Mohon tunggu...
Manda Gloria
Manda Gloria Mohon Tunggu... Petani - "Setiap kebaikan perlu diabadikan"

"Menulislah! Untuk perubahan."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Taat Kunci Utama Menghadapi Corona

28 Maret 2020   10:29 Diperbarui: 28 Maret 2020   10:44 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap merupakan cermin dari pemikiran. Sedangkan kepanikan yang berlebihan dalam menghadapi cobaan merupakan bukti lemahnya ketakwaan. Seperti kasus yang tengah terjadi saat ini. Ketika pandemi wabah Convid-19 telah menyebar ke berbagai negara. Tak terkecuali di negeri ini.

Efek pandemi wabah Comvid-19 telah menimbulkan panic buying. Apakah panic buying itu? Panic buying adalah penimbunan barang yang dilakukan oleh konsumen  atau masyarakat ketika ada situasi tertentu yang dipandang gawat atau darurat. Di tengah penyebaran wabah Convid-19 yang hingga saat ini belum ditemukan obatnya.  

"Merebaknya virus corona mengakibatkan kita kehilangan untuk mengendalikan perasaan diri atau kehilangan sense of control. Dalam kondisi kehilangan sense of control, maka membeli secara berlebih itu mekanisme psikologis," kata Dicky selaku Ketua Pusat Krisis UI saat konferensi pers di Kantor BNPB, Jakarta, Minggu (22/3), (cnnindonesia, 22/03/2020).

"Secara psikologis, merebaknya virus corona menguatkan pikiran kita akan kematian. Ketika kita diingatkan tentang kefanaan tersebut, maka orang bisa menjadi lebih impulsif, termasuk impulsif pada membeli barang," pungkas Dicky.

Apalagi, bila ditambah dengan adanya informasi yang keliru, tidak akurat dan tidak meyakinkan yang berkembang di tengah ancaman virus mengakumulasi rasa takut setiap orang terhadap tindakannya dalam membeli barang.

Seperti yang dilansir kompas.com, 22/03/2020, pada Sabtu (21/03/2020), netizen Inggris ramai 'memarahi' orang-orang yang melakukan panic buying dan menimbun makanan karena memasuki fase karantina saat wabah virus corona.

Amarah warga Inggris di media sosial timbul ketika sebuah video yang diunggah seorang perawat yang kelelahan bekerja di rumah sakit dan bermaksud berbelanja di toko namun barang-barang yang dijual telah habis.

Keberadaan punic buying sangat merugikan. Bagaikan menerapkan hukum rimba di era modern. Siapa yang kaya dialah yang mendapatkan banyak stok makanan untuk bertahan. Sedangkan yang miskin harus rela kelaparan di tengah wabah yang mendera. Jika tak mati karena wabah maka dipastikan kematian datang akibat kelaparan.

Sebuah sikap yang mengedepankan egoisme semata. Lahir dari masyarakat individual buah penerapan kapitalisme. Sebuah ideologi yang mementingkan keuntungan. Tidak percaya akan adanya hari pembalasan.
Pantas saja pandangan mereka terhadap dunia adalah segalanya. Sehingga muncul punic buying, karena masih enggan menanggalkan kenikmatan yang selama ini dikecapnya. 

Berbeda dengan masyarakat Islam dalam menghadapai wabah mematikan. Ketakwaan menjadikan mereka kokoh menghadapi badai ujian. Tidak mudah panik dan gegabah dalam menghadapinya.  Apalagi sampai melakukan panic buying yang merugikan banyak orang. Karena Allah membenci sikap orang yang berlebihan dan melampaui batas. 

Memaksimalkan ranah yang bisa diupayakan dengan ikhtiyar  yang maksimal. Dengan upaya meningkatkan iman (mendekat kepada Allah) dan imun (makan makanan yang halal dan thayib serta hidup sehat). Kemudian memasrahkan segalanya kepada Allah. Karena tidak ada kematian yang datang kecuali jika ajal telah menjemput. Adapun virus Corona tidak akan mampu membuat kita sakit kecuali Allah telah mengizinkan. 

Namun, bukan berarti bersikap sembrono dengan mendatangi tempat wabah. Selain itu, adanya musibah memberikan hikmah tersendiri. Masyarakat mulai kembali pada amalan nafilah yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Seperti adab ketika bersih maupun batuk serta menjaga kebersihan yang merupakan bagian dari iman.  Bagi kaum muslim sendiri selain wabah yang mematikan ada hal yang lebih ditakutkan, yaitu kematian dalam kemaksiatan tanpa ada bekal untuk kehidupan yang kekal.

Tanggapan dalam menghadapi wabah memang berbeda-beda tergantung pemahaman yang dimiliki. Terutama yang berkaitan dengan iman terhadap sang pencipta. Sebagaimana terpapar dalam penjelasan di atas. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa sepintar apapun manusia tidak akan mampu mengalahkan Tuhan pencipta alam semesta. Oleh karenanya sudah seharusnya kita taat terhadap aturan yang dibuat-Nya.

Namun ketaatan akan sulit tercipta ketika masyarakatnya diikat oleh ikatan yang fasad dan tersekat oleh negara bangsa. Dengan akidah sekuler yang memandang segala hal berdasarkan manfaat. Serta memiliki tingkat kesadaran yang rendah.

Adapun ikatan yang shahih, ia ada dalam Islam. Sebuah ikatan yang berlandaskan akidah Islam. Melahirkan masyarakat yang khas. Sebuah masyarakat yang memiliki perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama, yaitu Islam. Melahirkan persaudaraan atas nama Islam tanpa memandang suku, ras, bahasa maupun bangsa. Sebuah masyarakat yang taat ketika diberi instruksi oleh kepala negaranya.

Oleh karenaya, syariat Islam bisa dijadikan barometer untuk mengahadapi wabah virus Corona. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. kemudian diikuti pula oleh para khalifah ketika menghadapi wabah yang dulu pernah mendera. Wallahu'alam bishshawab.[]

 
Oleh: Kunthi Mandasari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun