Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar sejati, penulis dan pegiat literasi

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Usia

12 Juli 2020   08:39 Diperbarui: 12 Juli 2020   08:33 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rahasia yang terbenam dalam wujudiyah angka-angka
Konsepsi akut yang berjenis kelamin logika
Kental akan urusan nalar yang dipuja-puja
Mencercah semua anasir yang nampak terindera

Dan nyatanya merebah kemana-mana
Tak ada sedikitpun celah jendela teruntuk sirna menguap ke angkasa
Melupa dari konsonan pertautan ekspresi wajah aritmatika
Tak ada seperinci pun bagian dari nafas kehidupan yang lepas dari jeratan hisab matematika
Bak anastomosis yang tak dapat dipisahkan dari denyut nadi manusia

Ah, sialnya semua telah jauh mengena
Di sinilah gagasan besar Phytagoras sedang berkuasa
Gencar terngiang-ngiang, bergelayutan di kepala
Semboyan autos epha lihai melumat diri persis tanpa sisa
Merapal tetraktys sakral sebagai mantra ampuh yang menuntut diamini umat manusia

Sementara aku mematung mendengar sepenggal cerita tentang hestia
Helio-sentris yang dijadikan anak angkat Kopernikus menafsirkan alam semesta
Meski naas itu adalah takdirnya
Namun, dalam kabung itu aku tidak dapat menyembunyikan suka
Berjingkrak ria, berjabat tangan dengan mathematikoi dan akusmatikoi seketika

"Terlalu sarkastik bila deret bilangan itu kusebut jalan tempuh suluk berkhalwat dengan-Nya!"
Gumamku sembari menelan ludah tanpa suara
Gila, memang benar-benar telah hilang kewarasannya
Peranjatku dalam cengkram lamunan bawah sadar bangunan kongruen persegi panjang bercampur segitiga

Lantas, bagaimana mungkin aku menjadi pengikutnya?
Bagaimana mungkin aku menjadi pengagung doktrinnya?
Bagaimana mungkin aku menjadi matematikawan dengan madzhab akusma?
Sementara aku penggemar berat tumis buncis tanpa kuah di meja

Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata nasabiyah Phytagorean itu kekal eksistensialnya
Telah merasuk menjadi warisan budaya
Di mana orang-orang menjadikan perhitungan angka begitu penting dalam rangkaian acara
Tersematkan sempurna dalam segala kebaikan dan kejelekan yang ada

Tidakkah engkau percaya?
Lihat, lihatlah bagaimana cara kita menandai hari kelahiran
Menyakralkan hari pacaran, pernikahan dan kematian
Bahkan kita kerap menenggelamkan angka-angka itu dalam ritus selamatan
Menghubung-hubungkannya dengan jamuan perayaan
Sementara temaram cahaya penanda terselipnya harapan

Sampai di sini, izinkalah aku bertanya,
Sejauh manakah kedalaman lekuk ingatanmu sepanjang usia?
Adakah  pengalaman hidup yang benar-benar membekas dalam kencangnya gejolak pikiran yang bermuara?
Bukankah orang-orang menjadi perompak handal dikala hari kelahiranmu tiba?
Melulu gratisan apa-apa yang diminta

Pikirnya, perayaan menambah usia itu harus disambut penuh bahagia
Terlanggengkan dalam kue bertengger lilin bersorak gembira
Bukan, bukan carut-marut tradisi itu yang kupinta
Bukan pula bejibun kado bermewah isian itu yang membuatku tergila-gila

Namun, dalam keheningan dan kesendirian itu yang kusuka
Orang-orang berjimbaku untuk sedang melupa
Toh, yang ada justru pengurangan jatah hidup di dunia itu yang kurasa
Sudah berkurang, apa masih mau tertiban anak tangga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun