Mohon tunggu...
A. Rahman Musawa
A. Rahman Musawa Mohon Tunggu... -

Saya adalah mantan wartawan yang suka nonton bola

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Tak Ada Garam Berasa Gula …

11 Oktober 2012   12:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:56 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembentukan Joint Committee oleh Tim Task Force (TTF)  AFC  yang didukung FIFA,  untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di persepakbolaan Indonesia, menjadi sia-sia.  Pihak-pihak yang bersengketa,  sejak awal, memang tidak berniat menyelesaikan masalah. Mereka menandatangani MoU, karena tidak punya pilihan lain,  daripada dibekukan oleh FIFA.

Maka tidak heran, jika sejak awal, butir-butir kesepakatan dipelintir semaunya. Bahkan, ketika TTF AFC menegaskan lagi tentang  posisi tim nasional dan dua liga pun, masih dipelintir. Masing-masing  yang bersengketa  dengan itikad buruknya, masih  juga berjuang untuk  mengelak dari tanggungjawabnya. Ironisnya, mereka semua bersembunyi di balik nasionalisme!

Yang lebih mengerikan lagi, persoalan-persoalan sederhana,  diperumit demi  memancing polemik  di ranah publik.  Pada  saat yang bersamaan, opini di bangun di media-media pendukung mereka, sekehendak mereka pula,  meski terkadang tidak masuk akal.  Semuanya itu  terlihat hanya demi untuk mempertahankan eksistensinya masing-masing,  tidak ada  (sejauh ini tidak terlihat)  niat mereka untuk menyelesaikan  masalah.

Melihat kondisi ini, upaya apapun, dari pihak manapun, akan dicurigai sebegai keberpihakan. Jangankan  KONI yang keberadaan sebagai  komite  olahraga nasional dipayungi oleh Undang-Undang No.3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional ( Bab VIII, pasal 36), upaya  AFC dan FIFA melalui TTF dan pembentukan JC,  sepertinya  juga akan menguap begitu saja. Tanda-tandanya sudah terlihat, mulai dari wacana salah satu pihak ingin MoU dianulir, karena merasa tidak dipatuhi lawannya, hingga meluncurkan manuver  soal eksistensi liga sebelah yang sudah disepakati dalam MoU . Sementara dari seberang menilai  langkah JC  terlalu lamban dan pasif.

Posisi JC sebagai  penengah memang tidak ideal, karena  tubuhnya berisi organ-organ dari kedua pihak yang bersengketa.  Sehingga, upaya tarik-menarik  demi meng-goal-kan kepentingan masing-masing, tidak bisa dielakkan.  Hasilnya,  semua  informasi yang keluar dari JC tidak satu garis, simpang-siur,  akibatnya publik awam sulit menentukan mana   informasi yang benar dan yang salah. Legitimasi yang dimiliki satu pihak, tak lebih hanya dijadikan alat pembenaran,  alat untuk menebar ancaman, dan ampuh untuk mencari perlindungan.  Di pihak lain,  posisinya sebagai oposan ,  dijadikan senjata untuk membuka celah kesalahan lawan, membangun perangkap di bibir jurang, dan membentuk opini pesakitan untuk menjaring simpatisan.

Inilah bagian terkotor dalam politik, yang entah kenapa, diusung  ke arena  sepakbola, yang notabene punya jargon sakral: Fair Play. Menjunjung tinggi sportivitas, bukan politikvitas!

Ya,  jelas sekali, warna politiknya   lebih mencolok terlihat,  daripada corak olahraganya yang semakin bias.  Para simpatisan kedua kubu,  saling menghujat,  saling membenturkan kata-kata   provokatif  (terkadang – maaf --  “tak layak baca”) di media online (termasuk Kompasiana ini), juga di media elektronik dan media cetak.  Opini-opini publik di luar dari kedua kubu  yang mencoba  menyodorkan solusi awam, buru-buru diserang dengan argumentasi yang terkadang  bias,  yang sama sekali tak nyambung dengan pokok bahasannya.  Itu masih lumayan,  tak jarang malah direndahkan secara intelektual. Ini yang menyedihkan.

Kondisi persepakbolaan nasional kita  tak hanya terpuruk karena peringkat FIFA –nya  170 (di bawah Bangladesh  yang 169), tetapi juga sudah sampai pada titik mengkhawatirkan, yaitu  berpotensi membelah semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Fakta sudah jelas, setidaknya,  masyarakat  sepakbola sudah terbelah menjadi tiga kelompok. Dua kelompok sudah jelas terbentuk dari kedua kubu yang berseberangan. Satu kelompok lagi adalah masyarakat yang benar-benar mencintai sepakbola  sebagai olahraga murni.  Kelompok ketiga inilah yang datang ke stadion hanya untuk menonton  pertandingan sepakbola, tanpa peduli dari liga kelompok mana yang bertanding. Mereka inilah yang paling obyektif dalam memilih tontonan menarik bagi dirinya, tanpa bisa dipengaruhi oleh kelompok mana pun. Kelompok ini pula (yang saya yakin merupakan bagian terbesar dibanding dua kelompok lainnya), yang akan bereaksi secara tak terduga,   jika  terusik.

Keberadaan kelompok ketiga inilah yang sama sekali tidak pernah diperhitungkan oleh  kedua kubu yang berseteru.  Kedua kubu seperti tutup mata dan telinga  atas  kontribusi  mereka  dalam memenuhi  atau mengosongkan stadion-stadion di seluruh pelosok tanah air. Jadi tidak benar jika ada satu kubu mengklaim bahwa liga mereka yang paling didukung  masyarakat. Pendapat itu keliru.  Kelompok ketiga ini, tidak menganggap penting  operator liganya. Bagi mereka yang terpenting adalah “rasa” tontonannya sesuai dengan yang diinginkan atau tidak.  Mereka adalah kelompok  pembeli yang  “saklek” . Enak dibeli, nggak enak yang ditinggalin, tanpa banyak omong dan protes.

Masih  belum percaya? Bikin saja jejak pendapat, dan buktikan sendiri hasilnya….

Kekuatan kelompok ketiga ini sama sekali tidak terukur, tidak bisa diprediksi, mereka juga tidak provokatif, tidak terorganisir,  bergerak serentak tanpa komando,  mereka tidak akan demo turun ke jalan agar keinginannya dipenuhi. Tapi di balik itu, mereka punya kekuatan yang dahsyat untuk membuat stadion kosong  atau penuh. Mereka punya daya yang kuat untuk  menghentikan, atau sebaliknya, mengalirkan  investasi ke klub-klub.

Mereka ini jumlahnya ratusan ribu, bahkan jutaan, dan tersebar  hingga pelosok tanah air. Maka, tidak akan ada satu pun kekuatan yang mampu menghentikan  langkah kelompok ketiga ini.  AFC, FIFA, bahkan  Presiden SBY sekalipun, tidak bisa memaksa mereka  untuk datang dan pergi dari stadion.  Tidak ada tangan yang sanggup menggerakkannya untuk memindahkan channel televisinya ke channel yang lain.  Dan, jika stadion tidak ada lagi yang menarik buat didatangi, dan tayangan lokal membosankan, maka mereka akan  menghabiskan akhir pekannya  dengan tayangan  Liga Eropa.  “Tuan” mereka adalah hati nurani mereka sendiri.  Mereka tidak peduli dicap sebagai pendukung kelompok A atau B. Sebab, yang terpenting bagi mereka adalah produk yang dihasilkan A atau B, sesuai atau tidak dengan keinginannya.

Banyak fakta yang membuktikan keberadaan kelompok ketiga ini. Bagi pecinta sepakbola sejati (yang hatinya tidak  dilumuri warna kuning,  merah,  biru, atau warna pelangi sekali pun) pasti bisa melihat dan merasakannya secara nyata.  Jika masih belum percaya, coba saja  tanya pada hati nurani sendiri. Malah, jangan-jangan,  hati nurani  ada di kelompok ketiga, sedangkan  raga dan nafsunya ada di kelompok satu atau dua…..?

Bagi kedua kubu yang berseteru, ayo  mulailah  perhitungkan  keberadaan kelompok ketiga ini. Mereka memang tidak pandai  protes, tidak pandai beropini, mereka juga tidak pandai menghujat. Tapi mereka pandai memilih, mereka punya daya beli yang tinggi, dan mereka punya banyak pilihan di luar sana.  Mereka tidak bisa dibohongi, mereka tidak akan terpengaruh, meski Anda-Anda semua membayar juru kampanye paling hebat sedunia sekalipun!  Mereka sangat percaya pada diri sendiri, sangat loyal pada rasa yang keluar dari dalam dirinya. Sebab rasa tidak pernah bohong. Tidak ada garam  berasa  gula?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun