Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menerka Makna

23 Oktober 2020   11:47 Diperbarui: 23 Oktober 2020   12:16 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku termenung di penghujung hening

Gusar meminang lamunan tawa tak ada ujungnya

Tak mengenal satuan titik atau pun koma

Hingga akhirnya terjerembab pada klise temaram cerita

Tetap saja, pikirku memahat tanya

Ingatanku banyak melukis tentang lusa

Hari Selasa

Masih tentang selaksa masa

Ajeg kokoh di sana

Di sepertiga jahitan aksara

Kecamuk rasaku bersusah payah menyelaminya

Anganku berjabat tangan, menyebutkan nama dan statusnya yang tuna asmara

Pertanda, ia dengan setulus hati ingin menjadi teman akrab, karib kerabat bahkan keluarga

Atau mungkin ia hendak menjadi saudara?

Meluluhlantakkan nasabiah yang dipuja-puja

Menerjang lipatan-lipatan bebal dalam budaya

Dan sungguh pun mereka berpijak pada rupa yang tak pernah sama

Lanjutnya,

Anganku lantas jatuh hati pada patahan kata

Menjadi obsesi utama menggandeng cita-cita

Sudi mengencaninya siang-malam hingga menjadi gila

Ya, si Majnun itu menghendakinya sebagai pendamping hidupnya

Persis istri sah sesungguhnya

Entah itu pertama, kedua, ketiga dan seterusnya

Sehidup semati penyempurna tiap-tiap bagian di antaranya

Dimabuk diksi yang terngiang-ngiang di kepala

Dalam hatinya mulai tumbuh benih-benih keyakinan buta

Ringkih kepercayaan di samudera cinta yang tak terhingga

Satu ketabuan yang belum benar-benar terpahaminya

Entah mengapa,

Semenjak itulah isian hati dan kepala mudah sensitif atas segala apa

Termasuk sangsi atas kata yang dulu menyebabkannya jatuh rasa

Dan kini ia ingin membombardir seluruh frasa

Melumat habis makna tanpa sisa

Patahan tiap kata itu di hadapannya kini tak ayal seonggok noda

Satu hal yang benar pun harus dibilasnya secara merata

Kepongahan rahasia yang bersemayam itu tak lagi berdaya

Tak punya kuasa

Antara menyerah dengan berputus asa

Atau mati tanpa sia-sia 

Dan di detik itulah aku mulai berani bersua;

"Itukah manusia?".

Tulungagung, 23 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun