Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Khotbah Jumat sebagai Ajang Evaluatif

8 September 2020   15:09 Diperbarui: 8 September 2020   14:55 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salat Jumat pada minggu pertama di bulan September ini saya tunaikan di masjid Al-Azhar. Salah satu masjid yang letaknya tidak jauh dari kompleks perumahan Permei, rute destinasi wisata warung kopi sekaligus track jogging pinggir kali (Pinka) Ngrowo.

Tepat di sebelah selatan masjid Al-Azhar Sukoanyar itu terdapat bangunan PAUD Taam dan madrasah Diniyah Al-Azhar.   Pelataran bangunan itu jelas dihiasi dengan permainan khas kesukaan anak-anak, di antaranya; ayunan, selorotan, kursi berputar, bola dunia panjat dan jembatan panjat.

Dari kejauhan tampak jelas, salah satu ciri yang menandakan bahwa bangunan itu tempat belajar anak-anak ialah dekorasi dinding yang mulai tampak usang termakan zaman. Bahkan, beberapa paruh waktu, saya sering membuang wajah sejenak ke arahnya. Entah itu tatkala saya sedang beristirahat sejenak di serambi masjid ataupun di kala masih menduduki jok motor di parkiran.

Ah, tapi bukan potret sarana itu yang hendak saya ceritakan pada tulisan ini. Melainkan tentang cerita saya mengamati khotbah Jumat di masjid Al-Azhar. Salah satu kebiasaan baru semenjak saya mendapatkan pekerjaan di daerah Pinka.

Sedari awal menunaikan salat Jumat di masjid Al-Azhar, saya beberapa kali sempat berinisiatif untuk memastikan isi khotbah yang disampaikan berjentre apa. Sederhananya saya tertarik untuk mengidentifikasi, mengoleksi intisari dan mendikotomikan materi khotbah yang disampaikan sang Khotib pada setiap sesi salat Jumat.

Terhitung mulai bulan Januari akhir sampai Jumat pertama di bulan September, mayoritas isi khotbah yang disampaikan pada jamaah ternyata lebih cenderung bersifat normatif dan tekstualis. Semua materi khotbah Jumat yang disampaikan lebih nampak melangit tanpa dibenturkan dengan realitas kehidupan sosial yang ada di zaman serba modern ini.

Walapun memang ada materi khotbah yang berusaha disampaikan dengan berpijak pada bingkai problematika dan tantangan dalam menjalani kehidupan di era disrupsi ini, itupun hanya satu-dua saja. Selebihnya monoton.  

Saya pikir, sejauh ini yang saya pahami, setiap racikan isi khotbah Jumat yang disampaikan itu sepenuhnya memang menjadi tanggung jawab Khotib. Alhasil ke mana muara persoalan materi khotbah itu dialirkan, ya sesuai dengan kehendak Khotib. 

Entah itu hendak mengambil materi dari buku kumpulan khotbah praktis, hasil tulisan sendiri, intisari analisis realitas kehidupan maupun teks pedoman khotbah yang telah dimakan rayap sekalipun.

Kasus yang serupa juga saya temukan di beberapa perhelatan khotbah Jumat di masjid-masjid yang lain. Pada umumnya, sang Khotib hanya fokus menggugurkan rukun khotbah Jumat semata-mata tanpa menyodorkan persoalan terbaharu, memberi solusi ataupun pencerahan tentang bagaimana cara menyikapi kegandrungan realitas kehidupan yang ada.

Dari kasus ini dapat kita garisbawahi bahwa peran Khotib juga sedikit banyak memengaruhi cara pandang dan pemahaman para jamaah yang hadir. Pendek kata, latar belakang keilmuan dan pengalaman pribadi sang Khotib selaiknya juga diperhitungkan tatkala dewan takmir memilih seorang Khotib.

Bagaimanapun Khotib dapat digolongkan sebagai agen of change dalam cakupan wilayah kecil. Termasuk salah satu orang yang sepanjang pembicaraannya didengar oleh banyak orang, kecuali segelintir orang yang memang hobinya tidur tatkala khotbah Jumat dihelat.

Khotib yang mapan akan keilmuan, peka terhadap kegelisahan zaman dan memiliki retorika yang baik dalam mengemas suatu persoalan setidaknya akan memancing rasa penasaran, menggaet ketertarikan dan menjaga kesadaran para jamaah yang mengikuti khotbah Jumat, entah itu mereka yang duduk di dalam ruangan ataupun yang ajeg di pelataran.

Model khotbah Jumat yang kontekstual dan syarat akan penafsiran terhadap realitas zaman ini saya temukan di masjid beberapa kampus, termasuk IAIN Tulungagung dan masjid besar Al-Husna Sumbergempol.

Ya memang benar, isi khotbah Jumat yang relatif segar dan memotret permasalahan yang sedang dihadapi oleh khayalak ramai itu lebih terasa "ngeh" dan gereget untuk didengar. Bahkan tak jarang pula, karena merasa berhasil menangkap makna utuh dari khotbah Jumat yang disampaikan itu perasaan pun terasa plong.

Lebih dari itu, dengan memahami isi khotbah Jumat yang bernafaskan kontekstual, terkadang rentetan ide pun seringkali bermunculan. Rasa-rasanya materi yang disampaikan itu sangat tidak layak untuk diabaikan. 

Terlebih lagi, sangat sayang bila nasibnya harus sekadar menguap di permukaan. Justru poin-poin penting itu harus sesegera mungkin diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Coba saja kita bayangkan, tatkala semua jamaah salat Jumat itu berhasil menangkap makna utuh isi khotbah yang disampaikan, kemudian mereka merasa tertampar dan tersadarkan, hingga akhirnya memutuskan diri untuk berubah, karakter pribadinya menjadi lebih baik.

Selanjutnya Ia pun merasa terpanggil untuk menyampaikan materi itu kepada khalayak ramai yang secara sengaja dijumpainya. Entah itu tatkala cangkrukan di warung kopi, tatkala berkunjung ke sanak famili atau karib-kerabat, hingga di tempat kerja mereka sekalipun. 

Kiranya sudah berapa banyak perubahan yang terjadi? Belum lagi jika masing-masing mereka mengunggah materi itu ke media sosial, mungkin akan lebih banyak lagi orang-orang yang tercerahkan.

Seandainya itu terjadi, mungkin telah berabad-abad silam kita menjadi pribadi yang lebih baik. Setidaknya masing-masing pribadi kita tidak menjadi sosok yang gampangan dalam menelan informasi dan mudah terbawa-bawa aliran sungai yang kita sebut toxic dalam beragama.

Jika kita meminjam istilah Fauzan Soleh sebutkan saja itu dengan paham radikalisme. Sementara jika kita meminjam istilah Karl Marx, sebutkan saja agama sebagai candu. Candu seperti apa? Candu yang justru melulu membelenggu manusia untuk berusaha mencapai usahanya yang maksimum.

Di mana manusia tidak melulu diiming-imingi bayangan surga dan neraka, ganjaran-pahala dan dosa tatkala manusia hendak melangkah lebih jauh dalam mencapai keutamaan hidupnya. Termasuk di dalamnya berusaha menempatkan hati, akal dan nurani dalam mengahadapi kegandrungan realitas sosial yang semakin edan ini.

Bagaimanapun sangat tidak elok, apabila kita hendak menggunakan akal pikiran sebagai pendekatan dalam mengkaji sesuatu permasalahan lantas disebut bid'ah. Mungkin kita telah lupa bagaimana sekte Mu'tazilah yang sempat mewarnai kontestasi aliran Kalam dalam tubuh islam di masa silam.

Bagaimanapun sangat kemaruk, apabila ada golongan yang menyebutkan dan mengkafir-kafirkan NKRI yang menggunakan sistem pemerintah demokrasi dan berpedoman pada Pancasila sebagai ideologi negara di tengah-tengah ketegangan zaman sekarang ini.

Mungkin mereka lupa bahwa sistem pemerintah dalam Islam sendiri bukan hanya khilafah, melainkan berganti-ganti. 

Bahkan bila dipotret lebih detail lagi, yang tampak jelas justru sistem pemerintahan yang bersifat kontekstual sekaligus tidak pernah lepas dari sengkarut politik "kedinastian".

Konteks khotbah Jumat dalam menghadapi carut-marut pusaran zaman, sejatinya dapat dijadikan sebagai ajang evaluatif, media yang efektif dalam menumbuhkan kesadaran, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta ajang muhasabah diri massal yang berkelanjutan.

Seandainya, materi-materi khotbah itu dirancang sedemikian rupa untuk mengkonstruksi persamaan pikiran, tujuan dan kesadaran guna peradaban yang lebih baik dalam segala aspek, bukankah itu  memungkinkan? Bukankah salah satu rukun khotbah Jumat itu adanya wasiat dari sang Khotib?

Itu berarti peran sang Khotib tidak jauh berbeda dengan kalangan Brahmana. Kalangan yang benar-benar teristimewakan dan memiliki kuasa dalam hal mengendalikan massa. Bukankah demikian?

 
Tulungagung, 8 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun