memutus kekang yang menyempitkan

Sementara aku hanyalah korban mimpi dan berbagai macam tudingan yang mengiris hati bukan kepalang.

Selamat hari puisi.

Tulungagung, 28 April 2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun