Mohon tunggu...
Mandalika Naurah
Mandalika Naurah Mohon Tunggu... Lainnya - Hai

Mari berteman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Clickbait Kerap Tipu Masyarakat, Perangi dengan Literasi Media

22 Juni 2021   16:10 Diperbarui: 22 Juni 2021   16:28 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://phintraco.com/

Perkembangan zaman membuat teknologi juga ikut berkembang pesat, termasuk di teknologi informasi dan komunikasi. Hal-hal kini menjadi lebih ringkas, dari telfon umum ke telfon genggam, dari berkirim pesan melalui surat sekarang bisa melalui Whatsapp atau media sosial lainnya, Penyebaran informasi pun telah berubah, masyarakat sudah jarang atau bahkan tak lagi membaca koran, mereka banyak mendapat informasi via digital. Hanya dibutuhkan gerakan satu jari agar masyarakat bisa mendapat informasi dari seluruh penjuru dunia.

Bepindahnya media cetak ke media online membawa beberapa pengaruh positif dan buruk. Informasi memang menjadi lebih mudah untuk didapat, asupan informasi yang diterima masyarakat sangat melimpah ruah, tetapi informasi yang disebarkan menjadi tidak tersaring. Banyak pemberitaan yang masuk begitu saja tanpa proses seleksi. Sayangnya, tak semua masyarakat Indonesia pandai dalam mencerna informasi, banyak juga yang menelan mentah-mentah walaupun hanya membaca judul yang dinilai kontroversial.

Dikarenakan kebutuhan akan informasi terus meningkat, media pun dituntut untuk terus memproduksi berita. Ditambah semenjak lahirnya UU No 40 th 1999 yang di dalam ayat 1 menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga nasional, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Media menjadi semakin bebas dalam berekpresi. Hal itu pula yang meyebabkan penulisan berita terkadang masih asal, dibumbui dengan judul yang kontroversi atau bisa disebut  dengan clickbait.

Clickbait sendiri adalah upaya untuk mendorong rasa ingin tau masyarakat, judul yang menarik akan membuat pembaca mengklik tautan tersebut. Semakin banyak klik, maka statistik data keterbacaan setiap artikel akan meningkat, dan berpengaruh pula pada pemasukan media, dari iklan misalnya.

Pada 13 Februari 2021, suarabogor.id mengeluarkan artikel dengan judul 'Janda Cianjur Hamil Tanpa Hubungan Seks : Angin Kencang Masuk Vagina Saya', dengan berita bahwa seorang gadis yang tiba-tiba melahirkan tanpa menyadari bahwa ia hamil. Secara medis, hal itu tidak mungkin terjadi, tetapi judul dari artikel tersebut seolah-olah memberi tau bahwa gadis tersebut benar-benar hamil melalui angin kencang dari alat kelaminnya. Masyarakat yang belum melek teknologi bisa saja mempercayainya, menghubungkan dengan hal-hal mistis atau hal lainnya. Artikel tersebut menuai kritik sampai akhirnya penulis mengganti judulnya. Judul lain yang tak kalah senasional adalah artikel pada Sabtu, 6 Februari 2021, 'Lagi Musim, Tren Gadis Berjilbab Tak Pakai BH, Netizen Istighfar Banget'. Itu adalah salah satu contoh dari sekian banyaknya clickbait yang dilakukan oleh media.

Apakah judul-judul tersebut pantas? Tentu tidak, tapi sudah pasti meraih banyak pembaca.

Fenomena clickbait ini sebenarnya merupakan bentuk baru dari jurnalisme kuning, yang mana merupakan pemberitaan bombastis, penuh sensasi, vulgar, bahkan sadistis, tidak hanya dari judul tapi juga melalui foto yang bisa menjadi dampak negative di masyarakat. Clickbait juga bisa menipu masyarakat, karena judul atau headline yang dilebih-lebihkan namun isi berita tidak sesuai dengan ekpektasi pembaca, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan ada konten clickbait yang berisi virus atau pencurian data pribadi. Bukan berarti tak ada konten clickbait yang memang menarik, tapi hanya saja memang sangat jarang ditemukan.

Setiap profesi memiliki kode etik yang mengatur, begitu pula dengan para jurnalis dan wartawan. Kode etik jurnalistik sangat penting untuk menjadi tolak ukur mana yang baik dan tidak baik, kasarnya agar wartawan maupun jurnalis tidak sembarangan dalam melakukan profesinya. Dalam kode etik jurnalistik yang telah diatur Dewan Pers tentang media siber pun mengatakan bahwa tidak boleh ada berita bohong, sadis, ataupun cabul. Penggunaan judul yang tidak sesuai dengan isi sama saja dengan menyebarkan berita bohong, fitnah, atau bahkan hoax.

Contohnya seperti beberapa berita entertainment tentang artis yang judulnya dipelintir sedemikian rupa sehingga akhirnya merugikan subjek pemberitaan itu sendiri, timbul fitnah, hujatan, dan berbagai ujaran kebencian terhadap artis yang diberitakan. Jika hal ini terjadi, maka subjek pemberitaan bisa saja menuntut media.  

Walaupun sudah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, rupanya tak membuat media jera. Perusahaan media tak ingin pusing-pusing memikirkan apa dampak yang diterima masyarakat, yang penting adalah bagaimana perusahaan mereka bisa bertahan di kencangnya arus perkembangan digital, pemasukan mereka terus berjalan lancar karena ada banyak orang yang harus hidup melalui hal tersebut. Saya yakin, wartawan pun sebenarnya ditekan oleh keadaan, memutar otak bagaimana caranya menghasilkan banyak berita dan banyak pembaca namun sayangnya, kuantitas tersebut tidak dibarengi dengan kualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun