Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Utang sebagai Modus Kerja

21 Maret 2021   16:09 Diperbarui: 21 Maret 2021   16:20 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dalam hidup, sudah selaiknya antara motif dan aksi seimbang. Tidak hanya melulu mengutamakan modus", Dewar Alhafiz.

Ada banyak sekali rupa-rupa nafas kehidupan para penghuni grup WhatsApp Sahabat Pena Kita Tulungagung. Untuk lebih mudahnya, sebutkan saja mereka (para penghuni grup) itu dengan istilah "penjelajah senyap yang telah diberkati". Istilah ini merujuk pada tulisan saya sebelumnya yang berjudul; Antara Utang, Geliat Menulis dan Prinsip Hidup. Untuk lebih jelasnya silakan dibaca terlebih dahulu supaya asal-muasal munculnya istilah itu genap dalam pemahaman Anda. 

Setelah saya amati berkali-kali dari waktu ke waktu, salah satu nafas kehidupan yang tampak jelas digenggam oleh penjelajah senyap yang telah diberkati ialah mengalihkan modus dalam menulis. Lah modus apa? Bawa-bawa modus segala si Bang, kayak cerita cintamu yang berkali-kali kandas gitu kan jadinya. 

Eh, kok malah curhat gini ya? Ah jadi malu kan. Lah dalah, setahu saya istilah modus sering disebutkan juga tuh dalam matematika. Cuma hadirnya dia tidak sendirian seperti kamu Bang, biasanya kalau disebut-sebut, si modus pasti gandengan mesra dengan mean dan median. Untuk lebih jelasnya silakan yang ahli dalam Matematika mungkin bisa menerangkan. 

Oke, oke, kita skip dulu ngelantur ngalor-ngidul tentang kebaperan. Give me a moment and just keep calm. Jangan terburu-buru membentak, melotot dan main otot, sebelum main hakim yang lebih akut izinkan saya menjelaskan perlahan-lahan apa yang disebut modus dan bagaimana pengalihan modus dalam menulis yang dimaksud. 

Pertama, modus di sini memang tidak terlepas dari apa yang telah definisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Modus yang diartikan sebagai cara; bentuk verba yang mengungkapkan suasana kejiwaan sehubungan dengan perbuatan menurut tafsiran pembicaraan tentang apa yang dibicarakan; nilai yang paling besar frekuensinya dalam suatu deretan nilai dan atau angka statistik yang paling sering muncul dalam populasi atau sampel. 

Selain itu pengertian atas modus juga berhubungan langsung dengan motif yang tampak. Karena hanya melalui pembacaan terhadap motif yang tampak itulah logika manusia mendapat sinyalmen ke mana ia harus menerka dan bekerja. Pun atas rasionalitas itu pula selanjutnya modus dispesifikasikan ke dalam beberapa bagian; ada modus desideratif yang berarti modus yang menyatakan suatu keinginan.

Modus imperatif yang bermakna modus dalam menyatakan perintah atau larangan. Modus yang menyatakan sikap objektif atau netral disebut modus indikatif. Modus yang menyatakan pertanyaan bernama modus introgatif. 

Tidak hanya itu, terdapat pula kategori modus khusus atau teknik yang familiar hanya digunakan oleh pelaku jahat dalam aksi kejahatannya, hal ini dikenal dengan istilah modus operandi sama dengan modus operasi. Serta yang terakhir, yakni modus optatif yang berarti modus yang secara khusus menyatakan harapan. 

Dari sekian banyak varian modus, saya hendak menegaskan bahwa modus yang kerap saya temukan dalam konteks persoalan utang tulisan khususnya di grup WhatsApp SPK Tulungagung yakni modus indikatif dan modus optatif. 

Cara kerja modus indikatif ini dapat dilihat dari bagaimana seseorang mempersepsikan dan melakukan transaksi utang. Di mana mereka mengasumsikan utang sebagai fakta objektif yang sewajarnya, termasuk dalam urusan tulis-menulis. Pendek kata, berutang itu adalah hal biasa yang dilakukan oleh khalayak orang tanpa merasa salah dan tidak bisa disalahkan. Artinya utang sendiri bersifat objektif, dan bukan persoalan subjektif.

Sebagai contoh, jika suatu hari ada seseorang dengan sengaja lalai, malas dalam menulis dan menjadikan tameng segala bentuk kesibukannya sehingga tidak mampu menyetor tulisan wajib maka berutang pun bukan suatu masalah yang berarti. 

Selain itu, tidak ada penyesalan dan tidak ada sosok yang harus disalahkan dalam konteks ini, sebab berutang sendiri adalah pilihan yang tepat. Artinya, ada sikap permisif terhadap setiap pilihan yang diambil oleh masing-masing orang. Seakan-akan tidak ada yang mampu mendikte dan menentukan ke dermaga mana arah perahu literasi yang telah tertanam di dalam diri masing-masing kita akan berlabuh. 

Di sisi lain cara kerja modus optatif lebih bergantung pada kehendak-harapan (motif) yang dimiliki oleh seorang penulis tatkala ia menulis, utamanya di kala ia mampu menyetor tulisan wajib secara tepat waktu. Artinya modus optatif ini secara umum sebenarnya melekat pada setiap diri penjelajah senyap yang diberkati. Meskipun sangat bergantung pada subjektivitas personalnya akan tetapi adanya kesadaran secara mandiri adalah jalan pertimbangannya.

Sementara kesadaran diri seseorang dalam membudayakan literasi di dalam grup WhatsApp hanya bisa dilihat dan dipantau dari wujud materiil. Seperti menyetorkan tulisan, giat memposting tulisan di kanal medsos, karya-karyanya telah dipublikasikan atau tidak dan kontribusi lain yang dapat terekspos ke ruang publik. 

Lantas bagaimana dengan mereka yang mulai sungkan menyetor tulisan wajib alias gemar berutang? Apakah mereka tidak memiliki modus optatif? Sudah barang tentu mereka punya seribu bahasa alasan. Bukankah selama ini kita lebih suka bersembunyi di balik basa-basi? Abang-abang lambe istilah Jawa menyebutkan. Toh, tidak mungkin seseorang tidak menunaikan kewajibannya sementara ia telah telanjur menggamit obsesi dan komitmen. Mana ada, orang yang mau mengecewakan dirinya sendiri. Iya apa tidak coba?

Selanjutnya modus-modus tersebut mengalami peralihan dari satu modus menuju modus yang lain termasuk di dalamnya menjadikan utang sebagai sistem kerja, dan ini adalah poin yang kedua. Bersinggungan dengan persoalan ini, saya kerap mendengar sesumbar khalayak orang yang hobi berutang. Ketusnya seperti ini; "Jika kita memiliki tanggungan utang maka semangat kerja berlipat ganda dan geliat pun semakin menggelora". Benarkah adanya demikian gerangan? Jikalau memang benar, tolong saya ditegur sekaligus diingatkan. 

Sedangkan jika itu hanyalah persoalan siasat- menyiasati, alibi, pengalihan pola kerja dan prinsip mengecoh yang justru menunjukkan ketidakmampuan kita dalam manajemen waktu sekaligus tidak menghargai setiap kesempatan yang ada di depan mata, maka izinkanlah saya untuk tidak mengamininya.

Saya pikir, penegasan itu tercetus dan hanya akan dipegang oleh mereka yang telanjur masuk pada lingkaran utang. Awalnya coba-coba, namun lama-kelamaan mereka doyan juga hingga akhirnya menjadi ketagihan. Sama persis seperti zat adiktif yang memabukkan dan menghilangkan kesadaran, utang pun demikian. Perbedaan di antara keduanya hanya masalah tujuan, manfaat dan fungsi dalam penggunaan.

Selain itu, bila diruntut genealogis dari penegasan tersebut saya haqqul yaqin bahwa terminologi itu masih memiliki nasab dengan lagu gali lobang tutup lobang ciptaan Raja Dangdut Indonesia, yakni Bang Haji Rhoma Irama yang populer pada masanya. Bahkan sampai sekarang pun dendangnya masih saja menggema di kedua daun telinga meski aksi panggung grup Soneta tidak lagi nampak di depan mata. 

Bila kita cermati secara seksama, pola gali lobang tutup lobang sama dengan utang pada kenyataannya bukan solusi yang terbaik, karena bagaimanapun di sana hanya sekadar pengalihan rentetan modus belaka. Pengalihan rentetan modus yang kemudian menjadikan sebagian dari kita kerap terlena dengan sistem kerja yang berlaku di dalamnya. 

Dalam konteks menulis, sistem kerjanya dimulai dengan; memandang remeh-temeh setor tulisan secara on time, mulai berani menunda untuk menulis, ketidakmampuan mengabstraksikan ide, bersikap santai karena masih ada opsi utang dan tidak ada konsekuensinya, menulis untuk sekadar menggugurkan kewajiban hingga akhirnya sampai pada level utang sebagai modus kerja. Pendek kata, alurnya sekadar pemenuhan modus indikatif, kemudian beralih menjadi modus optatif dan berhenti pada modus statistik (mengutamakan poling atau angka setor tulisan).

Pengalihan modus dalam menulis pada grup SPK Tulungagung ini dalam pandangan saya sangat tidak wajar. Karena pola kerjanya telah jauh dari motif dan bisa saja melenceng dari rel yang telah ditargetkan. 

Yang awalnya aktivitas menulis dilakukan dengan setulus hati untuk tujuan memberdayakan dan mengembangkan potensi literasi yang ada di dalam diri namun pada akhirnya malah menjadi keterpaksaan dan beban yang menghantui.

Yang awalnya menulis dilakukan semata-mata untuk memberi kemanfaatan dengan maksud menampilkan tulisan yang berkualitas dan hal yang berbeda namun jatuhnya malah sekadar mengejar setoran belaka. 

Sampai di sini sebenarnya saya tidak sedang mengada-ada melainkan berusaha merangkai kata berdasarkan data rekapitulasi setoran tulisan wajib yang di-share di grup WhatsApp SPK Tulungagung. Lebih tepatnya, rekapitulasi setoran tulisan wajib mulai bulan November 2020 hingga bulan Februari 2021. Data rekapitulasi tersebut setidaknya mampu menjadi pijakan untuk menganalisa sejauh mana perkembangan potensi yang ada sekaligus dapat mencoreng muka kita sendiri. 

Namun setelah saya melihat data rekapitulasi setoran tulisan wajib untuk akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021 tersebut sontak saya pun terkaget-kaget. Awalnya saya tidak percaya, bagaimana mungkin satu objek yang tak bernyawa mampu terpapar pandemi Covid-19? Akan tetapi setelah zona merah itu menari-nari di depan mata keberadaannya memang sungguh benar tak dapat disangkal batang hidungnya. 

Ah, pada akhirnya saya pun harus membuat pengakuan di akhir alinea bahwa sependek tulisan acakadut ini tidak lain adalah cambukan keras untuk diri sendiri sepenuhnya. Adapun bila ada pihak-pihak tertentu yang merasa tersinggung dengan kata-kata saya, hal itu di luar konteks tulisan ini hadir di hadapan Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun