Pembentukan Joint Committee oleh Tim Task Force (TTF) AFC yang didukung FIFA, untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di persepakbolaan Indonesia, menjadi sia-sia. Pihak-pihak yang bersengketa, sejak awal, memang tidak berniat menyelesaikan masalah. Mereka menandatangani MoU, karena tidak punya pilihan lain, daripada dibekukan oleh FIFA.
Maka tidak heran, jika sejak awal, butir-butir kesepakatan dipelintir semaunya. Bahkan, ketika TTF AFC menegaskan lagi tentang posisi tim nasional dan dua liga pun, masih dipelintir. Masing-masing yang bersengketa dengan itikad buruknya, masih juga berjuang untuk mengelak dari tanggungjawabnya. Ironisnya, mereka semua bersembunyi di balik nasionalisme!
Yang lebih mengerikan lagi, persoalan-persoalan sederhana, diperumit demi memancing polemik di ranah publik. Pada saat yang bersamaan, opini di bangun di media-media pendukung mereka, sekehendak mereka pula, meski terkadang tidak masuk akal. Semuanya itu terlihat hanya demi untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing, tidak ada (sejauh ini tidak terlihat) niat mereka untuk menyelesaikan masalah.
Melihat kondisi ini, upaya apapun, dari pihak manapun, akan dicurigai sebegai keberpihakan. Jangankan KONI yang keberadaan sebagai komite olahraga nasional dipayungi oleh Undang-Undang No.3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional ( Bab VIII, pasal 36), upaya AFC dan FIFA melalui TTF dan pembentukan JC, sepertinya juga akan menguap begitu saja. Tanda-tandanya sudah terlihat, mulai dari wacana salah satu pihak ingin MoU dianulir, karena merasa tidak dipatuhi lawannya, hingga meluncurkan manuver soal eksistensi liga sebelah yang sudah disepakati dalam MoU . Sementara dari seberang menilai langkah JC terlalu lamban dan pasif.
Posisi JC sebagai penengah memang tidak ideal, karena tubuhnya berisi organ-organ dari kedua pihak yang bersengketa. Sehingga, upaya tarik-menarik demi meng-goal-kan kepentingan masing-masing, tidak bisa dielakkan. Hasilnya, semua informasi yang keluar dari JC tidak satu garis, simpang-siur, akibatnya publik awam sulit menentukan mana informasi yang benar dan yang salah. Legitimasi yang dimiliki satu pihak, tak lebih hanya dijadikan alat pembenaran, alat untuk menebar ancaman, dan ampuh untuk mencari perlindungan. Di pihak lain, posisinya sebagai oposan , dijadikan senjata untuk membuka celah kesalahan lawan, membangun perangkap di bibir jurang, dan membentuk opini pesakitan untuk menjaring simpatisan.
Inilah bagian terkotor dalam politik, yang entah kenapa, diusung ke arena sepakbola, yang notabene punya jargon sakral: Fair Play. Menjunjung tinggi sportivitas, bukan politikvitas!
Ya, jelas sekali, warna politiknya lebih mencolok terlihat, daripada corak olahraganya yang semakin bias. Para simpatisan kedua kubu, saling menghujat, saling membenturkan kata-kata provokatif (terkadang – maaf -- “tak layak baca”) di media online (termasuk Kompasiana ini), juga di media elektronik dan media cetak. Opini-opini publik di luar dari kedua kubu yang mencoba menyodorkan solusi awam, buru-buru diserang dengan argumentasi yang terkadang bias, yang sama sekali tak nyambung dengan pokok bahasannya. Itu masih lumayan, tak jarang malah direndahkan secara intelektual. Ini yang menyedihkan.
Kondisi persepakbolaan nasional kita tak hanya terpuruk karena peringkat FIFA –nya 170 (di bawah Bangladesh yang 169), tetapi juga sudah sampai pada titik mengkhawatirkan, yaitu berpotensi membelah semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Fakta sudah jelas, setidaknya, masyarakat sepakbola sudah terbelah menjadi tiga kelompok. Dua kelompok sudah jelas terbentuk dari kedua kubu yang berseberangan. Satu kelompok lagi adalah masyarakat yang benar-benar mencintai sepakbola sebagai olahraga murni. Kelompok ketiga inilah yang datang ke stadion hanya untuk menonton pertandingan sepakbola, tanpa peduli dari liga kelompok mana yang bertanding. Mereka inilah yang paling obyektif dalam memilih tontonan menarik bagi dirinya, tanpa bisa dipengaruhi oleh kelompok mana pun. Kelompok ini pula (yang saya yakin merupakan bagian terbesar dibanding dua kelompok lainnya), yang akan bereaksi secara tak terduga, jika terusik.
Keberadaan kelompok ketiga inilah yang sama sekali tidak pernah diperhitungkan oleh kedua kubu yang berseteru. Kedua kubu seperti tutup mata dan telinga atas kontribusi mereka dalam memenuhi atau mengosongkan stadion-stadion di seluruh pelosok tanah air. Jadi tidak benar jika ada satu kubu mengklaim bahwa liga mereka yang paling didukung masyarakat. Pendapat itu keliru. Kelompok ketiga ini, tidak menganggap penting operator liganya. Bagi mereka yang terpenting adalah “rasa” tontonannya sesuai dengan yang diinginkan atau tidak. Mereka adalah kelompok pembeli yang “saklek” . Enak dibeli, nggak enak yang ditinggalin, tanpa banyak omong dan protes.
Masih belum percaya? Bikin saja jejak pendapat, dan buktikan sendiri hasilnya….
Kekuatan kelompok ketiga ini sama sekali tidak terukur, tidak bisa diprediksi, mereka juga tidak provokatif, tidak terorganisir, bergerak serentak tanpa komando, mereka tidak akan demo turun ke jalan agar keinginannya dipenuhi. Tapi di balik itu, mereka punya kekuatan yang dahsyat untuk membuat stadion kosong atau penuh. Mereka punya daya yang kuat untuk menghentikan, atau sebaliknya, mengalirkan investasi ke klub-klub.
Mereka ini jumlahnya ratusan ribu, bahkan jutaan, dan tersebar hingga pelosok tanah air. Maka, tidak akan ada satu pun kekuatan yang mampu menghentikan langkah kelompok ketiga ini. AFC, FIFA, bahkan Presiden SBY sekalipun, tidak bisa memaksa mereka untuk datang dan pergi dari stadion. Tidak ada tangan yang sanggup menggerakkannya untuk memindahkan channel televisinya ke channel yang lain. Dan, jika stadion tidak ada lagi yang menarik buat didatangi, dan tayangan lokal membosankan, maka mereka akan menghabiskan akhir pekannya dengan tayangan Liga Eropa. “Tuan” mereka adalah hati nurani mereka sendiri. Mereka tidak peduli dicap sebagai pendukung kelompok A atau B. Sebab, yang terpenting bagi mereka adalah produk yang dihasilkan A atau B, sesuai atau tidak dengan keinginannya.
Banyak fakta yang membuktikan keberadaan kelompok ketiga ini. Bagi pecinta sepakbola sejati (yang hatinya tidak dilumuri warna kuning, merah, biru, atau warna pelangi sekali pun) pasti bisa melihat dan merasakannya secara nyata. Jika masih belum percaya, coba saja tanya pada hati nurani sendiri. Malah, jangan-jangan, hati nurani ada di kelompok ketiga, sedangkan raga dan nafsunya ada di kelompok satu atau dua…..?
Bagi kedua kubu yang berseteru, ayo mulailah perhitungkan keberadaan kelompok ketiga ini. Mereka memang tidak pandai protes, tidak pandai beropini, mereka juga tidak pandai menghujat. Tapi mereka pandai memilih, mereka punya daya beli yang tinggi, dan mereka punya banyak pilihan di luar sana. Mereka tidak bisa dibohongi, mereka tidak akan terpengaruh, meski Anda-Anda semua membayar juru kampanye paling hebat sedunia sekalipun! Mereka sangat percaya pada diri sendiri, sangat loyal pada rasa yang keluar dari dalam dirinya. Sebab rasa tidak pernah bohong. Tidak ada garam berasa gula?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H