Sementara mereka sibuk mencari formula yang tepat dalam menyebutkan, memahami dan menerjemahkan diri sendiri sebagai perempuan, di wilayah-wilayah yang katanya tradisional dan inferior masih saja sibuk mencari dalil untuk menguasai apa-apa yang berbau perempuan dikaitkan dengan kepentingan bawah perut dan iming-iming kenikmatan di hari kemudian.Â
Sialnya, proses indoktrinasi itu tidak dirasa cukup mengganggu dan merugikan salah satu pihak. Justru kian hari ketimpangan itu dipandang sebagai satu solusi memahami kehidupan. Layaknya cengkraman Elang, tidak ada yang benar-benar mampu bebas dari candu yang terus digalakkan.Â
Contoh kecilnya terwakili muda-mudi zaman edan sekarang. Betapa bucinnya mereka dengan mudah mengumbar sebutan Bunda dan Ayah, hingga akhirnya belum saja benar-benar telah menjadi sah atas dasar rukunnya nikah, eh sudah kepalang berperan "buka-bukaan" dan memberi apa pun yang ada dalam dirinya dengan mudah. Alamat, ujung-ujungnya susah. Orang tuanya berpikir keras menanggung malu mendayung gelisah.
Ah, sampai di sini ada benarnya pula qaul Syaidina Ali RA., "Kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi", (Mujamil Qomar, 2014: 31).
Tertanda, lelaki yang mengidam-idamkan sosok ibu untuk anak-anakku.Â
Tulungagung, 22 Februari 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI