Belakangan ini saya tidak sempat mengunggah tulisan di website langganan. Terhitung sudah empat hari coretan kecil buah pena saya tidak nangkring di laman akun media sosial. Entah itu di blog, di Facebook, Twitter maupun Instagram. Tak terkecuali di story WhatsApp, sepatah-dua patah kalimat lebih konsisten mengimbangi foto terpajang.
Untuk lebih mudah mengingatnya, sebutkan saja keadaan lengang itu dengan mandul. Maaf-maaf saja, mandul di sini bukan berarti satire ataupun nyinyir ala netizen. Melainkan hanya penyomotan istilah untuk menegaskan suatu keadaan yang tak sesuai dengan kehendak untuk mewujudkan keistikamahan menulis.
Eh, maaf pula sebelumnya, anda tahu kan apa yang disebut mandul? Kalau kita menilik makna dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mandul diartikan tidak dapat mempunyai anak; majir. Atau dalam bahasa ibu saya menyebutkan keadaan itu dengan bajir atau gabug (red; bahasa Sunda).
Bahkan di kampung saya, ada tradisi yang identik dengan keadaan bajir tau gabug. Di mana biasanya orang yang tidak mempunyai keturunan secara otomatis dititeli gabug di akhir panggilan akrabnya. Misalnya saja Mak gabung, pak gabug dan Alain sebagainya.
Oke, kembali fokus pada kemandulan saya. Eh, membaca kalimat pertama itu berkali-kali kok saya malah bergidik sendiri ya. Hiiihh. Baiklah kita ganti keadaan itu dengan istilah "kelengangan" saja yang nampak lebih netral dari stigmatif dan stereotip.
Hingga akhirnya, sampai di sini saya dibuat tertegun dengan kilas balik persimpangan ingatan tentang teori semiologi ala Roland Barthes.
Roland Barthes setelah membaca karya Ferdinand de Sussure "Cours de linguistique generale, menegaskan bahwa semiotik adalah bagian dari linguistik, sebab pada kenyataannya dalam bidang lain juga mengandung tanda-tanda yang disebut sebagai bahasa. Bahasa yang tampil berusaha mengungkapkan gagasan (suatu makna) dan itu secara pasti tersusun atas penanda-petanda dan tanda.
Polarisasi penanda-petanda dan tanda tersebut, menurut Barthes tidak lain tersusun atas dua tahapan. Tahapan pertama disebutkan dengan denotasi. Satu tahapan yang di dalamnya memuat pemaknaan yang lebih cenderung tertutup. Sehingga bahasa dalam tingkat ini lebih bersifat eksklusif, opresif dan hanya berlaku pada objek tertentu.
Dengan demikian, makna dalam tahapan denotasi ini sebenarnya lebih bersifat primer akan tetapi menjadi sesuatu hal yang menghalangi dan membatasi (masalah baru) tatkala digunakan pada ruang lingkup yang lebih luas. Keluar dari teritorial penanda dan petanda yang telah diberlakukan sebelumnya.
Sementara pada tahapan selanjutnya, Barthes menyebutnya dengan konotasi. Tahapan yang di dalamnya mengandung makna bahasa atas suatu objek bersifat skunder.
Atas dasar itu, pemaknaan atas bahasa terjadi dalam dua tahapan. Tanda yang di dalamnya memuat penanda dan petanda pada tahapan pertama selanjutnya menyatu hingga membentuk penanda pada tahapan kedua. Berikutnya penanda dan petanda yang telah menyatu tersebut membentuk petanda baru yang tidak lain adalah jelmaan perluasan makna.
Anda bingung ya? Sama, saya juga. Untuk lebih jelasnya mari kita ambil satu contoh. Manakala kita menyebut suatu kata maka dalam suara itu pula terdapat penanda yang disebut imaji bunyi. Selanjutnya melalui imaji bunyi tersebut menghubungkan kita pada konsepsi dasar dalam memori alam bawah sadar manusia tentang hal yang dimaksud. Hingga akhirnya, muncullah definisi dan pemahaman tentang objek tersebut secara detail.
Misalnya saja tatakala kita menyebutkan kata 'mawar', maka dalam sekejap mata suara itu mempunyai hubungan (relasi) dengan petanda yang terdiri dari konsep-konsep dasar atas mawar. Entah itu rekoleksi data yang menyebutkan mawar itu bunga yang berkelopak, tersusun rapi, harum memiliki warna indah, dan lain sebagainya.
Pemahaman dan kemampuan mendefinisikan khalayak tentang kata mawar inilah yang kemudian disebut perluasan bentuk atau makna sekunder oleh Barthes. Sementara sebutan khas bahasa daerah (bahasa ibu) yang digunakan untuk mawar disebut meta bahasa.
Tertegun itu telah usai. Kini kembali pada kelengangan yang hendak saya ceritakan. Kelengan itu sebenarnya tidak benar-benar dalam keadaan lengang. Loh bagaimana bisa? Pasalnya dalam kurun waktu empat hari itu nyatanya saya menemukan diri tetap menulis. Menulis satu-dua paragraf yang terfokus guna membayar utang tulisan di grup sebelah.
Kalau tidak percaya, silakan anda cek sendiri di aplikasi note yang ada di smartphone saya. Masih kekeh belum percaya? Silakan chat, nanti saya kirimkan screenshotnya via WhatsApp. Heuheu
Anehnya itu, kalau biasanya saya merasa tidak punya beban karena malas, menunda dan sengaja lupa untuk tidak menulis namun sekarang rasa-rasanya justru sebaliknya. Tidak menulis sehari saja rasanya menjalani aktivitas keseharian pun merasa kurang ngeh dan ada yang mengganjal, sebab ada satu hasrat yang belum terlampiaskan.
Semoga perasaan tidak ngeh dan mengganjal karena tidak menulis itu menjadi suatu tanda. Terdapat sesuatu hal yang menggembirakan di ujung perjuangannya.
Tulungagung, 10 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H