Sembilan puluh enam jam semarak raya bergulat dengan perputaran
Hari di mana Sang Khalik banyak mencurah perhatian
Menegaskan, setiap inci kemakhlukan ada dalam genggam kekuasaan
Utuh milik Tuhan, suka-suka kapan merenggut titipan
Dan manusia lupa kalau-kalau Dia tak pernah sudi terduakan
Sementara pernik dunia gemar memalingkan
Setiap wajah tidak lepas dari keterlenaan
Terus merengkuh gunung dalam gelagat keangkuhan
Pikirnya semua itu akan beralih tuan
Cukup untuk menyumpal jenis nafsu yang bernama ketamakan
Padahal, tak mesti bahagia menjelma kenikmatan
Menyoal banyak syukur yang diam-diam enggan kau utarakan
Pun duka sama halnya demikian
Tak melulu berkoar-koar tentang kepedihan
Dan manusia sibuk menggadai waktu singkat mengejar-ngejar kesempurnaan
Ah, mungkin dungunya keterlaluan
Dan kau serta-merta melupa bahwa Tuhan juga pemilik rasa kecemburuan
Mungkin kau bisa memulih ingatan tentang seruan
Bagaimana Nabi Ibrahim as mengorbankan Ismail as di lembah perbukitan
Kun fayakun sekejap terhiyak dalam kekalutan
Histeris Sayidah Hajar dalam kekecewaan
Masih saja mereka dirangkul ketidakpercayaan
Apadaya titah itu takan pernah mampu terelakkan
Terlebih-lebih bagi manusia pilihan teristimewakan
Namun, apa susahnya merelakan? Jika semua bermula dari ketiadaan
Ketakutan apa yang membuat kita tergolong kaum kikir yang kesekian?
Bukankah Pemilik hidup itu yang melontar permintaan?
Dan Sahaya harus sigap menyediakan
karena mahabah-nya meliput setiap detak kehidupan
Dalam perbaringan itu pisau siap terhunuskan
Suasana terhias panjang sesenggukan
Seekor domba yang kini ada di hadapan
Dan ini permulaan dari Sunnah penyembelihan
Yang mewaris hingga Nabi akhir zaman
Lantas apa iya hakikatnya sebatas pemujaan?
Bukan, bebalmu setidaknya sekarang mulai harus kau singkirkan!
Kepongahan diri dalam lancang itu yang hendak disirnakan
Mengebiri ruang-ruang rasa kepemilikan
Menebar kasih sebagai tanda kepedulian
Pikirmu Tuhan tak pernah menahu apa yang kau lakukan?
Selama ini kau pandai memancing keroncong perut dalam pengacuhan
Kau mencemooh mereka dengan suara piringmu yang menggiurkan
Decak tawamu berdiri di atas pilu keputusasaan; antara sekantong keresek kecil daging kurban dan kelaparan
Masihkah engkau kaum elit mau berkelit-kelit
Sementara hobi barumu menunggang sepeda harga selangit
Menjadikan gaya hidupmu layaknya atlit
Lantas, apa iya Pandemi ini hendak mendefinisikanmu golongan Korun si pelit?
Tulungagung, 1 Agustus 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H