Mohon tunggu...
mamun manaf
mamun manaf Mohon Tunggu... -

Editor Real Books

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menilik Rasa

18 Juli 2012   04:13 Diperbarui: 8 Oktober 2016   15:08 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1342584638368011491

HUTANG Ketika pintu mulai dibukakan Melalui jerit harap Demi tamu yang hendak datang Separuh sukmanya menyelinap dalam perjamuan Doa, teladan, dan santun larut bagi sayup kidung malam Dan bila waktu bergelontang Jalan sudah terpampang Angsurlah separuh sukma itu Dalam papah kesaksianmu TAMU; Dia atau Kita Kasihan tamu kita Datang dengan sopan Lewat pintu rumah kita Rumah kita, katamu Kasihan tamu kita Duduk merunduk di bangku reot Di hatimu Padahal di sofa barumu kau mendengkur Mengerami dosa-dosamu Kasihan tamu kita Memberimu kebaikan Kau bergiliran pergi Ia tersudut di pojok rumahSang Pensyariatnya Siapa tamu kita? Dia yang kau enyah Saat kau tengah sendiri Dan yang kau puji puji- pujian kosong Di depan semua orang Siapa tamu kita? Roda tarowih yang menggelinding Lepas dari malam-malammu Suara serak imsak Di antara dengkur panjangmu Kau merasa nikmat Saat makan malammu Yang kau sebut berbuka itu Yang menghabiskan semua uang belanja itu Kau merasa lega Saat ia hendak bangkitdari duduk pagalnya Lantas kau berpaling Pada hari bermaaf-maafan. maaf palsu Demi harga- harga yang menggantung Di shop centre Demi prestige sumber ketamakan Dan kufur nikmat Dengan bangga menyimpan air mata Lalu berakting dengan air mata buaya Tapi ia bukan tamu Tapi kita Ah, bukan tamu Tapi penumpang keterlaluan WASILAH DAMAI Sementara palung jiwaku Dibungkam awan kelabu Namun air tak bersama hujan Hujan itu Memuji damai di dalam bening Memuji adalah derai bagi hujan BUAH PERTAMA Ayat sadar berbisik pelan Wahai kelelewar yang tersesat Bukan luka lalu surut Ayat sayapmu diradang karang itulah Buah pertama engkau berburu BAPAK? Bapakku sayang Aku menunggu di desa Baik-baik engkau bekerja Jangan lama-lama Malam nanti kumau tidur Setelah kenyang Kuminta Engkau yang mendongeng Tentang sebuah negeri yang makmur Bapakku sayang Ibuku terjatuh pingsanKuingin tanganmu mendekapnya Agar tak seorangpun menculikku Memperkosa aku Bapakku sayang Sabtu sore Kudapat secarik telegram Dari rezim penjajahan Engau ditahan Kau tak bias pulang Bapakku sayang Esok aku tak mau kelaparan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun