Sebatang rokok, hingga sebungkus dalam bilangan 10, 12 dan 16 adalah hal yang kadung melekat di keseharian masyarakat Indonesia. Perokok tersebar di berbagai lapisan masyarakat. Cerita rakyat Roro Mendut Ponocitro dengan legenda rokok klobot tingwe, ngelinting dewe semakin memperkuat dan menegaskan betapa rokok tetap laris, ada saja konsumen pembelinya walaupun dibandrol dengan harga berapapun.
Dalam keseharian budaya hajatan desa saja, bentuk hiriban atau saling membantu ubo rampe hajatan berbentuk rokok seselop dua selop, 1 pak minimal begitu bahasa sederhananya. Rokok inilah yang pada hari H hajatan ada yang ditata dalam gelas dab ditempatkan dibeberapa meja tempat tamu akan duduk. Lelaki dengan usia berapapun bebas mengambil rokok batangan tersebut terutama saat pasean malam hari untuk menemani melek empunya hajatan.Â
Bukan bermaksud untuk mengajari agar kaum adam tidak menjaga kesehatan paru parunya, hanya saja rokok dan kopi madih dianggap ampuh untuk mengusir kantuk dan bosan saat membersamai empunya rumah menggelar acara hajatan.  Untuk panitia alias yang membantu lancarnya hajatan dari mulai team punjung ater ater sampai team gotong royong penataan tempat sekaligus pramuladi acara mendapatkan jatah selain makananan , minuman alias berkatan juga rokok sebungkus atau dua bungkus.  Seperti sudah menjadi  bagian tradisi, kurang afdoll rasanya seselop dua selop rokok apabila tidak menjadi bahian dari ubo rampe lancarnya pendukung acara alias pelaksana hajatan.
Rokok juga sering menjadi jatah tukang bangunan selain snack dalam bentuk makanan ringan dan wedangan teh, atau kopi. Di sela rehat dan jeda , pak tukang sepertinya kurang bersemangat apabila tidak menghisap rokok. Barangkali ada semacacam sugesti pelepas lelah. Kalian juga terbiasa melihatnya bukan? A5au malah sudah pernah menyedakan rokok untuk kegiatan keseharian. Bersantai di cakruk alias budaya jaga lingkungan dengan sebutan thethek juga biasanya ada rokok yang menemani. Nah, barangkali sugesti rokok untuk menemani aktifitas malam, penghlang kantuk saat jaga jaga dan menimbulkan semangat kerja adalah beberapa faktor yang terus menghifupkan budaya merokok.
Merokok memang sebaiknya bagi kalangan dewasa dengan jumlah batang rokok yang tidak banyak setiap harinya alias jangan sampai kecanduan. Pengawasan ketat untuk usia yang belum cukup umur hanya bisa dilakukan secara bersama alias saling menciptakan lingkungan konfusif agar anak anak jangan sampai merokok. Yang terjadi memang seringnya adalah kominitas anak anak yang secara colongan, curi curi mencari tempat tersembunyi untuk merokok. Secara berkelompok malajan. Hal inilah yang perlu kita monitoring bersama dan mendapat perhatian. Tegas bahwa anak anak jangan sampai membeli rokok untuk dikonsumsi / dihisap sendiri masih merupakan PR bersama. Harus ada kesadaran tinggi bahwa yang belum saatnya merokok jangan disupport dalam bentuk apapun. Susah susah gampang pastinya. Tetapi ya memang harus terus kita usahakan bersama.
Cukai rokok sepertinya hanya berita selintas lalu, semacam informasi harga rokok naik. Tidak akan banyak berpengaruh pada mereka yang terbiasa merokok. Konsumen akan melakukan penyesuaian sendiri.Entah mengurangi jumlah yang dihisap setiap harinya atau membeli sesuai kemampuan. Rokok kan bisa diecer. Paket hemat atau isi minimalis misalnya setengah lusin nantinya pasti akan juga dibuat oleh produsen, pabrik rokok yang beragam jumlahnya. Cukai rokok seperti bersifat pemberitahuan tentang naiknya harga rokok dan konsumen akan mengiyakan begitu saja. Mereka akan beradaptasi sendiri. Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H