Aku termenung di penghujung hening
Gusar meminang lamunan tawa tak ada ujungnya
Tak mengenal satuan titik atau pun koma
Hingga akhirnya terjerembab pada klise temaram cerita
Tetap saja, pikirku memahat tanya
Ingatanku banyak melukis tentang lusa
Hari Selasa
Masih tentang selaksa masa
Ajeg kokoh di sana
Di sepertiga jahitan aksara
Kecamuk rasaku bersusah payah menyelaminya
Anganku berjabat tangan, menyebutkan nama dan statusnya yang tuna asmara
Pertanda, ia dengan setulus hati ingin menjadi teman akrab, karib kerabat bahkan keluarga
Atau mungkin ia hendak menjadi saudara?
Meluluhlantakkan nasabiah yang dipuja-puja
Menerjang lipatan-lipatan bebal dalam budaya
Dan sungguh pun mereka berpijak pada rupa yang tak pernah sama
Lanjutnya,
Anganku lantas jatuh hati pada patahan kata
Menjadi obsesi utama menggandeng cita-cita
Sudi mengencaninya siang-malam hingga menjadi gila
Ya, si Majnun itu menghendakinya sebagai pendamping hidupnya
Persis istri sah sesungguhnya
Entah itu pertama, kedua, ketiga dan seterusnya
Sehidup semati penyempurna tiap-tiap bagian di antaranya
Dimabuk diksi yang terngiang-ngiang di kepala
Dalam hatinya mulai tumbuh benih-benih keyakinan buta
Ringkih kepercayaan di samudera cinta yang tak terhingga
Satu ketabuan yang belum benar-benar terpahaminya
Entah mengapa,
Semenjak itulah isian hati dan kepala mudah sensitif atas segala apa
Termasuk sangsi atas kata yang dulu menyebabkannya jatuh rasa
Dan kini ia ingin membombardir seluruh frasa
Melumat habis makna tanpa sisa
Patahan tiap kata itu di hadapannya kini tak ayal seonggok noda
Satu hal yang benar pun harus dibilasnya secara merata
Kepongahan rahasia yang bersemayam itu tak lagi berdaya
Tak punya kuasa
Antara menyerah dengan berputus asa
Atau mati tanpa sia-siaÂ
Dan di detik itulah aku mulai berani bersua;
"Itukah manusia?".
Tulungagung, 23 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H