Mohon tunggu...
Mardianto Manan
Mardianto Manan Mohon Tunggu... Mengamati Kota Dan Daerah -

peduli kota dan wilayah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pacu Jalur: Pengunjung Teramai di Dunia Setelah Mekah

3 Oktober 2015   15:19 Diperbarui: 30 Agustus 2018   07:53 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pacu Jalur: Pengunjung Teramai di Dunia Setelah Mekah

Mardianto Manan

 

Setiap pertengahan tahun di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), tepatnya sekitar bulan Agustus, setiap tahunnya kota Teluk Kuantan selalu diramaikan dengan helat akbar yang menghadirkan banyak orang berkunjung ke Tepian Narosa Batang Kuantan, yang terletak di Jantung Kota Teluk Kuantan. Bahkan Orang Kuantan sering mengatakan tahun barunya Rakyat Kuantan, dengan menyebutnya dengan istilah tanbaru atau tahun baru.

Semua Masyarakat Kuantan Singingi berpesta pora dengan meriahnya, lebih meriah lagi dari hari raya besar ummat Islam di dunia, bahkan sempat Bung Sukarmis Sang Bupati Kabupaten tersebut, mangungkapkan pada Wakil Presiden Yusuf  Kalla, pada saat satu abadnya peringatan pacu jalur kuantan tahun2007 periode pertama Yusuf Kalla menjadi wakil presiden, sukarmis menjelaskan bahwa, keberadaan tentang ramainya pengunjung pacu jalur ini, merupakan pengunjung teramai nomor dua di dunia setelah Kota Mekah, katanya dengan serius, sang wakil presiden waktu itu hampir tidak percaya, tetapi setelah menyaksikan kedigdayaan pacu jalur ini, maka satu patah katapun yusuf kalla yang membantah pernyataan sang bupati fenomena ini. Sekarang pacu jalur telah dijadikan suatu kebudayaan sang maha karya asli buatan Indonesia, yang merupakan budaya asli, menyedot banyak orang dan melibatkan acara seremonial yang merakyat dan rasa kegotong royongan yang tinggi, sebagai ciri masyarakat Indonesia masa lalu.

Lantas bagaimana asal muasalnya, sehingga pacu jalur ini dapat menyedot pengunjung  nomor dua teramai di dunia ? Mengutip dari beberapa sumber, dapat dijelaskan bahwa asal muasal dari pacu jalur adalah pada awal abad ke-17, dimana jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Batang Kuantan. terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, kerambial, serta berfungsi untuk mengangkut orang, bahkan sampai sekitar empatpuluhan orang.

Perkembangan selanjutnya, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah (kepala ular, buaya, harimau, siposan rimbo dan kala jengking dll) baik di bagian lambung maupun selembayungnya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Kenapa ? karena hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias tersebut (Kompas, 2003).

Berangkat dari kemeriahan antar kampung, maka mulai diadakan lomba, untuk para juara lomba tidak ada peres (hadiah) yang diperebutkan, yang ada hanyalah acara makan bersama warga sekampung, dengan menu makanan tradisional setempat, seperti konji barayak, godok timbual, lopek jantan dan batino sakombuik godang, paniaram manso, lidah kambiang. 

Beberapa kampung ada juga yang menyediakan hadiah berupa marewa (bendera kain berwarna-warni berbentuk segi tiga dengan renda di bagian tepinya), yang diberikan untuk juara satu hingga empat, dengan perbedaan pada ukuran kainnya, biasanya lomba pacu jalur ini diadakan pada acara-acara kebesaran Islam

Belandapun mengakui kemeriahan pacu jalur ini, ketika mereka mulai memasuki kawasan Rantau Kuantan, tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, sekitar tahun 1905, mereka memanfaatkan acara pacu jalur itu untuk merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap 31 Agustus, dan akibatnya tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam, namun kegiatan pacu jalurnya sendiri baru diakomodir dan mulai menyediakan hadiah bagi para pemenangnya baru pada tahun 1903, makanya seabad pacu jalur jatuh pada tahun 2003 yang lalu.

Budaya yang tinggi

Dalam sebuah nukilan sejarah yang lain, pembuatan jalur ini dijelaskan bahwa, pertama kali jalur diadakan di Rantau Kuantan sejak abad 20, jalur yang aslinya dulu mempunyai panjang 25-30 m dengan lebar 1,5m, dengan muatan pemacunya sebanyak 40-65 orang. Dibuat dari pohon besar yang liat tapi ringan, berserat halus tapi tak lapuk, lurus tapi tidak tirus tak berlubang tapi tak bertingkah. Dengan besaran lingkaran sepemelukan 4 orang dewasa, tumbuh di tanah yang berani, pohon yang ber-roh, bermambang akarnya, batangnya dan bermambang pula pada pucuk daunnya.

Pertanyaannya pada saat ini, dimana posisi kita rang toluak kuantan, jakalau orang luar saja, demikian takjubnya dengan budaya jalur ini, bagaimana pula dengan kita ? Maka dari itu pelaksanaan pacu jalur ini dari tahun ketahun, harus kita lestarikan, hendaknya jangan dimodernkan, misalnya dalam bentuk hadiah yang terlalu mewah (motor, tv, mobil) cukuplah hadiah berupa produk buatan nagori ujuang tanah atau dari kampung  pakuciang misalnya  kabau atau jawi (kerbau dan sapi), kalau perlu tampilkan lagi peres berupa bendera-bendera kebesaran hadiah yang agung seperti jaman dahulu kala, mariam mansiu (meriam mesiu) tetap digunakan sebagai pertanda pacu jalur dimulai, jangan pula diganti dengan bodial balando (bedil belanda).

Standarisasi jalur harus mengikuti speknya, misalnya model kayu sabatang, tidak boleh disambung dengan papan  lembai-lembainya, semua ornamen harus dipenuhi, tukang onjai, timbo ruang, tukang kabiar, tukang tari, karena semua itu ada maknanya, untuk mengantisipasi kayu yang sudah punah ranah, ini juga perlu kita pikirkan bersama, amat penting bagaimana mempertahankan budaya ini agar tetap alami dan tradisonal.

Mendesak saat ini adalah rimbo larangan untuk bahan baku jalur perlu kita pertahankan, kalau perlu suruh para perusahaan yang sudah membabat hutan belantara kuansing, mengadakan pembibitan kayu-kayu jalur ini, agar jalur yang ada saat ini jangan menjadi dongeng sebelum tidur bagi anak cucu kita nanti.

Demikian pula disarankan agar Pemkab Kuantan Singingi, membuat museum jalur secepatnya, agar kenangan masa dituu tidak hilang begitu saja, kumpulkan semua pernak pernik jalur yang pernah ada (unik) tetapi bukan pakai “s” karena kalau pakai “s” maka itu adalah kampus kebanggaan kami rakyat Kuantan Singingi yaitu Universitas Islam Kuantan Singingi (UNIKS) yang tiada duanya.

Lantas buat daftar panjang para pemenang sedari dulu sampai pada yang ke seratus enam tahun ini, bahkan sampai saat ini untuk mengisi diaroma musium yang kita buat nantinya. Sehingga kenangan masa lalu kita terhadap kampung halaman tetap utuh, karena kalaulah kenangan lama tersebut tidak kita pulihkan, takutnya kita lupa dengan masalalu, seperti kasus hancurnya Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri, yang di buldoser menjadi pasar rakyat pada masa era bupati Asrul Jakfar sebelum periode Bung Sukarmis, maka hilanglah memori para guru-guru mantan siswa SPG tersebut, termasuk memori kita sebagai pemilik kota tua ini.

Saya waktu kecil menunggu oto pulang menonton pacu jalur selalu bertengger dibibir bukit samping SPG tersebut, namun sekarang sudah hilang dari album kenangan yang mengharu biru. Kalaulah memori kita sudah hilang, tentulah kita bakal jadi orang pikun, kalaulah pikun tontu la gilooo kitoo goo… 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun