Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Keterkaitan Utang dan Janji

12 April 2021   13:43 Diperbarui: 12 April 2021   14:06 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Dalam pemantapan bahasa yang hendak digunakan itu umumnya kita lebih banyak tidak memandang latarbelakang usia dan status sosial sang subjek yang menjadi target (red; pemberi utang atau orang yang hendak mengutangi), melainkan selalu fokus memposisikan target dalam keadaan yang agung dan terhormat. Entah itu target yang bersifat personal ataupun lembaga yang keberadaannya legal. Alhasil, struktur bahasa yang digunakan penuh dengan sopan santun, syarat akan bujukan, menyodorkan harapan di atas bayang-bayang kepastian dan menyelipkan kalimat yang menyentuh hati nurani. 

Tidak hanya demikian, kealotan negosiasi dalam utang-mengutangi bahkan tidak hanya persoalan mengambil keputusan, menekankan pada permainan dan hiperbol bahasa melainkan diperlicin pula oleh sokongan bahasa tubuh yang tampak natural tanpa dibuat-buat; mimik, gestur dan sorot mata yang benar-benar hidup tatkala sedang melakukan negosiasi. Dua manusia yang sama-sama sedang bergulat dengan pemahaman, saling menerka arti dan pengertian atas satu kondisi yang dihadapi.

Sepintas, penggunaan struktur bahasa yang penuh akan syarat sekaligus disertai bahasa tubuh dalam negosiasi itu hampir mirip dengan bagaimana alur dialog interaktif (face to face) antara Gusti dan hamba yang sering ditampilkan dalam adegan kisah raja-raja di masa lampau. Satu analogi yang dipakai tatkala seseorang bernegosiasi urusan utang-piutang dengan target yang sifatnya personal, bukan berbasis kelembagaan. Tanpa adanya perhitungan bunga yang dilipatgandakan.

Sementara kontrasnya sangat nyata di sisi lain, di mana jika saya boleh meminjam istilah Karl Marx, target selaku pemberi utang lebih nampak seperti Borjuis yang oportunis. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Memberi umpan, selebihnya mengeksploitasi habis sumber daya yang dimiliki korban bahkan berkali-kali lipat daripada umpan. Posisi pengutang di sini tak lebih mengambil peran sebagai proletar yang terdesak kebutuhan namun lambat-laun malah terperangkap dalam candu jangka panjang. Terlanjur lacur dalam sistem yang melenakan.

Mirisnya, setiap orang lebih menyukai posisi sebagai proletar yang terperangkap candu dengan hobi memelas di banyak daun pintu yang usang. Setiap orang selalu berkompetisi dalam menumpuk utang. Tanpa sadar, setiap orang mendadak latah meniru gaya bahasa yang digunakan berulang-ulang. Bukankah sangatlah mudah orang-orang terperdaya oleh sihir bahasa yang terstruktur rapi, menyayat hati dan memaruh peduli?

Mungkin karena alasan ini pula, mengapa di periode keemasan perkreditan ini banyak sekali transaksi jual-beli dan penyewaan tumbuh subur di belahan bumi tanpa dikotomi. Perusahaan-perusahaan yang mengusung konsep kredit kian menjamur di pasaran. Bahkan konsep perkreditan ini sampai menyentuh pada sektor perusahaan penyedia layanan jasa sekalipun. 

Utamanya, di masa pandemi Covid-19 yang mengharuskan masing-masing manusia taat pada protokol PSBB yang telah ditetapkan oleh pemerintah sekaligus membatasi ruang geraknya di segala ruang, alhasil hampir-hampir semua kebutuhan hidupnya ditopang dengan penggunaan kartu kredit. Terlebih lagi, penggunaan layanan kartu kredit kian melintang bebas dengan bertebarannya aplikasi gadget yang tak terhitung jumlahnya.

Cara kerjanya yang sangat instan menjadi andalan mengapa khalayak ramai lebih tertarik untuk menggunakan dan menyukainya. Cukup dengan menyentuh layar smartphone Android-nya seakan-akan dunia berada di ujung kendali jari-jemarinya. Dengan sekejap mampu menjadi tuan yang sesungguhnya asalkan materiil itu dapat membungkam dalih dan dahaga para pelayan atas semua jasa yang diberikan kepadanya.

Ironi inilah yang kemudian menjadi jembatan penghubung menuju keterkaitan antara bahasa dan psikis personal pada persoalan selanjutnya. Ya, keadaan psikis personal inilah yang menjadi persoalan kedua. Penggunaan dua bahasa yang tepat secara bersamaan ada kemungkinan besar mampu menghanyutkan keadaan psikis sang subjek yang mendengar cerita yang disuguhkan. 

Sadar ataupun tidak keadaan psikis kita yang tidak stabil turut menentukan setiap respon yang harus diberikan atas apa yang ada di hadapan. Baik itu respon dalam artian; menerima, mengabaikan atau memang menolaknya dengan terang-terangan. Entah itu respon yang diwakilkan oleh ekspresi wajah, gaya bahasa yang penuh satire dan majas, gestur atau malah dengan mendiamkannya tanpa pikir panjang. Terlebih lagi kalau ada catatan orang yang hendak berutang itu memiliki rekam jejak yang tidak baik terhadap orang yang hendak diutangi.

Keadaan psikis yang demikian itu secara implisit memang hendak menunjukkan bahwa stabilitas mood sangat mempengaruhi dalam hal utang-mengutangi. Atas dasar itu pula maka hal yang pertama kali harus dilakukan oleh seseorang yang hendak berutang adalah menyentuh hati. Berusaha memberikan pengertian terkait bagaimana kecamuk rasa di dalam hati kita yang bermasalah adalah kunci. Kunci utama yang mungkin saja menggamit responden yang mau berbelas kasih, penuh pengertian dan keterpanggilan hati atas nama perikemanusiaan yang tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun