Saya masih ingat pada kurun waktu 17 tahun lalu, bahwa tradisi-tradisi Jawa yang ditinggalkan oleh nenek moyang mampu menciptakan sebuah suasana baru bagi keluarga dan masyarakat setempat.Â
Menjelang Hari Raya Idul Fitri kurang satu hari masyarakat di Dusun Ngapus Desa Glagahan-Sugihwaras membuat setangkai kayu kecil dan dibungkus kain pada ujungnya disertai minyak tanah atau bisa disebut obor api, dan dinyalakan serentak ketika suara Adzan terdengar.Â
Biasanya satu warga sampai membuat 10-15 batang kayu untuk mempersiapkan tradisi Colok-colok Malam Songo, kegiatan tersebut salah satu dari tradisi yang sudah diwariskan oleh nenek moyang terdahulu.
Bedug telah terdengar dikedua telinga sebagai tanda masuknya sholat magrib, saya sengaja keliling Desa untuk melihat persiapan dan antusias masyarakat dalam mempertahankan tradisi Colok-colok malam songo, al-hasil-ternyata tidak ada satu pun dari mereka yang membakar setangkai kayu kecil berselimut kain dan bermandi minyak tanah.Â
Kemudian saya menghampiri seseorang yang duduk manis di bawah pohon mangga depan rumahnya, saya bertanya kepadanya, "Pak sakniki leres malam songo geh."? Yo mas,. Jawab bapak.! "Kok tiang-tiang mboten enten seng nyalake obor."? Mbuh yo mas, padahal tahun wingi ijek, mergo mbah sintrik wes gak nek lho. Jawabnya.
Nah, beginilah keadaan masyarakat akan lalai dengan tradisi-tradisi peninggalan nenek moyang, ketika sudah ditinggal dari salah satu orang di daerahnya yang diyakini sebagai sumber pengetahuan dalam ilmu jawa seperti halnya tradisi colok-colok malam songo, bancaan di perempatan jalan di lingkungan desa, dan melakukan ritual mandi sembilan kembang dimalam suro.Â
Mereka merasa tidak ada lagi yang ngejak dan ngobraki, karena seseorang yang dipercaya sudah meninggal beberapa tahun lalu, dia adalah mbah sintrik, mbah sintrik lahir pada tahun 1980 dan meninggal ditahun 2006 bukan karena sakit, karena usia yang sudah tidak lagi bisa setia, dia meninggal berusia 100 tahun lebih.Â
Aktivitas yang dijalani semasa hidupnya sebagai petani dan lebih khususnya melayani orang-orang yang sedang sakit, beliau mempunyai kelebihan dalam bidang pengobatan dengan menggunakan ilmu-ilmu jawa yang dimilikinya, makanya masyarakat menyebut beliau sebagai kyai Jowo yang disegani oleh masyarakat di sekitar dusun Ngapus.
Waktu menunjukan pukul 18.15 saya segera pulang untuk menyantap hidangan yang sudah disiapkan oleh adik untuk berbuka puasa bersama keluarga. Sambil berbuka bareng bersama keluarga, sengaja saya bertanya kepada Mbah sariyem yang akan berumur 100 tahun kurang dari 3 tahun akan datang, beliau juga mengetahui persis bagaimana orang-orang jawa terdahulu melakukan sebuah tradisi, ketika belum cukup banyak permukiman di desa, hanya beberapa puluh saja.
Masyarakat Islam-Jawa menjalani sebuah tradisi Colok-colok Malam songo atau menyalakan obor api waktu menjelang Magrib ditandai dengan adanya suara Bedug dari arah Masjid atau Mushola setempat.