Indonesia memiliki kawasan hutan yang luas. Menurut FAO UN (Food and Agriculture Organization of the United Nations), Indonesia menduduki peringkat ke delapan negara dengan kawasan hutan terluas di dunia. Hal ini menjadikan Indonesia kaya akan sumber daya alam yang berasal dari hutan. Misalnya, berbagai jenis kayu sebagai keanekaragaman dari suatu hutan dan lahan yang bisa dijadikan lahan pertanian, kawasan pemukiman, kawasan industri, atau perkebunan jika dialihfungsikan. Dengan melimpahnya sumber daya alam dan status Indonesia sebagai negara berkembang, hutan tidak bisa lepas dari pemanfaatan dan pengeksploitasian yang berujung pada deforestasi.
Di samping sumber daya hutan, Indonesia juga memiliki sumber daya alam bahan tambang yang besar. Indonesia berhasil memproduksi 687,4 juta ton batu bara, 98,2 juta ton nikel, 3,3 juta ton tembaga, 57,7 ribu ton timah, dan 85, 2 ton emas sejak 2018 hingga 2022 (BPS, 2023). Bahan-bahan tambang ini hanya bisa didapatkan dengan melakukan penggalian tanah dan menggunduli hutan yang ada di atasnya. Sayangnya, hasil produksi barang tambang ini tidak diolah, tetapi dijual mentah. Sejauh ini hanya nikel yang diolah menjadi setengah jadi atau jadi sebelum diekspor. Bisa dibilang Indonesia melakukan deforestasi demi menjual bahan tambang mentah.
Jika disimpulkan dari sumber daya alam hutan dan sumber daya alam bahan tambang, ada dua pelaku deforestasi yang bisa disimpulkan, yaitu masyarakat lokal sekitar hutan itu sendiri dan perusahaan. Masyarakat lokal yang melakukan perusakan hutan tanpa memperhitungkan efek jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sementara itu, perusahaan melakukan hal tersebut karena melihat adanya peluang dalam hal sumber daya alam dan perdagangan internasional.
Akan tetapi, di sisi lain kegiatan produksi perusahaan meningkatkan pendapatan negara dan menyumbang kontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Selain itu, populasi yang besar (keempat terbesar di dunia) juga membutuhkan lapangan pekerjaan agar tetap bisa melakukan kegiatan konsumsi. Terbukanya lapangan pekerjaan dari perusahaan-perusahaan ini juga dapat mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa ada trade off atau pengorbanan yang dilakukan antara mempertahankkan angka luas hutan dengan pertumbuhan ekonomi.Â
Selain dari perusahaan-perusahaan dalam negeri, perusahaan luar negeri juga tertarik untuk melakukan investasi atau penanaman modal di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan oleh melimpahnya sumber daya alam dan peluang dari sifat negara berkembang yang dimiliki Indonesia, yaitu pemanfaatan teknologi yang masih kurang maksimal, pengembangan ilmu pengetahuan yang masih sedikit, kurangnya kualitas SDM, dan penambahan modal yang dihasilkan dari penanaman modal. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa investasi asing atau Penanaman Modal Asing (PMA) dapat membuka lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan penerimaan negara.
Ada dua teori yang mencetuskan hubungan antara Penanaman Modal Asing (PMA) dan kerusakan lingkungan, yakni Pollution Haven Hypothesis dan Pollution Halo Hypothesis. Pollution Haven Hypothesis mengatakan bahwa negara-negara maju memindahkan tempat produksinya ke negara berkembang yang memiliki regulasi yang lebih longgar terkait dengan lingkungan karena regulasi di negara-negara maju lebih ketat dan harga produksi energinya lebih tinggi. Teori ini mungkin untuk terjadi mengingat negara berkembang tidak memiliki SDM dan infrastruktur yang memadai sehingga melonggarkan regulasinya untuk menarik PMA. Bisa dibilang ini adalah pengorbanan yang dilakukan negara berkembang agar mendapatkan tambahan modal.Â
Hal yang sedikit berbeda diungkapkan oleh teori Pollution Halo Hypothesis. Teori ini mengatakan bahwa negara-negara maju berusaha untuk menanamkan modal mereka di negara lain yang memiliki standar dan regulasi yang ketat terkait dengan lingkungan dengan menawarkan teknologi ramah lingkungan untuk kegiatan produksi. Teori ini akan tercipta jika negara tujuan investasi memiliki pengembangan teknologi yang belum semumpuni negara yang ingin menanamkan modal dan negara tujuan investasi memiliki kekuatan finansial yang sangat kokoh.Â
Di sisi lain, ada teori yang mengungkapkan bahwa ada tiga tahapan yang harus dilalui sebelum terciptanya hubungan negatif antara kegiatan produksi dan kerusakan lingkungan. Teori ini dikenal dengan Teori EKC (Environmental Kuznets Curve). Tahapan pertama dinamakan dengan tahapan pre-industrial economies. Pada tahap ini, strukrur ekonomi masih didominasi oleh kegiatan pertanian yang mendapatkan lahan dari pengalihfungsian hutan. Tahapan kedua dinamakan industrial economies. Tahap ini merupakan puncak dari kerusakan lingkungan akibat pertumbuhan sektor industri yang mengeksploitasi alam dan menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan. Pada tahap ini juga terjadi perubahan struktur ekonomi dari yang didominasi oleh pertanian menjadi didominasi oleh industri yang mengakibatkan kegiatan produksi masal dan peningkatan konsumsi. Setelahnya, masyarakat mulai sadar akan pentingnya kesehatan lingkungan dan bergeser ke sektor jasa. Akan tetapi, pergeseran tersebut menyebabkan peningkatan polusi karena peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi. Tahapan terakhir adalah post-industrial economies. Pada tahap ini, masyarakat sudah memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan dan pengeluaran untuk pemeliharaan lingkungan naik. Pada tahap inilah tercipta hubungan negatif antara kegiatan produksi dan kerusakan lingkungan.Â
Dapat disimpulkan bahwa hubungan negatif antara kegiatan produksi dengan kerusakan lingkungan mungkin untuk terjadi. Akan tetapi, saat ini Indonesia masih menyandang status negara berkembang yang memerlukan modal tambahan baik dari segi pengembangan teknologi, maupun sumber daya manusia. Bisa dibilang pelonggaran regulasi saat ini dan penanaman modal asing yang dilakukan saat ini adalah trade off atau pengorbanan jangka pendek terhadap deforestasi. Diharapkan, pemerintah dan masyakarat mulai menumbuhkan kesadaran akan pentingnya lingkungan dan mulai berubah sedikit demi sedikit menuju negara yang ramah untuk kelangsungan hutan Indonesia.Â