Wahyu Dan Akal Sebagai Petunjuk Hidup
Oleh : Salamun Ali Mafaz
Addinu ‘aqlun la dinna liman la ‘aqla lahu
“Agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tidak mempunyai akal.”
“Sesungguhnya akal tidak bertentangan dengan wahyu, dengan akal wahyu dapat berfungsi menjawab persoalan-persoalan yang ada, karena itu dengan akal dimensi ijtihad akan semakin berkembang.” (Ibnu Rushd)
“Aku berpikir maka aku ada” (Rene Descartes)
Ketika masyarakat kota Mekkah sedang dilanda keterpurukan moral, dimana zaman jahiliyyah pada saat itu telah membuat tatanan moral bobrok dan terpuruk. Penindasan, perbudakan, diskriminasi, kerap mewarnai pemandangan kota Mekkah pada waktu itu. Melihat keadaan penduduk Mekkah yang tidak bermoral, maka Nabi Muhammad bersemedi (uzlah) ke gua Hira, merenung dan memikirkan keadaan penduduk Mekkah yang semakin rusak prilakunya.
Setelah beberapa hari bersemedi (uzlah), maka turunlah wahyu dari Tuhan berupa ayat al-Quran. “Iqra” wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad sebagai petunjuk hidup yang akan merubah peradaban manusia. Setelah Nabi menerima wahyu yang pertama, wahyu-wahyu selanjutnya turun secara bertahap dalam rangkaian ayat yang mampu menjawab pelbagai macam masalah. Disini peranan wahyu begitu penting sebagai petunjuk hidup manusia, wahyu sama sekali tidak akan pernah berfungsi jika tidak digunakan dengan akal sehat, wahyu turun untuk disampaikan kepada mereka yang berakal, sehingga dengan adanya wahyu akal berfungsi secara benar, bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, wahyu sebagai petunjuk akal, sebaliknya akal sebagai interpretasi penerapan wahyu secara benar.
Wahyu dan akal mempunyai peranan penting sebagai petunjuk hidup manusia, bukan saja sebatas ritual keagamaan semata, akan tetapi fungsi wahyu dan akal dapat digunakan lebih jauh dari sekedar itu. Dengan wahyu dan akal kita berharap peranan agama akan semakin terasa menyejukan, jauh dari tindakan kekerasan, karena kita yakini mereka yang melakukan tindak kekerasan sejatinya tidak memahami fungsi wahyu dan akal secara benar.
Membumikan Peranan Wahyu Dan Akal
Islam merupakan salah satu agama yang sangat menjunjung tinggi kebebasan berpikir. Karenanya Islam maju dengan pesat. Belajar dari pengalaman Yunani, Ibnu Rushd menganggap filsafat sebagai sesuatu yang penting dalam ajaran Islam. Bahkan ia setuju kalau berpikir dianggap sebagai kewajiban dalam agama. Hanya dengan cara tersebut uamt Islam dapat mempertimbangkan tindak-tanduknya agar menjadi relevan dengan spirit yang diusung oleh al-Quran, yaitu toleransi dan anti kekerasan. Manusia dihargai karena akal budinya. Sebaliknya, manusia akan jatuh pada lubang kehinaan bilamana akal budinya digantikan dengan kebencian, kebodohan, apalagi kekerasan.
Dengan peranan akal atmosfer berijtihad akan terus membara, karena ijtihad adalah ruh untuk menghidupkan Islam secara istiqamah. Tanpa adanya ijtihad yang telah diteladankan oleh Umar ibn Khattab dan para ulama maka Islam hanya akan menjadi sebuah tontonan bukan sebuah tuntunan. Bukankah ditangan Nabi al-Quran dapat memecahkan pelbagai macam masalah, karena al-Quran sendiri bukan hanya sebatas wahyu belaka akan tetapi sebuah tuntunan agar diterjemahkan kedalam nilai-nilai yang positif. Jalaluddin as-Suyuthi melalui bukunya al-Ijtihad: Al-Radd ‘ala man Akhlada ila al-Ardli wa Jahila anna al-Ijtihad fiy Kulli ‘Ashr Fardhun. Mengatakan, hanya mereka yang fanatik saja yang akan menolak keniscayaan ijtihad. Ijtihad adalah cara yang paling efektif untuk menghidupkan rasionalisme di dalam Islam. Tidak sebagaimana di dalam ideologi kaum agamawan konservatif yang meletakan rasionalisme hanya untuk membentengi dogma. Rasionalisme dipakai untuk melakukan reinterpretasi tafsir agama yang tidak relevav dengan semangat zaman. Jika dalam skriptualisme akal mesti ditaklukan dalam kehendak-kehendak harfiah teks agama, maka dalam progresivisme Islam akal bisa bersetatus sebagai nasikh terhadap hukum-hukum yang tidak membawa kemaslahatan. Ini misalnya salah satu yang dimaksudkan dalam kaidah ushul fikih. “jawaz naskh al-nushus al-juz’iyyat bi al-maslahat” (it is possible to abbrogate the particular verses by maslahat).
Ibnu Rushd dalam bukunya Fashl al-Maqal fiyma Bayna al-Hikmati wa as-Syariati min It-Ittishal mengatakan, sekiranya ada suatu ajaran yang ternyata bertentangan dengan rasio atau akal budi (al-burhan), maka tidak ada cara lain, kecuali bahwa ajaran tersebut mesti direformasi melalui medium takwil (wa in kanat al-syari’ah nathaqat bihi, fala yakhlu dhahir al-nuthq an yakuna muwafiqan lima adda illaihi al-burhan fihi, aw mukhalifan. Fain kana muwafiqan fala qawla hunalika. Wain kana mukhalifan, thuliba hunalika ta’wiluhu (hlm. 32). (wa nahnu naqtha’u anna kulla ma adda ilahi al-burhan wa khalafahu dhahir al-syar’i, anna dzalika al-dhahir yaqbalu al-ta’wil (hlm.3). Terinspirasi ajaran Ibnu Rushd ini, saya merumuskan suatu kaidah bahwa “in khalafa al’aqlu wa al-naql quddima al-‘aql bi thariq al-takhsish wa al-bayan”. (ketika terjadi pertentangan antara pendapat akal dan bunyi harfiah teks ajaran, maka yang didahulukan adalah pertimbangan akal dengan menggunakan jalan takhsish (spesifikasi ajaran) dan bayan (penjelasan rasional).