Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Sepanjang Jalan Sesumbar Jacob

2 Oktober 2020   13:08 Diperbarui: 2 Oktober 2020   13:19 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telah seberapa banyak orang telanjur menggadaikan rasa malu, kejujuran, membolak-balikkan kebenaran, menjungkirbalikkan hukum dan mempermainkan agamanya karena keroncong perut.

Tidak hanya sampai di sana. Urusan perut terus merembet pada sejauh mana orang-orang merampas hak-hak kemanusiaan karena alasan tak berlogika; padahal hanya hendak melepas kentut. Seleluasa apa mereka memberanguskan nyawa karena diteror takut dan bayang-bayang yang disebut bangkrut.

Mungkin iya, segelintir dari kita hanyalah korban tipu daya yang tak pernah punya kuasa. Sekalipun menuntut dan bicara ke muka yang terjadi justru harus berurusan dengan pengacara di depan jaksa. Satu kepastian yang berakhir sebagai malapetaka.

Padahal dulu orang-orang yang punya kuasa itu sempat mengiba karena suara penentu digenggam rakyat jelata. Ah, mungkin mereka sudah lupa atau memang sengaja melupa dengan setumpuk janji yang dikoar-koarkan di mimbar pilkada.

Lantas saya menjadi sangsi seketika, sembari diam-diam memproklamirkan diri sebagai skeptis sejati tanpa terbubuhkan secuil tanda. Sontak, saya pun terperanjat tatkala mobil berhenti di beranda warung makan. "Soto Lamongan", plakat warung  makan itu terpampang jelas di kaca bagian depan.

"Sretttttt... Hemmmm, akhirnya", suara kursi ditarik bercampur lega. Belum juga panasnya pantat mendingin, titisan Socrates milenial itu mengeroyok saya dengan peleton pertanyaan lanjutan. "Mau soto apa mas Roni? Daging atau ayam? Telurnya mau satu atau dua? Minumnya mau apa? Jeruk hangat atau dingin, teh dingin atau hangat?", lontarnya.

Untungnya saya tidak sedang mood untuk berdebat, alhasil balasan singkatpun saya jamak, "soto ayam, minumnya jeruk hangat". Sembari menunggu pesanan, curahan demi curahan terus-menerus Jacob imbuhkan sebagai hidangan pembuka. Hampir saja, saya dibuatnya kenyang sebelum mencicipi rasa.  

Mungkin jika dianalogikan, Jacob sebagai titisan Socrates milenial yang piawai berjilat lidah itu bersinonimitas dengan tokoh Jeng Kelin pada sitkom salah satu channel TV yang difavoritkan dahulu. Tak usahlah saya sebutkan, kalau-kalau perkataannya mudah dicerna diawal namun akhirnya menjengkelkan lawan bicaranya.

Di tengah keasyikan melahap soto Lamongan, titisan Socrates itu masih saja menyempatkan waktu untuk memintal kata. Seakan-akan keselak dipastikan tunduk pada setiap tutur katanya. Sekali-dua kali dia menawarkan, "mas, Iki lo opak.e. Saya kalau makan tanpa opak rasanya kurang afdhol gimana gitu".

"Enggeh. Loh kok saget ngoten nggeh?", sergahku dengan penuh kehati-hatian karena takut keselak. Bagaimanapun diam adalah teman terbaik saya di kala makan, namun kali ini saya harus menduakannya dengan cerocos yang harus terladeni karena segan.  

Ia mengambil dua kerupuk dan meletakkan satu kerupuk di atas mangkuk saya. Tanpa menunggu jeda, akhirnya ia mulai bercerita mengorek-ngorek ingatan lamanya pada saat ia kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun