Bagaimanapun Khotib dapat digolongkan sebagai agen of change dalam cakupan wilayah kecil. Termasuk salah satu orang yang sepanjang pembicaraannya didengar oleh banyak orang, kecuali segelintir orang yang memang hobinya tidur tatkala khotbah Jumat dihelat.
Khotib yang mapan akan keilmuan, peka terhadap kegelisahan zaman dan memiliki retorika yang baik dalam mengemas suatu persoalan setidaknya akan memancing rasa penasaran, menggaet ketertarikan dan menjaga kesadaran para jamaah yang mengikuti khotbah Jumat, entah itu mereka yang duduk di dalam ruangan ataupun yang ajeg di pelataran.
Model khotbah Jumat yang kontekstual dan syarat akan penafsiran terhadap realitas zaman ini saya temukan di masjid beberapa kampus, termasuk IAIN Tulungagung dan masjid besar Al-Husna Sumbergempol.
Ya memang benar, isi khotbah Jumat yang relatif segar dan memotret permasalahan yang sedang dihadapi oleh khayalak ramai itu lebih terasa "ngeh" dan gereget untuk didengar. Bahkan tak jarang pula, karena merasa berhasil menangkap makna utuh dari khotbah Jumat yang disampaikan itu perasaan pun terasa plong.
Lebih dari itu, dengan memahami isi khotbah Jumat yang bernafaskan kontekstual, terkadang rentetan ide pun seringkali bermunculan. Rasa-rasanya materi yang disampaikan itu sangat tidak layak untuk diabaikan.Â
Terlebih lagi, sangat sayang bila nasibnya harus sekadar menguap di permukaan. Justru poin-poin penting itu harus sesegera mungkin diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Coba saja kita bayangkan, tatkala semua jamaah salat Jumat itu berhasil menangkap makna utuh isi khotbah yang disampaikan, kemudian mereka merasa tertampar dan tersadarkan, hingga akhirnya memutuskan diri untuk berubah, karakter pribadinya menjadi lebih baik.
Selanjutnya Ia pun merasa terpanggil untuk menyampaikan materi itu kepada khalayak ramai yang secara sengaja dijumpainya. Entah itu tatkala cangkrukan di warung kopi, tatkala berkunjung ke sanak famili atau karib-kerabat, hingga di tempat kerja mereka sekalipun.Â
Kiranya sudah berapa banyak perubahan yang terjadi? Belum lagi jika masing-masing mereka mengunggah materi itu ke media sosial, mungkin akan lebih banyak lagi orang-orang yang tercerahkan.
Seandainya itu terjadi, mungkin telah berabad-abad silam kita menjadi pribadi yang lebih baik. Setidaknya masing-masing pribadi kita tidak menjadi sosok yang gampangan dalam menelan informasi dan mudah terbawa-bawa aliran sungai yang kita sebut toxic dalam beragama.
Jika kita meminjam istilah Fauzan Soleh sebutkan saja itu dengan paham radikalisme. Sementara jika kita meminjam istilah Karl Marx, sebutkan saja agama sebagai candu. Candu seperti apa? Candu yang justru melulu membelenggu manusia untuk berusaha mencapai usahanya yang maksimum.