Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Lunturnya Ruang Privasi dan Makhluk Sosial yang Kebablasan Mencari Eksistensi

3 Februari 2021   13:33 Diperbarui: 3 Februari 2021   13:41 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Manusia adalah makhluk sosial. Makhluk cerdas yang tidak pernah mampu mencukupi kebutuhan hidup secara mandiri. Baik itu kebutuhan primer dalam kelangsungan hidup sehari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan hingga bertahun-tahun lamanya. Kebutuhan sekunder dalam upaya melengkapi atau pun segala bentuk kebutuhan tersier yang keberadaannya dipandang sebagai titik penunjang keadaan tertentu, tuntutan profesi mau pun sekadar menuruti apa-apa yang disebut gengsi.

Ketergantungan dalam mencukupi kebutuhan; primer, sekunder dan tersier ini sudah barang tentu bertumpu pada eksistensi manusia yang lain. Manusia yang sama-sama saling membutuhkan, saling bergantung atas dasar kepentingan dan saling melengkapi segala wujud kekurangan. Semua itu menjadi salah satu alasan utama kenapa manusia disebut sebagai makhluk sosial. 

Sungguh tidak terbayangkan, jikalau ada satu manusia yang mampu mencukupi segala kebutuhannya tanpa membutuhkan peran dari yang lain. Jikalau memang benar-benar adanya, haqqul yakin; peran, keadaan dan profesi "atas nama kebutuhan" itu tidak semua dilakukan pada waktu yang sama. Seperti halnya tokoh-tokoh masyhur dan ilmuwan tempo dulu yang kapabelitas dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan. 

Meski demikian, toh pada kenyataannya sedangkal ingat saya belum pernah mendengar satu tokoh yang piawai melengkapi segala kebutuhannya dengan kapabelitas yang dimilikinya tersebut. 

Misalnya saja adakah seorang tokoh yang berprofesi sebagai dokter tatkala sakit mengobati diri sendiri? membuat obat sendiri, menyusun ilmu pengetahuan tentang seluk-beluk perihal pengobatan secara mandiri, membuat perlengkapan pengobatan dan perlengkapan operasi serta lain sebagainya secara pribadi. Tentu tidak, dapat dipastikan ia bekerja dikelilingi oleh kolega lain yang saling menyokong dalam kebutuhan penyembuhan tersebut.

Ketergantungan atas yang lain tersebut sejatinya berpijak pada perbedaan. Perbedaan pola pikir, cara pandang, kemampuan, hobi dan potensi diri. Singkatnya, justru karena perbedaan itulah manusia dapat melangsungkan kehidupan. Karena berpijak di atas perbedaan itulah manusia mengalami tumbuh-kembang. 

Jikalau memang demikian, lah bagaimana dengan kasus YouTuber yang gandrung melakukan hidup ala "etnik run away"? Cara hidup ala tarzan yang survive di hutan belantara dengan mengandalkan hasil alam untuk mencukupi semua kebutuhannya. Apakah itu contoh yang relevansi dengan konteks permasalahan? Oh tentu tidak. Dalam kasus ini tentu mereka melakukan semua itu karena kebutuhan akan finansial, royalti dari banyaknya viewer. Itu artinya eksistensi dan keunikan dalam peran sedang sibuk diperjualbelikan. Modus baru modernitas sebagai kebutuhan untuk menarik perhatian dari orang lain sehingga mereka menjadi follower setia akun YouTube miliknya. 

Tren demam mendadak 'menjadi YouTuber' yang doyannya blusukan hutan belantara ini tidak lain upaya mencukupi kebutuhan hidup yang berlangsung atas dasar settingan belaka. Bukan selamanya. Justru hal itu dilakukan atas nama kepentingan pribadi. Satu tren yang kemudian menerobos batasan privasi yang mungkin dulu dirahasiakan namun kini menjadi lahan subur baru untuk dikonsumsi oleh banyak pasang mata. 

Ironisnya, ruang-ruang yang dianggap privasi itu justru kini menjadi tidak sakral lagi. Lebih tepatnya bertransformasi diri menjadi lahan jitu eksploitasi. Mungkin di antara kita pernah melihat bagaimana YouTuber menjadikan tempat tidur sebagai panggung shooting video. Mempermainkan perasaan keluarga, karib-kerabat dan orang lain sebagai trik baru untuk membuat prank. Pamer harta kekayaan menjadi kebiasaan. Hingga settingan perseteruan antara satu sama lain bahkan dengan sengaja dikondisikan sedemikian rupa, dipertontonkan berjilid-jilid supaya laku dipasaran. Sekaligus menjadi buah bibir yang menghasilkan keuntungan.

Dalam konteks inilah garis-garis batasan privasi melebur menjadi ruang publik. Peleburan ini tentu seperti halnya koin yang memiliki dua sisi. Di satu pihak, seseorang mungkin saja merasa diuntungkan dengan banyaknya konten YouTube miliknya yang laris manis di pasaran. Sehingga meraup royalti yang tidak segan-segan. Namanya menjadi citra yang banyak dikumandangkan. 

Akan tetapi di lain pihak, semua waktu luangnya untuk memainkan peran maupun status sosial tertentu dalam kehidupan nyata telah dirampas. Setiap gerak-gerik dalam hidupnya dengan mudah dipantau oleh khalayak ramai. Bahkan bisa jadi, alur hidupnya secara sengaja dibentuk atas dasar settingan dan pencintraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun