Mohon tunggu...
Manda Gloria
Manda Gloria Mohon Tunggu... Petani - "Setiap kebaikan perlu diabadikan"

"Menulislah! Untuk perubahan."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gambaran Islam dalam Melayani Ibadah Haji

17 Juni 2021   10:41 Diperbarui: 17 Juni 2021   10:45 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Islam dibangun atas lima perkara; kesaksian bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; haji dan shaum Ramadhan." (HR al-Bukhari).

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Dalam Islam, melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban yang agung. Sebuah kewajiban ibadah yang bersumber dari Allah Swt. atas kaum Muslim (TQS Ali Imran [3]: 97). Siapa yang mengingkari kewajiban haji, dia termasuk golongan orang yang kafir. Bahkan Allah tidak memerlukan orang tersebut (Tafsir Ibnu Katsr, 2/84).

Kewajiban melaksanakan ibadah haji cukup dilakukan sekali seumur hidup. Adapun yang termasuk syarat wajib, yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, dan mampu (Istitha'ah). Sedangkan yang dimaksud batas kemampuan di sini adalah mampu badaniyah, maliyah dan amaniyah (Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adilatuhu, 3/25).

Mampu secara badaniyah berarti sehat sehingga mampu menempuh perjalanan dan bisa melaksanakan semua rukun haji dengan sempurna. Sedangkan mampu secara maliyah adalah adanya kecukupan harta untuk berangkat ke Tanah Suci dan kembali ke negeri asalnya, untuk bekal perjalanan serta untuk keluarga yang wajib dinafkahi. Bagi kaum muslim yang tidak mampu tidak memiliki kewajiban hingga ia memiliki harta yang mencukupi.

Adapun mampu secara amaniyah (keamanan) ialah terjaminnya keamanan calon jamaah haji baik dari gangguan penjahat seperti perampok, begal, ataupun peperangan. Aman pula dari gangguan alam seperti badai di lautan, juga wabah penyakit yang berbahaya. Apabila ada kondisi yang merintangi dan mengancam tidak bisa dihilangkan, maka hal itu bisa jadi pembatal syarat istitha'ah dalam berhaji. Alasan keamanan ini pula yang menjadi salah satu faktor dibatalkannya calon jamaah haji tahun 2021. Padahal Arab Saudi sebagai pelaksana sudah memberi izin pada beberapa negara untuk berkunjung. Artinya ketidaksiapan itu berasal dari negara kita sendiri.

Dalam sejarah pernah juga terjadi pembatalan haji sampai beberapa kali, misalnya karena wabah pada tahun 1814, tahun 1837 dan kolera tahun 1846. Namun hal itu tidak mengubah status hukum ibadah haji, yakni wajib bagi yang mampu. Oleh karena itu, negara yang berfungsi sebagai pengurus rakyat wajib mengurus pelaksaan ibadah haji dan keperluan jamaah haji sebaik mungkin.

Sabda Nabi saw.:

"Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari)

Tercatat dalam sejarah seberapa besar perhatian dan pelayanan yang diberikan para khalifah kepada jamaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani dengan sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah. Pelayanan itu dilakukan tanpa ada unsur bisnis, investasi atau mengambil keuntungan. Melainkan hanya karena sebuah kewajiban yang harus dijalankan oleh negara.

Adapun langkah yang dilakukan meliputi:

Pertama, Khalifah menunjuk pejabat khusus untuk memimpin dan mengelola pelaksanaan haji dengan sebaik-baiknya. Mereka dipilih dari orang-orang yang bertakwa dan cakap memimpin. Rasulullah saw. pernah menunjuk 'Utab bin Asad, juga Abu Bakar ash-Shiddiq ra., untuk mengurus dan memimpin jamaah haji. Rasulullah saw. juga pernah memimpin langsung pelaksanaan ibadah haji pada saat Haji Wada'.

Kedua, Jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), maka nilainya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jamaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci. Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri'ayatu syu'un al-hujjaj wa al-'ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda.

Ketiga: Khalifah berhak untuk mengatur kuota haji dan umrah. Dengan itu keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jamaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan: (1) Kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup; (2) Kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jamaah yang belum pernah haji, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Dengan begitu antrian panjang haji akan bisa dipangkas karena hanya yang benar-benar mampu yang diutamakan.

Keempat: Khalifah akan menghapus visa haji dan umrah. Sebab dalam sistem Khilafah, kaum Muslim hakikatnya berada dalam satu kesatuan wilayah. Tidak tersekat-sekat oleh batas daerah dan negara, sebagaimana saat ini. Seluruh jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru Dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum Muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukm[an] maupun fi'l[an].

Kelima: Khalifah akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dengan begitu faktor-faktor teknis yang dapat mengganggu apalagi menghalangi pelaksanaan ibadah haji dapat disingkirkan sehingga istitha'ah amaniyah dapat tercapai.

Pembangunan sarana-prasarana haji mencakup sarana transportasi menuju Tanah Suci hingga tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Mina, Arafah, dsb. Semua itu dimaksudkan agar bisa menampung banyak jamaah serta dapat memberikan kemudahan dan kenyamanan beribadah. Khilafah Utsmaniyah, Sultan 'Abdul Hamid II kala itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji yang dikenal sebagai Hijaz railway. Bukan seperti saat ini, dimana mencuat kabar miring bahwa dana haji digunakan untuk infrastruktur yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ibadah haji.

Keenam: Pada masa pandemi atau wabah, Khilafah akan berusaha tetap menyelenggarakan haji dengan melakukan penanganan sesuai protokol kesehatan seperti menjamin sanitasi, menjaga protokol kesehatan selama pelaksanaan haji, pemberian vaksin bagi para jamaah haji, sarana kesehatan yang memadai, serta tenaga medis yang memadai.

Khilafah tidak akan menutup pelaksanaan ibadah haji, tetapi akan melakukan 3T (testing, tracing, treatment/pengetesan, pelacakan dan perlakuan) sesuai protokol kesehatan pada warga. Mereka yang terbukti sakit akan dirawat sampai sembuh. Mereka yang sehat tetap diizinkan beribadah haji. Menutup pelaksanaan haji dan umrah adalah tindakan yang keliru karena menghalangi orang yang akan beribadah ke Baitullah.

Nuansa pelayanan yang berikan oleh Islam dan kapitalis sangat berbeda. Karena dalam Islam, mereka benar-benar berkhidmat melayani tamu-tamu Allah sesuai dengan syariah Islam. Serta syariahlah yang dijadikan satu-satunya tumpuan bagi pelayanan para pemimpin. Bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah sebagaimana yang dilakukan oleh kapitalis. Pengurusan haji oleh negara bangsa kerap kali masih menimbulkan masalah turunan. Akibatnya, sering muncul konflik kepentingan dan kesemrawutan.[]*

*Disarikan dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun