Derasnya hujan yang turun di tengah malam kemarin nyata belum benar-benar lekas berpamitan pulang, dan itu terlampiaskan sudah dalam ritme gerimis di Senin pagi sebagai tuan.
Tuan yang kehadirannya kerapkali banyak diperbincangkan, entah itu oleh para atasan pun atau khalayak kerumunan karyawan. Tuan yang kehadirannya selalu dalam persimpangan di antara dua keadaan; beranjak dari rasa malas dan ketepakasaan. Tuan yang lambat-laun menjadi tanda sukses-tidaknya satu tujuan dan tindakan.
Loh, mengapa demikian? Sebagai faktanya, bukankah setiap masing-masing kita lebih suka menghabiskan waktu libur tiba bersama dengan keluarga tercinta? Bukankah, dikala waktu libur tiba, kepayahan yang acapkali kita cari adalah kebebasan dari setiap tekanan yang ada.
Alhasil sebagai bentuk realisasinya, bercengkrama, mengumbar tawa dan saling melontarkan sepenggal humor atau berbagi pengalaman dalam wujud cerita bersama pasangan dan anak-anak adalah candu yang senantiasa diidam-idamkan atas segudang kesumpekan  dalam rutinitas kehidupan masing-masing kita.
Diamini ataupun tidak, bagaimanapun fokus satu rutinitas yang kita geluti lebih banyak menyita waktu dan mengharuskan kita mengorbankan sesuatu hal penting yang menegaskan diri kita adalah bagian dari itu.
Sebutkanlah sesuatu yang senantiasa kita korbankan itu di antaranya; melewatkan kebersamaan dengan keluarga, menghabiskan waktu dengan teman-teman, waktu untuk diri sendiri, waktu untuk menjalankan hobi, menikmati kedamaian dan keheningan, kesempatan untuk menikmati hal-hal yang indah dan lain sebagainya.
Untuk lebih mudah memahaminya, kita ambil salah satu contoh sebagai pendeskripsiannya. Misalnya saja, dalam menjalani kehidupan ini, siang-malam hampir dua puluh empat jam kita berusaha fokus mengejar karier. Maka yang terjadi selanjutnya, secara sadar ataupun tidak, pasti akan ada banyak hal yang tersisihkan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa terlupakan begitu saja.
Padahal, jika diruntut dari sekian banyak alasannya, semua tindakan yang kita lakukan tidak lain bermula dari keajegan pilihan yang kita putuskan secara sadar. Entah itu dalam kemantapan atau mungkin hanya sekadar mengikuti alur semata.
Namun meskipun demikian, tetap saja pada satu waktu tertentu, seakan-akan dalam menjalani suatu rutinitas yang menjadi pilihan itu kita melulu merasa digiring menuju jurang kesumpekan.
Lantas mengapa berujung tragis demikian? Apa memang yang menjadi pilihan kita tidak sesuai dengan kebutuhan? Atau malah yang menjadikan segala sesuatu berujung pada kesumpekan tersebut secara tidak langsung bergantung pada prakondisi, cara kita mengendalikan persepsi dan kurangnya rasa syukur atas semua hal yang kita jalani.
Dalam konteks kategorisasi waktu yang bersandar pada sederet pilihan dan putusan kehendak inilah, Steve Henry dalam buku "You Are Really Rich You Just Don't Know It" (2009) berusaha mempertanyakan kembali esensi dari rutinitas kehidupan yang masing-masing kita jalani.
Steve secara tegas menyakini, bahwa semenjak lahir sesungguhnya manusia diberkati dengan miliaran potensi yang menunjukkan betapa kayanya masing-masing pribadi kita. Masalahnya cuma satu, masing-masing kita tidak pernah menyadari dan tak ingin pernah tahu keadaan itu.
Lebih lanjut, Steve dengan nominal angka-angka hasil riset yang dilakukan di Inggris Raya hendak menegaskan berapa persen kerugian yang harus ditanggung oleh setiap manusia justru di sanalah ia sedang menghardik betapa rapuhnya manusia dalam menjalankan semua pilihan dan keputusannya.
Alih-alih manusia sibuk mengejar-ngejar dan menikmati posisi tertentu, namun di sanalah letak epoch-kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan yang selayaknya ia dapatkan sekaligus dijadikan pondasi utama dalam menjalankan tugas kehidupan sebagai makhluk sosial-spiritual di dunia.
Sederhananya, setiap kesibukan atas rutinitas kehidupan sehari-hari sejatinya telah banyak membentuk sekat-sekat dan distingsi antara kesadaran-kebutuhan mendasar sebagai seorang manusia.
Dalam konteks itu pula, turunnya hujan di Senin pagi bukanlah satu tanda yang harus kita sesali, terlebih lagi kita benci. Justru sebaliknya, rintik tak terhingga itu tidak lain termasuk sebagai salah satu anugerah luar biasa yang dapat kita rasakan dan kita syukuri saat ini.
Terkadang kita lupa, bahwa tidak semua yang kita inginkan itu bisa benar-benar terjadi. Meskipun jauh-jauh hari Paulo Coelho dalam novel Sang Alkemis menandaskan; "bila kamu menginginkan sesuatu maka seisi jagat raya akan bersatu padu membantumu mewujudkan itu".
Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kita tahu-menahu betul kapan keinginan itu terkabul? Dalam usia berapa gunungan atau satuan keinginan itu akan terwujud? Entahlah.
Di sinilah letak alasan mengapa manusia diberkati akal, hati dan kesempurnaan anggota tubuh untuk menciptakan gerak sebagai tanda adanya usaha-usaha yang masif dilakukan. Selama "proses menjadi" ini pula manusia ditempa dengan segala bentuk gubahan rasa. Pengalihan ruang transisi rasa  -dari satu keadaan menuju pada keadaan yang lain, namun pada kenyataannya tahapan itu pula yang mendewasakan diri manusia.
Sampai di sini, saya terngiang dengan kisah perempuan malang yang tinggal pada jantung hiruk-pikuk kerasnya kehidupan di Amerika. Perempuan tua bernama Bibi Grace. Begitulah tiga cucunya dan beberapa tetangga memanggilnya.
Ia hidup di rumah yang sempit dan alakadarnya, meskipun pada kenyataannya lingkungan hidup di sekitar rumahnya itu sangat metropolis dan kapitalis. Sangat tampak, persis di samping rumahnya itu gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh.
Namun meskipun demikian, Bibi Grace tidak pernah malu untuk menyadari dan mengakui bahwa dirinya hidup dalam ketercukupan walaupun kerapkali sempat tidak makan. Uniknya, dalam menjalani kehidupan Bibi Grace selalu memiliki tekad yang kuat untuk melakukan enam hal dalam setiap harinya.
Pertama, berusaha melakukan sesuatu untuk orang lain. Bagaimanapun pada kenyataannya manusia tidak pernah mampu menapikan kehadiran orang lain dalam kehidupannya. Termasuk dalam beberapa hal kita butuh melakukan sesuatu hal untuk orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun.
Kedua, berusaha melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Mencukupi kebutuhan dan kehendak diri, entah itu dalam wujud menjalankan hobi, menikmati makanan-minuman favorit, menggali potensi diri dan lain sebagainya perlu kita lakukan untuk menghadirkan kesadaran bahwa masing-masing kita hidup sekaligus memiliki alasan untuk meraih satu keadaan tertentu sebagai tujuan.
Ketiga, melakukan sesuatu yang tak ingin kita lakukan dan yang perlu dilakukan. Terkadang dalam bertindak kita tidak melulu  bergerak karena ada iming-iming imbalan dan karena adanya keinginan yang hendak kita wujudkan, akan tetapi dalam satu kondisi tertentu kita juga harus mendahulukan apa yang benar-benar perlu kita lakukan meskipun hal itu sesuatu yang tidak kita inginkan. Membantu membayar utang tetangga misalnya.
Keempat, latihan fisik. Salah satu faktor yang sangat urgen dalam bertambahnya usia adalah perubahan fisik. Menjaga kesehatan tubuh dengan cara melatih fisik secara rutin menjadi kunci utama dalam upaya merasakan kebugaran di usia senja kelak.
Kelima, latihan mental. Selain fisik, mengupayakan latihan mental secara rutin juga penting. Bagaimanapun dinamika kehidupan acapkali menjungkirbalikkan keadaan dan peran, sehingga manusia benar-benar harus mampu menerima dan menjalani keadaan dengan mental yang kuat. Sudah barang tentu asupan spiritualitas adalah salah satu hal penting yang harus dibiasakan dan terdisiplinkan.
Sementara yang terakhir ialah memanjatkan doa asli yang selalu mencakup menghitung anugerah-Nya. Bersyukur dan merenungkan semua nikmat-Nya menjadi salah satu kunci bagaimana manusia mampu menjalani kehidupan di dunia dengan damai dan sentosa tanpa harus mengumbar gejolak rasa negatif yang sia-sia.
Keenam tekad yang harus dilakukan dalam keseharian itu, Bibi Grace mengerucutkan semuanya pada motto hidupnya; "berkembanglah di mana kau ditanam".
Pada akhirnya, kita sebagai manusia pun harus menyadari, bahwa dalam hidup harus ada keseimbangan antara tekanan dan gaya, antara das sein dan das solen meskipun di satu waktu itu pula kita dituntut menunjukkan tekad dan keyakinan dalam memaksimalkan usaha.
Meskipun demikian, sikap lapang dada, berusaha menerima dan mensyukuri proses dari usaha yang telah dilakukan atas suatu keadaan adalah wujud keutamaan.
Begitu halnya tatkala kita dianugerahi hujan. Mungkin saja sebagian dari kita tidak membutuhkan namun tidak menutup kemungkinan pula sebagian yang yang lain sudah lama mengelu-elukan. Dalam konteks ini, memanjatkan syukur dalam setiap keadaan menjadi sangat penting.
Bagaimanapun bisa jadi kebahagiaan yang kita rasakan tidak melulu dapat dimaknai  sebagai sanjungan, mungkin pula itu adalah ujian. Begitu halnya dengan setiap ujian dan kesedihan, bisa pula itu bermakna keselamatan dan sanjungan melalui hikmah dan pembelajaran.
Akhir kata. Syukurlah, semoga rintik itu membawa keberkahan dalam memulai semua pekerjaaan.
Tulungagung, 12 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H