Manusia adalah makhluk sosial. Makhluk cerdas yang tidak pernah mampu mencukupi kebutuhan hidup secara mandiri. Baik itu kebutuhan primer dalam kelangsungan hidup sehari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun lamanya. Kebutuhan sekunder dalam upaya melengkapi atau pun segala bentuk kebutuhan tersier yang keberadaannya dipandang sebagai titik penunjang keadaan tertentu, tuntutan profesi mau pun sekadar menuruti apa-apa yang disebut gengsi.
Ketergantungan dalam mencukupi kebutuhan; primer, sekunder dan tersier ini sudah barang tentu bertumpu pada eksistensi manusia yang lain. Manusia yang sama-sama saling membutuhkan, saling bergantung atas dasar kepentingan dan saling melengkapi segala wujud kekurangan. Semua itu menjadi salah satu alasan utama kenapa manusia disebut sebagai makhluk sosial.Â
Sungguh tidak terbayangkan, jikalau ada satu manusia yang mampu mencukupi segala kebutuhannya tanpa membutuhkan peran dari yang lain. Jikalau memang benar-benar adanya, haqqul yakin; peran, keadaan dan profesi "atas nama kebutuhan" itu tidak semua dilakukan pada waktu yang sama. Seperti halnya tokoh-tokoh masyhur dan ilmuwan tempo dulu yang kapabelitas dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan.Â
Meski demikian, toh pada kenyataannya sedangkal ingat saya belum pernah mendengar satu tokoh yang piawai melengkapi segala kebutuhannya dengan kapabelitas yang dimilikinya tersebut.Â
Misalnya saja adakah seorang tokoh yang berprofesi sebagai dokter tatkala sakit mengobati diri sendiri? membuat obat sendiri, menyusun ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk perihal pengobatan secara mandiri, membuat perlengkapan pengobatan dan perlengkapan operasi serta lain sebagainya secara pribadi. Tentu tidak, dapat dipastikan ia bekerja dikelilingi oleh kolega lain yang saling menyokong dalam kebutuhan penyembuhan tersebut.
Ketergantungan atas yang lain tersebut sejatinya berpijak pada perbedaan. Perbedaan pola pikir, cara pandang, kemampuan, hobi dan potensi diri. Singkatnya, justru karena perbedaan itulah manusia dapat melangsungkan kehidupan. Karena berpijak di atas perbedaan itulah manusia mengalami tumbuh-kembang.Â
Jikalau memang demikian, lah bagaimana dengan kasus YouTuber yang gandrung melakukan hidup ala "etnik run away"? Cara hidup ala tarzan yang survive di hutan belantara dengan mengandalkan hasil alam untuk mencukupi semua kebutuhannya. Apakah itu contoh yang relevansi dengan konteks permasalahan? Oh tentu tidak. Dalam kasus ini tentu mereka melakukan semua itu karena kebutuhan akan finansial, royalti dari banyaknya viewer. Itu artinya eksistensi dan keunikan dalam peran sedang sibuk diperjualbelikan. Modus baru modernitas sebagai kebutuhan untuk menarik perhatian dari orang lain sehingga mereka menjadi follower setia akun YouTube miliknya.Â
Tren demam mendadak 'menjadi YouTuber' yang doyannya blusukan hutan belantara ini tidak lain upaya mencukupi kebutuhan hidup yang berlangsung atas dasar settingan belaka. Bukan selamanya. Justru hal itu dilakukan atas nama kepentingan pribadi. Satu tren yang kemudian menerobos batasan privasi yang mungkin dulu dirahasiakan namun kini menjadi lahan subur baru untuk dikonsumsi oleh banyak pasang mata.Â
Ironisnya, ruang-ruang yang dianggap privasi itu justru kini menjadi tidak sakral lagi. Lebih tepatnya bertransformasi diri menjadi lahan jitu eksploitasi. Mungkin di antara kita pernah melihat bagaimana YouTuber menjadikan tempat tidur sebagai panggung shooting video. Mempermainkan perasaan keluarga, karib-kerabat dan orang lain sebagai trik baru untuk membuat prank. Pamer harta kekayaan menjadi kebiasaan. Hingga settingan perseteruan antara satu sama lain bahkan dengan sengaja dikondisikan sedemikian rupa, dipertontonkan berjilid-jilid supaya laku dipasaran. Sekaligus menjadi buah bibir yang menghasilkan keuntungan.
Dalam konteks inilah garis-garis batasan privasi melebur menjadi ruang publik. Peleburan ini tentu seperti halnya koin yang memiliki dua sisi. Di satu pihak, seseorang mungkin saja merasa diuntungkan dengan banyaknya konten YouTube miliknya yang laris manis di pasaran. Sehingga meraup royalti yang tidak segan-segan. Namanya menjadi citra yang banyak dikumandangkan.Â
Akan tetapi di lain pihak, semua waktu luangnya untuk memainkan peran maupun status sosial tertentu dalam kehidupan nyata telah dirampas. Setiap gerak-gerik dalam hidupnya dengan mudah dipantau oleh khalayak ramai. Bahkan bisa jadi, alur hidupnya secara sengaja dibentuk atas dasar settingan dan pencintraan.
Perleburan dimensi ini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial memang selalu bergerak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus mencari pengakuan eksistensi dari yang lain. Alih-alih hendak menegaskan diri melalui profesi baru yang dipandang "keren" namun hal itu justru menjadi satu persoalan baru yang mendekonstruksi batasan-batasan yang selama ini tersembunyi.
Dalam kacamata sarkastik, manusia tidak lain adalah makhluk sosial yang sangat antusias melampui kemakhlukan sosial tersebut. Saking hebatnya, antusiasme tersebut melampui realitas sosial menuju kebahagiaan media sosial.
Pertanyaan mendasarnya apakah itu anugerah yang dihasilkan dari revolusi industri 5.0 sehingga harus disyukuri? Ataukah bumerang yang terus-menerus diumbar sehingga menjadi bayangan yang kapan saja bisa menikam diri? Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut mari masing-masing kita melakukan introspeksi diri.Â
Lah mengapa demikian? Karena bagaimanapun yang benar-benar memahami diri kita sendiri adalah kita sendiri sebagai pelakunya. Mungkin saja bagi kita yang mudah naik pitam, akan sedikit tersinggung apabila ada orang lain menegur dan mengingatkan tentang kecerobohan, kesalahan dan kelaliman yang telah kita perbuat.Â
Mulai saat ini mari kita menata diri. Berusaha memanajemen kembali atas eksistensi dan sepak terjang di dunia nyata maupun di media sosial yang kerap kita gauli. Alangkah baiknya apabila kita memahami, mengontrol dan menguasai segala sesuatu yang akan kita geluti. Menjajakan diri di ruang-ruang tak terbatas dengan penuh kesantunan, keadaran dan sesuai porsi.
Akhirnya sebagai penutup, tentu tulisan receh ini lahir tidak bermaksud menuding dan memojokan pihak-pihak tertentu. Tulisan ini hadir tak lebih sebagai pengingat dan cambuk diri bagi penulis sendiri. Selebihnya kekecaubalauan dalam tulisan ini murni dari saya, sementara kesempurnaan atas makna tersampaikan karena cinta yang ada pada diri Anda. Semoga bermanfaat dan trima kasih.
Tulungagung, 3 Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H